webnovel

8. Pandangan Kedua

"Selamat Pagi." Seorang karyawan menyapa Andini.

"Pagi." Andini membalas dengan senyum ramah.

"Good bos." Alma mengikut Andini di sisinya.

"Mukai besok kamu juga harus kaya gini."

Alma menghentikan langkahnya, "aku mau jadi manager gitu di sini?" tanyanya tak percaya.

Andini mengangguk kecil.

"Terus Mba ke mana?"

"Ikut ke perusahaan suami."

Alma termangu, masih takjub akan kemurahan sang ayah menyerahkan salah satu anak perusahaannya begitu mudahnya.

"Besok kamu di sini juga bakal dibantu sama suami kamu." Lanjut Andini, sembari melanjutkan langkah menuju lift.

Alma mengernyit, "suami?" Ia berusaha menyamai langkah Andini.

"Kamu udah dijodohin kan sama, Ayah?" Pintu lift terbuka, beberapa karyawan keluar dari lift dan menyapa Andini. Lagi-lagi perempuan yang hampir berkepala tiga itu tersenyum ramah.

Alma menghela napas. "Gak mau nikah sama dia, gak mau juga dikasih perusahaan ini," tukas Alma.

Keduanya tela berada di lift. Andini menekan tombol menuju lantai teratas, ruang CEO. Lalu ia tersenyum lembut memutar tubuh menghadap Alma. "Ma, Ayah gak akan biarin kita punya pilihan alternatif, jalanin aja, ya."

Alma memberut, melipat tangannya di dada.

Lima menit kemudian, keduanya sampai di lantai teratas. Tanpa buang-buang waktu lagi Andini memperkenalkan Alma pada karyawan-karyawan di sana.

"Perkenalkan saya Alma Pramusito...." Perhatian Alma teralihkan pada seseorang yang baru saja datang, Yogi. Lelaki itu membawakan sebuket bunga lili putih dan berjalan dari pintu masuk ke arahnya, menyibak kerumunan para karyawan bak pangeran. Menyita banyak perhatian seisi ruangan, terlebih lagi para karyawati seolah tersihir wajah proporsionalnya. Namun, Alma justru mendengkus kesal.

***

Sore hari sepulang dari kantor, Alma segera meminum obat maag yang disediakan bibik Wiji di kamarnya. Seharian di kantor dengan seabrek pekerjaan membuat mood dan kondisi fisiknya terasa semakin drop, bahkan ia pun tak sanggup menghabiskan makan siang dan makan malamnya karena mual yang terus mendera.

Sejanak ia pun memutuskan untuk berbaring. Namun sebuah panggilan dari Damar masuk ke ponselnya, membuatnya urung berbaring. Ia pun dengan semangat beranjak duduk lalu menekan ikon berwarna hijau, menerima panggilan.

Setelah berbasa-basi seperti biasanya, Damar kembali rusuh mengenai pil kontrasepsi itu. Alma menghela napas panjang.

"Udah...." Alma melirik pil kontrasepsi di tangan, ia berbohong pada Damar bahwa telah meminumnya. Namun, ternyata, sudah lewat 48 jam semenjak mereka bercinta, pil tersebut belum juga menyentuh rahimnya.

Seketika Alma terbelalak, ia baru menyadari sedari tadi merasa mual. Benarkah itu akibat maag atau jangan-jangan hamil? Batinnya resah.

"Makasih Alma, kamu bisa ngertiin aku dan maaf tindakanku yang kurang bertanggung jawab seperti ini." Ada nada sesal dalam kalimat Damar yang semakin membuat Alma merasa serba salah.

"Udah, ah, jangan gitu nada bicaranya, aku gak suka liat kamu sedih," jawab Alma mengalihkan percakapan, yang sebenarnya ia sendiri gugup setengah mati menebak-nebak penyebab perutnya mual. Maag atau hamil?

Damar tersenyum tipis. Hening pun mengisi atmosfer percakapan mereka.

"Oke lanjut nanti lagi, aku masih ada kerjaan." Akhirnya Damar berujar.

"Oke Sayang, dadah, muach!" Alma mengerucutkan bibir mencium layar ponselnya.

Sedangkan Damar hanya tertawa renyah dan kemudian memutuskan sambungan telepon.

Alma mengalihkan pandangannya ke perut bagian bawah, tersenyum lembut, ada perasaan yang sulit ia definisikan. Memilih Damar atau membiarkan benih cinta itu tumbuh kalau memang memang telah terjadi pembuahan?

