webnovel

2. Der Sommer

Matahari senja bersinar lembut, bias cahayanya menerawang dari balik kanopi pepohonan. Alma sengaja mengayunkan tangannya hingga menyentuh pucuk-pucuk bunga Daisy putih yang tengah bermekaran. Suasana hangatnya musim panas yang dipadukan keindahan taman kota Duisburg begitu serasi.

"Setelah pulang ke Indonesia aku pasti kangen banget sama suasana di sini," ujar Alma yang berjalan di sisi Damar.

Beberapa orang tampak berpapasan dengan keduanya, menikmati udara sore yang menyenangkan seperti mereka.

"Sesekali kamu bisa liburan ke sini, kan?" sahut Damar ikut-ikutan menjulurkan tangan menyentuh pucuk-pucuk bunga yang berbaris rapi di tepi jalanan taman.

"Gampang, aku ke sini musim dingin nanti ya, asalkan disuguhi kehangatan." Alma bergelayut manja di pundak Damar, jemari lentiknya sengaja menyentuh pundak sang kekasih lalu merosot turun menyentuh dada dengan gerakan pelan tapi dibuat seintim mungkin. Tanpa Alma sadari, lagi-lagi wajah kekasihnya tampak samar-samar memerah menahan sebuah gejolak di dada.

"Hmm," sahut Damar singkat yang justru sibuk memperhatikan burung-burung berterbangan ke sana kemari berlatar saputan awan berwarna jingga, mengalihkan perhatian.

Menyadari kode yang ia berikan tak mampu menyentil barang sesenti sisi kelelakian sang kekasih, Alma pun menjauhkan diri. Memberut kesal.

Keduanya pun melanjutkan langkah, berjauhan. Namun lagi-lagi Alma bersuara "Btw, kamu nggak ngasih aku hadiah kelulusan?"

"Tadi kan udah, buket coklat." Damar menatap Alma sekilas.

"Kamu kan pacar masa gak ngasih yang istimewa, sih!"

Damar menghentikan langkahnya. "Terus apa?" Memetik setangkai bunga Daisy lalu menghadap ke arah kekasihnya, menyematkan bunga kecil nan cantik itu ke sela-sela daun telinga Alam.

Alma tersipu menangkupkan tangan ke wajahnya yang tersenyum-senyum salah tingkah.

"Ehem." Seseorang berdehem, memeringati keduanya untuk menyingkir dari tengah jalan.

Giliran Damar yang salah tingkah, bergegas ia raih tangan Alma, mengajaknya beralih ke sebuah bangku kayu panjang di dekat mereka. Duduk bersisian, ditemani semilir angin yang menguarkan wangi Dahlia yang tertanam di sekitar bangku tersebut.

"Hem...." Alma mencondongkan tubuh ke arah Damar sembari mengerucutkan bibirnya dengan sok menggemaskan.

"Kenapa? Bibir kamu gatel?" Damar menarik bahunya menjauhi Alma.

"Tau deh! Hubungan udah setengah dekade masih anyep-anyep aja!" Alma menggeser duduknya hingga ke ujung bangku, melipat tangan di dada. Memberengut lagi.

Damar tersenyum kecil, mulai mengerti apa yang Alma damba, meraih bahu kekasihnya dengan lembut, dan menarik titik pandangannya. "Kalo cuma ngasih kaya begituan doang aku bisa, kapanpun kamu mau—"

"Kapan kamu ngasih? Nggak pernah tuh!" Alma menatap manik mata hitam milik Damar yang terasa begitu dalam.

"Tuh kan, kebiasaan buruk, orang lagi ngomong, kasih waktu sampe kalimatnya selesai."

Alma memberut, lantas tertunduk memainkan jemari tangannya yang kini saling bertaut.

"Siapa sih, laki-laki yang enggak tertarik liat pesona kamu?" Damar menyelipkan anak rambut Alma yang pirang ke belakang telinga. "Cuma aku enggak bisa jadi laki-laki yang menikmati pesona kamu tapi belum sanggup bahagiain kamu seperti ayah dan keluargamu ngebahagiain kamu."

Alma membuang pandangan, menatap lalu lalang orang di taman. Ada rasa haru menyeruak dalam dadanya yang disertai sesak.

"Kamu pasti bisa memahami itu." Sekali lagi, Damar meyakinkan kekasihnya dengan tatapan lembut.

"Huum."

"Yuk, jalan-jalan ke mana pun kamu mau, kita hunting kuliner sebanyak-banyaknya, biar pipi kamu tambah chubby!" Damar mencubit gemas pipi bundar milik Alma yang kemerahan bak delima. Lantas menggamit jemari kekasihnya yang berseru kesal.

