webnovel

9. Benih Cinta

Alma menuruni tangga yang menghubungkan lantai dua dan lantai dasar dengan langkah gontai. Perasaannya sangat tidak keruan, sampai-sampai Rudi di belakangnya menyejajari langkah Alma, memastikan adiknya baik-baik saja. "Cantik-cantik, lemes," celetuk Rudi, yang hanya dibalas senyum kaku dari perempuan berusia 25 tahun itu.

Ketika Alma sampai di anak tangga terakhir, terdengar tawa dari dua keluarga besar yang mengisi sofa di ruang tamu sana. Mereka tampak begitu akrab, membuat Alma bertanya-tanya, sudah berapa lama ayahnya kenal dengan ayahnya Yogi? Sampai-sampai mempercayakan anak bungsunya yang ibarat permata kepada Yogi untuk dinikahi.

Alma menghela napas, berusaha melapangkan dada meski dalam hati terus berusaha mencari alasan untuk menolak perjodohan ini.

"Selamat pagi Om, Tante, Yogi," sapa Alma dengan tersenyum ramah yang dipaksakan.

"Cantiknya," puji istri Arlan bersamaan dengan suaminya, Arlan.

Sedangkan Yogi terpaku nyaris tanpa berkedip. Kornea matanya terus mengikuti gerakan Alma sedari datang hingga duduk di sisi ayahnya.

Istri Arlan menyenggol pelan lengan Yogi. "Aduh, maaf Yogi selalu sibuk kerja gak pernah cuci mata, sekalinya liat Perempuan cantiknya kaya bidadari jadi mohon dimaklumi pak Pram," selorohnya mencairkan suasana.

Yogi buru-buru menundukkan kepala, menyembunyikan wajahnya yang tersipu malu. Penampilan Alma hari ini yang flawles begitu berbeda dari gaya nyentriknya tempo hari, terasa lebih memikat baginya.

"Anda terlalu memuji nyonya Arlan," Pram menyahut. "Yogi juga lelaki baik dan tampan yang mapan, saya yakin bisa membahagiakan Alma seperti saya membahagiakannya."

Dalam benak Alma mengumpat kesal, karena ia yakin kalimat-kalimat barusan hanyalah basa basi semata. Meski diam-diam ia amati penampilan formal Yogi pagi ini tampak lebih fresh dengan kemeja silver yang dipadukan jas slim fit. Jangan lupakan potongan rambut under cut, yang semakin menonjolkan rahang tegasnya. Tidak ketinggalan aroma leather premium menyempurnakan penampilan lelaki berdarah biru itu.

"Oke, berhubung Alma sudah di sini, langsung saja Pak Pram?" Arlan membuka topik baru dalam perbincangan yang lebih intens.

"Tentu silahkan." Pram mempersilakan dengan anggukan kepalanya yang penuh wibawa.

Alma yang sudah tahu arah pembicaraan ini akan ke mana menarik napas sedalam-dalamnya, meski sebenarnya ia sangat ingin lari dari hadapan mereka semua.

"Jadi begini Alma, kedatangan kami sekeluarga berniat memintamu jadi bagian dari keluarga kami, hiduplah bersama Yogi temani ia mengarungi pahit manisnya kehidupan," ungkap Arlan begitu hati-hati, tatapannya berpindah dari Pramusito kepada Alma. Yang ditatap seketika tersenyum kaku.

Dan kini semua mata tertuju pada Alma. membuat gadis yang hari ini enggan bersolek ria seperti biasanya, tertunduk bingung.

Tentu dalam hatinya tak ingin menerima perjodohan ini, tetapi sang ayah menyimpan harapan besar. Sedangkan sekarang ia kemungkinan telah hamil anak damar, sekalipun ia mencoba menggugurkannya dan kemungkinan memang telah terjadi keguguran.

Alma menggigit bibir, pikirannya terlalu sibuk sampai sang ayah menegurnya pelan untuk memberikan jawaban atas permintaan Arlan.

Alma mendongak, menebar senyum tipis, ia ingin sekali menjawab tidak tapi ketika menatap ayahnya seolah-olah hanya jawaban iya yang harus Alma berikan.

semua orang menatap saksama pada Alma, termasuk Yogi. Wajahnya hari ini lebih cerah dan hangat dari waktu lalu menjemput Alma tempo hari. Alma sejenak menyelidik tatapan lelaki berkulit putih bersih itu, kenapa dia gak secuek kemarin? Batin Alma bertanya-tanya, jangan-jangan dia jatuh cinta sama gue? Tanya batinnya lagi yang kini diliputi rasa heran.

