webnovel

1. The Princess Pramusito

Udara musim panas pagi itu cukup bersahabat, angin bertiup lembut mengiringi langkah para wisudawan dan tamu undangan menuju hall tempat acara wisuda akan berlangsung.

Tampak seorang tamu undangan muda mengedarkan pandangannya ke sana kemari, meneliti tiap inci halaman universitas Disburg Essen yang luas dengan gedung-gedung perkuliahan yang tinggi nan megah. Mencari seseorang.

Tak lama kemudian, dari arah berlawanan, seorang wanita dengan rambut dicepol rendah dan bawahan kain songket dengan desain kekinian berlarian ke arahnya. Membelah kerumunan orang-orang yang sedang berjalan.

"Sayang!" seru seorang perempuan cantik yang telah mengenakan pakaian wisuda khas universitas Duisburg Essen. Tubuh semampai nan langsingnya menghambur ke dalam pelukan seorang lelaki gagah berambut legam.

Yang dipeluk seketika menegang dan tanpa si perempuan sadar wajah lelakinya itu samar-samar memerah menahan gugup dan gejolak di dada.

"Lepas, Alma, malu aku diliatin orang-orang!" ujar si lelaki itu yang pagi ini tampak lebih tampan dengan setelan formalnya.

Alma mengintip keadaan sekitar dengan ekor matanya, beberapa orang berlalu lalang tanpa memerdulikan mereka. Ia justru sengaja mengeratkan pelukannya pada lelaki itu. Tersenyum centil.

Lelaki itu kian salah tingkah, ia mengusap-usap rambutnya yang telah tersisir rapi hingga kembali acak-acakan. Sampai ia menemukan sebuah ide untuk mengecoh kekasihnya itu.

"Ngomong-ngomong, aku seneng kamu sudah lulus, jadi nggak akan ada lagi cewek manja yang rusuh setiap weekend ngajak jalan-jalan," canda lelaki berkulit sawo matang itu, yang berhasil mengalihkan perhatian si perempuannya hingga akhirnya melepaskan pelukan.

"Nyebelin banget! Awas aja, abis ini kita ldr lho!" Alma mundur beberapa langkah, melipat sikunya. Memanyunkan bibir, kesal.

"Tenang, aku gak bakal kesepian, cewek-cewek Jerman asik kok buat temen kencan." Lelaki dengan rambut dibelah tengah khas pria-pria Asia itu berlagak melirik ke salah satu tamu undangan perempuan yang sedang melewati mereka.

"Sana kalo berani, pegangan tangan sama aku aja jarang-jarang!" Tantang Alma sembari berkacak pinggang, mendelik ke arah tamu undangan perempuan itu.

Namun, tingkah manjanya justru memicu tawa lelaki mahasiswa S-2 fakultas ilmu sosial di univertas yang sama.

Seseorang yang baru tiba di halaman hall mendekati keduanya, "Alma, masuk, acara wisuda segera dimulai," tegur seorang lelaki berkepala empat yang mengenakan setelan jas silver, menampilkan sisi jiwa muda meski dibalut sedikit kerutan di sudut mata.

"Eh, Ayah, kebetulan, kenalin ini Damar." Alma mengenalkan lelakinya.

Ayah Alma hanya tersenyum tipis, tanpa mengatakan kalimat perkenalan sedikit pun.

Yang dikenalkan seketika menegang, pasalnya Alma telah melanggar peraturan yang mereka buat, untuk tidak saling mengenalkan diri kepada keluarga besar masing-masing sebelum Damar sukses. Latar belakang keluarganya yang tergolong kalangan menengah ke bawah, membuatnya sedikit merasa rendah diri, sehingga sangat memperhitungkan untuk segera berlanjut ke hubungan yang lebih serius.

Terlebih, bapak Pramusito, seorang pebisnis paling tersohor di Surabaya itu menatap dengan tidak bersahabat, membuat Damar semakin merasa ciut.

"Hanya Alma yang berani mengenalkan seorang lelaki kepada saya, kakak-kakaknya justru saya sendiri yang mencarikan jodoh." Kalimat dari ayah tiga anak itu lebih terasa seperti ancaman bagi Damar. Terlebih tatapannya justru terarah ke gedung megah beraksitektur klasik di hadapan mereka, bukannya ke arah Damar. Seolah-olah itu sendirian halus tentang betapa jauhnya perbedaan kasta antara mereka.