Namun akhirnya ia menenggak pil kontrasepsi darurat itu berbekal segelas air minum.

Alma menghela napas dalam-dalam, lantas membaringkan diri di ranjangnya berukuran king size terbalut bedcover lilac. Ia menatap langit-langit kamar dengan perasaan sendu. Sesekali ia mengelus perutnya.

Hingga pelan-pelan rasa kantuk menyergap, Alma pun terlelap.

***

Ketika pagi kembali menyapa, rumah serupa istana itu sudah disibukkan dengan aktivitas para penghuninya. Alma pun demikian, tetapi kegiatan riasnya pagi itu tiba-tiba terhenti ketika bagian intim dari tubuhnya terasa basah.

Alma pun berdiri, ia raba rok bagian belakangnya, basah, terasa pekat dan aromanya sedikit anyir. ia pun memutar badan membelakangi cermin, melihat noda merah di sana.

Seketika ia panik, Alma pun bergegas mencari baju ganti dan pembalut, tetapi baru saja ia akan masuk ke kamar mandi, pintu kamarnya diketuk.

"Al, bangun, buruan calon mertua mau ketemu, nih!" Rudi menggedor pintu dengan tidak sabar.

Alma mengumpat kesal. "Iya, mau mandi dulu, sana ih!" jawab Alma tanpa membukakan pintu.

"Buka pintunya, nih, gue disuruh ayah, anterin dress."

Alma menghela napas, malas banyak debat karena hatinya masih diliputi kecemasan dan kebingungan ia pun bergegas membuka pintu.

Rudi ngeloyor masuk, baru beberapa langkah Alma mencegatnya. "Stop, stop, sini gaunnya!" Jemari Alma merebut dress dari genggaman Rudi. Membuat Rudi mendesis kesal lalu balik kanan. Keluar kamar.

Alma pun mengembuskan napas lega. Namun ia kembali cemas kala melihat bercak darah di roknya, lalu beralih melihat dress berwarna pink salem pemberian sang ayah. Kecemasannya semakin meningkat, takut kalau-kalau perdarahannya menodai dress itu saat dikenakan.

Tak mau berlama-lama overthinking Alma segera berlari ke kamar mandi. Disela-sela ia mengganti pakaian baru terpikirkan. calon mertua? itu artinya ayah sungguhan menjodohkanku? Alma menghentak-hentakkan kakinya dengan perasaan kesal, ayah egois, aku harus batalkan perjodohan ini, tapi gimana caranya? Batinnya resah.

Selain soal perjodohan, bertumpuk-tumpuk pula pertanyaan dalam pikirannya. Ini pendarahan karena menstruasi atau keguguran?

Selesai membersihkan diri dan mengenakan dress pemberian ayahnya ia mengecek kalender di meja rias. Ternyata menstruasinya sudah lewat seminggu. Alma seketika syok, ia menyimpulkan jika ini adalah darah keguguran. Sekelebat rasa kehilangan, rasa bersalah dan sedih muncul dalam benaknya. Sesak.

Pintu kembali diketuk oleh Rudi, membuat Alma menghela napas berat. Kemudian bangkit membuka pintu dan keluar menuju ruang tamu.

Alma menuruni tangga yang menghubungkan lantai dua dan lantai dasar dengan langkah gontai. Perasaannya sangat tidak keruan, sampai-sampai Rudi di belakangnya menyejajari langkah Alma, memastikan adiknya baik-baik saja. "Cantik-cantik, lemes," celetuk Rudi, yang hanya dibalas senyum kaku dari perempuan berusia 25 tahun itu.

Ketika Alma sampai di anak tangga terakhir, terdengar tawa dari dua keluarga besar yang mengisi sofa di ruang tamu sana. Mereka tampak begitu akrab, membuat Alma bertanya-tanya, sudah berapa lama ayahnya kenal dengan ayahnya Yogi? Sampai-sampai mempercayakan anak bungsunya yang ibarat permata kepada Yogi untuk dinikahi.

Alma menghela napas, berusaha melapangkan dada meski dalam hati terus berusaha mencari alasan untuk menolak perjodohan ini.

"Selamat pagi Om, Tante, Yogi," sapa Alma dengan tersenyum ramah yang dipaksakan.

"Cantiknya," puji istri Arlan bersamaan dengan suaminya, Arlan.

Sedangkan Yogi terpaku nyaris tanpa berkedip. Kornea matanya terus mengikuti gerakan Alma sedari datang hingga duduk di sisi ayahnya.