"Aaa! Nggak suka deh dicubit-cubit pipinya, kaya anak kecil tau!" seru Alma kesal, meski ia sebenarnya senang mendapatkan perlakuan manis dari Damar yang itu-itu saja. Namun dalam benak, Alma tengah merencanakan sesuatu untuk mengajari Damar cara menyenangkan dirinya sebagai pacar.

***

Angin berembus lumayan kencang di luar sana, dari balik jendela kaca, Damar mengamati ranting-ranting pohon saling bergesekan dan menggugurkan bebungaannya.

Lelaki bercambang yang selalu dicukur bersih itu menoleh ke belakang, mengamati Alma yang sejak kepulangan mereka dari jalan-jalan sore tadi tertidur pulas di ranjangnya.

Alma berjanji hanya akan tidur 30 menit saja, tetapi sampai jam 10 malam begini Alma masih susah dibangunkan. Damar mulai gelisah, ia tak ingin Alma menginap di flatnya jika hanya berduaan saja seperti ini.

Perlahan Damar menuju ranjangnya, ia menyugar rambutnya dengan resah, lalu mencoba membangunkan Alma sekali lagi. "Al, pulang udah malem." Damar mengusap-usap pelan pundak Alma yang tersembunyi di balik selimut.

"Nggak mau …." Alma menggulung dirinya di dalam selimut, masih dengan mata terpejam.

"Al—"

"Kenapa sih, nggak akan ada tetangga yang negur aku tidur bareng kamu kok …." Satu tangan Alma terjulur dari balik selimut, meraih tengkuk kekasihnya hingga mendekat ke wajahnya.

Beberapa saat Damar menatap mata sayu kekasihnya yang selalu membuatnya merindu, sembari menahan desiran aneh dalam dadanya.

Sedangkan Alma pura-pura tak acuh dengan kembali tertidur padahal hatinya tersenyum penuh kemenangan, mengetahui kekasihnya cemas dengan wajah merona kemerahan saat digoda seperti ini.

"Diri aku sendiri yang akan negur, Al." Suara Damar terdengar tegang, sembari menarik diri untuk menjauh.

"Cuma tidur bareng nggak ngapa-ngapain kok. Janji, aku gak bakal nakal sama kamu," rajuk Alma dengan suara parau. Akhirnya ia memunggungi Damar.

"Alma…."

Alma tak menyahut justru dengkuran halus yang terdengar dari Alma. Gadis itu terlelap kembali.

Damar mengurut keningnya, Alma memang sudah tidur sejak tadi jam sembilan, ia membiarkan agar lelah sang kekasih sedikit hilang baru nanti diantar pulang, tetapi nyatanya Alma sudah terlanjur lengket di kasur dan selimut milik Damar.

Damar pun beralih ke meja belajar, melanjutkan laporan makalahnya. Hingga tak terasa saat ia melirik jam dinding, tiba tengah malam. Dirinya pun sudah merasa lelah dan mengantuk, tapi sungkan untuk tidur di sisi Alma.

Satu jam lagi ia bertahan duduk di meja belajar, mengerjakan sisa tugas kuliahnya.

Namun tiba-tiba Alma yang tengah terpejam menjerit histeris, membutanya terperanjat kaget.

"Aaa!"

Damar melompat kaget menuju ranjang, merengkuh kekasihnya yang bercucuran keringat dingin, "Alma." Damar mengguncang bahu kekasihnnya.

"Argh .…" Suara lirih Alam terdengar lebih seperti erangan kesakitan.

"Alma, wake up!"

"Alma, bangun." Panik Damar mengguncang bahu dan menepuk-nepuk pelan pipi perempuannya.

Alma berhasil membuka matanya, seolah baru saja menyibak tirai mimpi buruk lantas terperanjat bangun merengkuh Damar. Napasnya tersengal dan tersedu-sedu tanpa air mata. "Aku takut, takut, ayo lari!" Ternyata Alma masih belum tersadar sepenuhnya.

Melihat kondisi Alma yang kacau membuat pendirian Damar runtuh, ia pun akhirnya membalas pelukan Alma dengan lebih erat. "Tenang, kamu aman sama aku, aku Damarmu, penerangmu Alma."

Alma pun perlahan tersadar, sedu sedannya berangsur hilang. Ia melepas pelukannya dari tubuh kekar sang kekasih. Sepintas ia menatap wajah oval berkulit sawo matang milik Damar dengan mata sayu.

Jengah di pandangi Alma cukup lama, Damar mengalihkan perhatian dengan mengambil segelas air minum yang biasa ia sediakan di sisi tempat tidur.