"Beri saya waktu, nanti kalau sudah siap saya akan sampaikan pada Ayah." Suara Alma memecah hening.

Yogi menghela napas, tiba-tiba perasaannya hampa. Padahal tadi berangkat dari rumah sama sekali ia tidak menaruh harapan apa pun pada Alma.

Pramusito yang melihat ekspresi Yogi seolah-olah kecewa bergantian menatap putri bungsunya. Alma yang ditatap tak berani membalas tatapan ayahnya yang mengintimidasi. Seketika suasana berubah canggung.

"Tentu Alma, Tante dulu sampai menangguhkan berbulan-bulan lamaran ayahnya Yogi sebelum akhirnya jatuh cinta seutuhnya sampai detik ini padanya, betulakan ayah?" Nyoya arlan pandai menghangatkan suasana. Tawa renyahnya menular ke pramusito dan Arlan.

Yogi mengangguk pelan, mengamini perkataan mamanya. Meski dari kedua bola mata kecoklatan milik gadis cantik di hadapannya itu belum terbaca tanda-tanda cinta untuknya, saat mereka beradu tatap.

Bibi Wiji datang, mengabarkan bahwa menu sarapan telah selesai dihidangkan. Pramusito pun mempersilakan ketiga tamunya turut sarapan bersama.

Ayam lada, udang pedas manis, sayur capcai dan berbagai lauk pauk terhidang. Tampak liukan uap hangat dari piring-piring saji. Aroma lezat menggoda tiap hidung di tepian meja. Alma yang paling semangat menyambut prosesi sarapan, ia ambil semua lauk-pauk di meja, memicu senyum jenaka Yogi.

"Alma, santai dong, diliat calon suami tuh." Andini menyikut siku Alma. suaranya yang cukup keras mengalihkan perhatian semua orang di meja makan, membuat Alma salah tingkah. Muncul semburat kemerahan di wajahnya, malu.

Yogi pun begitu, tampak salah tingkah lalu buru-buru tertunduk. Dalam hatinya memang mengakui, Alma tampak lebih kalem dengan tampilan lebih flawles dari tempo hari membuatnya begitu menarik.

"Selamat menikmati." Pramusito menyuap makanan pertamanya, mengalihkan suasana.

Satu per satu peserta sarapan turut menyuap. Termasuk Alma, tetapi begitu sendok berisi nasi dan daging menyentuh bibirnya tiba-tiba wajah segar itu berubah cemas, mengenyit serta mulutnya mengatup. Aroma makanan yang semula lezat perlahan membuatnya mual dan ingin muntah.

Alma buru-buru menurunkan sendoknya membekap mulut dan bergegas lari ke kamar tanpa sempat berpamitan. Membuat semua orang menatap keheranan.

"Alma sakit?" Yogi bergumam pelan, pandangannya terus tertuju pada Alma yang masih berlarian menaiki tangga.

"Maaf, saya akan menyusul Alma," kata Andini yang ikut bangkit dari duduknya.

Sampai di kamar mandi, Alma benar-benar memuntahkan isi perutnya.

Seperempat jam berlalu rasa mual itu masih menyiksanya. Alma pun memilih meringkuk di balik selimut, ia pikir pendarahan pagi tadi adalah keguguran tetapi misalnya masih terus datang. Perasaannya tumpang tindih membingungkan. Tak lama kemudian Andini masuk ke kamarnya, membawakan teh hangat dan minyak angin.

Berangsur-angsur mual yang diderita mulai reda, berkat bantuan Andini menggosokkan minyak angin ke sekujur perut dan punggungnya.

Alma pun bisa kembali beraktivitas termasuk melepas kepergian Yogi dan kedua orang tuanya.

"Mba carikan obat masuk angin, ya?" kata Andini sepeninggal keluarga Arlan dari rumah mereka.

Masuk angin? Bukan maag kalau mual begini? Atau jangan-jangan hamil? Masa setiap pagi mual? Alma terbelalak akan argumen terakhirnya, hamil.

Kekagetan di wajah Alma menyita perhatian kakak perempuannya, "kenapa Alma?"

Alma menggeleng gugup. "Aku mau istirahat aja, Mba."

Keesokan pagi pun sama, mual muntah terus mendera Alma. Kecemasannya kian meningkat, mengingat kemarin telah terjadi pendarahan tetapi terus mengalami mual.