webnovel

SUAMI YANG KU RINDUKAN

Saat mimpi datang secara terus menerus dan menjadi kenyataan, akankah itu sebuah pertanda? Atau hanya sebuah ilusi belaka? Sedikitpun tidak terlintas dalam pikiran Inayah Saharah (24 th) wanita tuna susila bertemu dengan Yusuf (30 th) dalam razia malam. Yusuf seorang laki-laki dewasa yang selalu datang di dalam mimpinya.... Yusuf Hanafi seorang Ustadz di sebuah pondok yang mempunyai kelebihan indera ke enam mampu membaca pikiran manusia juga bisa melihat sesuatu yang akan terjadi. Hati Yusuf merasa terpanggil untuk menghibur dan membantu orang-orang yang akan mengalami takdirnya. Hingga pertemuannya dengan Inayah wanita yang hadir dalam mimpinya meninggal dalam kecelakaan. Akankah Yusuf bisa mengubah takdir Inayah yang akan meninggal dalam suatu kecelakaan seperti yang di lihat dalam penglihatannya?? Mungkinkah Inayah mendapatkan suami yang di rindukannya??

Nickscart_1 · History
Not enough ratings
32 Chs

JALAN TAKDIR

"Inayah, ayo cepat keluar! kita harus lebih dulu datang di banding para tamu." ucap Shafiyah sambil mengetuk pintu kamar.

"Iya... sebentar." ucap Inayah di dalam kamar kemudian keluar dari kamar dengan penampilan yang sangat berbeda.

"Masyaallah... Inayah, kamu cantik sekali!" ucap Shafiyah dengan tatapan tak berkedip melihat Inayah memakai pakaian syar'i berwarna hijau muda sangat cocok dengan kulit putih Inayah.

"Jangan bicara seperti itu Shafiyah, aku sama sekali tidak cantik di banding dirimu." ucap Inayah dengan wajah bersemburat merah.

"Semua wanita itu cantik, kalau di ikuti dengan hati yang cantik. Ayo, kita berangkat. Aku yakin Ustadz Yusuf pasti kagum oleh kagum dengan penampilanmu Inayah." ucap Shafiyah dengan tersenyum.

"Aku tidak berharap terlalu tinggi Shafiyah, aku menyadari siapa aku yang sebenarnya. Aku tidak mau berangan-angan semu. Aku sudah cukup bahagia bisa mengenal Ustadz Yusuf." ucap Inayah merasa tidak berharga di mata Yusuf.

"Jangan berpikir seperti itu. Sebuah hal yang baik atau buruk pada setiap umat manusia, hanya Allah yang tahu." ucap Shafiyah sambil mengusap bahu Inayah.

Inayah terdiam tidak tahu harus menjawab apa dengan ucapan Shafiyah yang lebih paham tentang agama.

"Kita naik apa ke sana Shafiyah?" tanya Inayah saat berada di halaman.

"Semua makanan sudah di antar Mas Saleh. Sekarang kita berangkat pakai mobilku saja." ucap Shafiyah menarik tangan Inayah dan membawanya masuk ke dalam mobil.

Tanpa menjawab ucapan Shafiyah, Inayah menurut saja masuk ke dalam mobil dengan perasaan kagum.

"Shafiyah, apa kamu yang mengemudikan mobil? aku tidak percaya, kamu benar-benar wanita yang hebat." ucap Inayah setelah beberapa saat Shafiyah memakaikan sabuk pengamannya.

"Tidak juga Inayah, semua bisa terjadi dengan adanya niat juga bisa karena suatu tuntutan. Aku sudah tidak punya Abi. Aku berkewajiban untuk menjaga dan membahagiakan Umi, jadi bagaimanapun juga aku harus kuat menghadapi semua sendirian." ucap Shafiyah bagaimana dulu bangkit dari kesedihan sejak Ayahnya meninggal.

Mendengar ucapan Shafiyah, tiba-tiba Inayah menangis lirih.

"Inayah, kenapa kamu menangis? apa ada kata-kataku yang menyakiti hatimu?" tanya Shafiyah sedikit panik dengan hati Inayah yang begitu lembut dan mudah menangis.

"Aku merasa malu padamu Shafiyah, kamu begitu tegar menghadapi semua sendirian. Sedangkan aku begitu lemah, begitu mudahnya aku menyerah pada keadaan." ucap Inayah sambil menutup wajahnya.

"Inayah... cukup, jangan di ingat lagi masa lalu kamu. Mulai sekarang kamu bukan Inayah yang dulu. Sekarang kami Inayah yang berbeda, kamu harus lebih kuat sekarang ya? ada aku yang akan menjagamu." ucap Shafiyah merasa kasihan pada kehidupan Inayah.

"Terima kasih Shafiyah, aku tidak akan pernah melupakan kebaikanmu ini." ucap Inayah sambil mengusap air matanya.

Dengan penuh perhatian Shafiyah memberi tisu pada Inayah.

"Bersihkan wajahmu Inayah, kita sudah sampai di pondok pesantren." ucap Shafiyah sambil fokus memasukkan mobilnya langsung ke halaman belakang dekat dapur pondok pesantren.

"Ayo... Inayah kita keluar." ucap Shafiyah setelah mematikan mesin dan keluar dari mobil.