"Minum." Damar mengangsurkan segelas air minum kepada Alma.

Alma meminum air itu, tapi ekor matanya melirik Damar yang masih merangkul bahunya. Dalam hati ia bersorak senang, rencananya sebentar lagi berhasil.

Damar balas menatap ketika merasa Alma mengamatinya, "sudah minumnya?"

Alma sedikit tergagap saat pandangan mereka bertemu dan buru-buru menyerahkan gelas dari tangannya ke Damar.

"Ayo tidur," ujar Alma sembari menarik tangan Damar, tatapannya yang lemah begitu merayu dan memelas. "Aku takut mimpi buruk lagi." Membuat Damar tak tega untuk menepis dengan halus seperti biasanya, apalagi menyuruhnya pulang tengah malam begini dan membiarkannya tidur sendirian di flat.

Awalnya dengan perasaan ragu Damar ikut berbaring di sisi Alma. Genggaman gadis itu masih erat meski matanya telah terpejam, sesaaat Damar masih terjaga. Ia teliti setiap inchi wajah perempuan berambut separuh pirang itu. Penampilannya memang suka nyentrik, tetapi ketika melihatnya bermimpi buruk dan ketakutan membuatnya terlihat seperti anak kecil yang amat haus kasih sayang. Damar perlahan mengusap-usap kepala Alma dengan lembut. Penuh kasih.

Setelah yakin Alma tertidur pulas, Damar memutuskan untuk tidur membelakanginya.

Alma yang merasakan pergerakan Damar pun ikut menggeser tubuhnya semakin dekat dengan Damar dan memeluk dari belakang.

Seketika Damar tercekat, desiran aneh itu datang lagi, saat jemari halus nan lentik kekasihnya menyentuh pinggang kekarnya. Ia berusaha memindahkan tangan itu, tetapi Alma kembali merintih, membuat Damar urung melakukannya dan merasa iba.

Malam terus beranjak semakin matang. Namun bagai menghitung detik, malam terasa lebih panjang dan Damar tak kunjung bisa terpejam. Rasa gelisah yang tak ia pahami menyelimuti dirinya akibat terpaan hangat napas Alma yang mengenai punggungnya yang hanya terbalut kaus tipis.

Merasa furstasi Damar memaksa untuk terpejam, meski telinganya masih bisa menyimak suara detik jarum jam dan tiba-tiba indra perasa di kulit bibirnya merasakan ada sesuatu yang mendarat. Hangat, lembut dan manis.

Sejenak Damar mengerutkan dahinya, menebak-nebak apa yang terjadi. Sampai hal itu ia rasakan kedua kalinya, dengan sensasi lebih hangat dan lebih intim. Ia kira itu mimpi.

Dan awalnya ia berusaha menolak, tetapi lama-lama berubah pasif mendapat perlakuan itu hingga akhirnya ia berusaha membalas balutan kehangatan di bibirnya dengan sebuah isapan.

Tidak, Damar yang belum terlelap sepenuhnya berusaha untuk sadar.

Ia terbelalak mendapati Alma dengan terpejam tengah melumat indra pengecapnya, spontan ia mendorong Alma menjuah.

"Kamu menikmatinya, Damar." Alma berkata lirih. Menatap lembut. Bibirnya yang ranum tampak basah, sepintas mampu memperdaya Damar.

Damar mengerjap-ngerjap, berusaha berpikir jernih. "Stop sampai di sini Alma, dan tidurlah."

"Damar, aku butuh merasa benar-benar ditemani."

"Bukankah aku sudah benar-benar menemanimu Alma?" Elaknya yang mulai merasa jatuh ke jurang yang Alma ciptakan.

"Belum, jika tidak ada kehangatan diantara kita."

"Enggak Alma, aku nggak mau terlalu jauh. Aku takut kamu hamil!"

"Nggak akan hamil. Ayolah Damar, bantu aku menepis mimpi buruk itu malam ini saja, kehangantanmu membuatku merasa lebih baik dan mampu menghalau bayang-bayang buruk itu." Alma berusaha kembali meraih pinggang sang kekasih.

"Tolong lepaskan Alma." Lirih Damar memohon, lebih memohon kepada dirinya sendiri yang semakin terhanyut belain kekasihnya.

Alma tak banyak bicara terus berusaha menawarkan pelukannya. Damar masih terlalu canggung untuk itu berusaha menolak, meski penolakannya kalah akan usaha Alma meluluhkannya.

Hingga hal yang paling intim terjadi. Pertama seumur hidup bagi keduanya, membuat isi kepala Damar berantakan tak keruan sampai ia lupa telah mengeluarkan benihnya di rahim Alma tanpa kontrasepsi apapun.