Dengan hati berdebar-debar Inayah keluar dari mobil mengikuti Shafiyah yang berjalan ke dapur pondok pesantren.

"Assalamualaikum Shafiyah, Inayah." sapa Ridwan menunggu Shafiyah di depan pintu dapur.

"Waalaikumsallam Ustadz, aku tidak menyangka Ustadz bersungguh-sungguh menungguku." ucap Shafiyah merasa tersanjung.

"Insyaallah, aku selalu bersungguh-sungguh dengan semua ucapanku." ucap Ridwan dengan tersenyum.

Shafiyah menundukkan wajahnya dengan tersenyum.

"Inayah, bagaimana kabarmu? baik-baik saja kan?" tanya Ridwan saat melihat Inayah mengedarkan pandangannya ke sekeliling halaman belakang.

"Alhamdulillah baik Ustadz." ucap Inayah sedikit gugup karena Ridwan mengejutkannya.

"Bagaimana Ustadz, dengan semua menu makanan yang telah kita siapkan? Apa sesuai dengan yang Ustadz inginkan? seperti yang aku katakan kemarin, sebagian besar yang memasak makanan itu adalah Inayah Ustadz." ucap Shafiyah sambil melirik ke arah Inayah yang diam saja.

"Aku percaya, pasti masakan Inayah sangat lezat." ucap Ridwan sambil mengusap kedua tangannya.

"Ustadz, aku mau permisi untuk melihat makanan itu semua sudah di sajikan di meja atau belum." ucap Shafiyah merasa canggung karena Ridwan juga tidak terlihat tegang.

"Tidak perlu Shafiyah, aku sudah meminta Umma untuk menyiapkan semuanya." ucap Ridwan tidak ingin Shafiyah dan Inayah merasa repot di dapur.

"Kalau kita tidak ada pekerjaan di sini, lalu apa yang harus kita lakukan Ustadz?" tanya Shafiyah dengan tatapan penuh.

"Kalian berdua bisa menyambut para tamu di depan. Ada beberapa Ustadzah di sana." ucap Ridwan sambil mengusap tangannya yang dingin karena gugup.

"Tapi Ustadz, kita berdua bukan Ustadzah? bagaimana kalau kita berdua nanti membuat Ustadz malu?" ucap Shafiyah merasa gugup dengan permintaan Ridwan.

"Tidak akan, dan lagi aku ingin mengenalkan kalian pada sahabatku Ustadz Gibran dan Ustadz Fajar dari Pondok Pesantren Al Fitrah Hidayah. Pondok pesantren milik Kyai Haji Zailani Muchtar, Ayahnya Ustadz Yusuf." ucap Ridwan sambil melirik sekilas pada Inayah.

Tubuh Inayah semakin gemetar mengetahui orang tua Ustadz Yusuf adalah pemilik Pondok Pesantren di kota C.

"Ayo... Shafiyah, Inayah, ikut denganku ke depan." ucap Ridwan sambil berjalan di samping Shafiyah.

"Ustadz, mohon maaf...di mana letak kamar kecil?" tanya Inayah merasa perutnya mulas setelah mendengar apa yang dikatakan Ridwan.

"Apa kamu sakit perut Inayah?" tanya Shafiyah merasa cemas.

"Tidak, aku hanya ingin buang air kecil saja." ucap Inayah dengan wajah sedikit pucat.

"Kamu lurus saja terus kemudian ke kanan Inayah, di sana ada toilet khusus tamu." ucap Ridwan sambil mengarahkan tangannya ke depan lalu ke kanan.

"Terima kasih Ustadz, aku akan segera kembali." ucap Inayah kemudian bergegas ke arah toilet seperti yang di tunjukkan Ridwan.

Setelah menenangkan diri beberapa saat di dalam toilet Inayah keluar dengan perasaan sedikit tenang.

"Ya Allah, mungkin aku harus membuang mimpiku jauh-jauh. Tidak mungkin aku bisa mendapatkan Ustadz Yusuf yang berada di langit sedangkan aku berada di bumi." ucap Inayah sambil berjalan pelan kembali ke tempat di mana saat berpisah dengan Ridwan dan Shafiyah.

Inayah berhenti di tempatnya sambil mencari-cari keberadaan Ridwan dan Shafiyah.

"Di mana mereka? aku tidak tahu jalan ke depan, bagaimana aku bisa mencari mereka?" tanya Inayah dengan tatapan bingung karena Pondok Pesantren Al Ikhlas sangatlah besar dan luas.

"Ustadzah, tolong bantu aku untuk membawa makanan bubur ini ke kamar Ustadz Yusuf. Aku harus kembali ke dapur sekarang juga." ucap seorang wanita agak tua tiba-tiba memberikan nampan yang berisi semangkuk bubur padanya.

"Maaf Bu, aku bukan us...." sebelum Inayah melanjutkan ucapannya wanita itu memotong ucapannya.

"Tolonglah aku Ustadzah, aku sangat sibuk hari ini." ucap wanita itu kemudian bergegas meninggalkan Inayah yang masih berdiri mematung dengan semangkuk bubur di tangannya.

"Bagaimana ini bisa terjadi? apa aku harus ke kamar Ustadz Yusuf? Apa Ustadz Yusuf masih sakit?" tanya Inayah dalam hati sambil menatap bubur beras yang ada di atas nampan yang di bawanya.