"Itu artinya Alma anak Ayah yang paling cakep, karena cepet laku!" seru Alma mencairkan suasana, sang ayah lantas mendaratkan usapan lembut pada ubun-ubun putri bungsunya.

"Ayah tunggu di dalam, cepat!"

Alma mengedipkan satu matanya kepada sang ayah dan lelaki konglomerat itu pun balik kanan, melangkah pergi hingga punggungnya hilang di balik pintu auditorium nan megah.

Alma pun menggamit lengan Damar, yang lebih terlihat seperti menyeret bocah kecil masuk ke ruang hall.

Melalui pintu setinggi langit, Alma dan Damar masuk ke ruang wisuda yang telah dipadati orang-orang. Terdengar pula instrumen yang mengalun merdu, mengawal para tamu undangan yang masuk.

Alma berdecak kagum pada interior gedung itu, megah dengan nuansa warna merah dan emas pada tiap sudutnya. Kursi-kursi wisudawan, tamu undangan, hingga panggung wisudan di desain bagaikan kerajaan kecil yang mengagumkan.

Tidak heran karena Jerman memang juaranya kastil impian, bahkan disneyland pun terinspirasi dari salah satu kastil yang ada di Jerman.

"Mending pulang aja deh, ayah kamu mengintimidasi banget." Damar justru merasa tak nyaman berada di sana.

Alma menghela napas sebal, "insecure banget, sih! pd aja." Senyum gadis itu terbit meyakinkan Damar, "justru ini kesempatan kamu mengenalkan diri ke ayah."

Damar masih bungkam, menimbang-nimbang.

"Kelamaan mikir, kalo kamu gak mau nemuin ayah lagi, aku cium nih!" Alma sedikit berjinjit memonyongkan bibir.

Damar sontak membekap bibir perempuan yang telah jadi pacarnya sejak lima tahun lalu itu. "Gak usah macem-macem deh, entar lipstik kamu luntur." Sembari mendelik sok galak.

Alma melepas paksa tangan Damar dari bibirnya, lantas nyengir lebar karena berhasil mengerjai pacarnya yang menurutnya aneh, karena sejak awal pacaran selalu menjaga jarak untuk meminimalsir kontak fisik. Bahkan bergandengan tangan saat jalan bersama pun jarang Damar lakukan. Sebenarnya ia cukup kecewa, dengan berpacaran ia berharap bisa mendapatkan perlakuan-perlakuan mesra nan manis, ternyata tidak. Namun tidak ada pilihan lain selain menghormati keputusan pasangannya.

Keduanya pun meneruskan langkah, mencari kursi kosong untuk di duduki, Alma sengaja mengaitkan jari kelingkingnya ke salah satu jari milik Damar. Kali ini tangan kekar itu tak mengelak diajak bergandengan. Samar-samar ia merasakan keringat dingin membasahi telapak tangan Damar, gugup karena akan bertemu sang calon mertua.

Alma duduk di kursi peserta wisuda, yang berada di sayap kanan gedung, sedangkan Damar beberapa kali mengusap wajahnya dengan resah, karena merasa sial hanya menemukan kursi kosong tepat di sisi sang konglomerat tersohor, Pramusito.

Baru saja Damar mendaratkan dirinya di kursi itu.

"Putriku memiliki segalanya, kasih sayang, hidup berkecukupan, lantas apa yang dia lihat darimu?" Paramusito bersuara tanpa menoleh sedikitpun ke arah Damar, tatapannya lurus ke depan terkesan tajam.

Damar yang mendengarnya seketika menegang dan tercekat. Awalnya ia hendak menjawab saya memberinya kenyamanan dan cinta, tapi setengah hatinya mengejek jawaban remeh itu, belum lagi kenyataannya keluarga Pramusito hanya mengukur potensi seseorang dari latar belakang ekonominya. Tentu jelas, jawaban semacam itu hanya akan jadi nilai buruk bagi Damar.

"Ekhem." Damar tersedak angan-angannya sendiri, "mungkin, Alma melihat potensi dalam diri saya yang bisa membuatnya bahagia di masa depan jika bersama saya." Akhirnya sebuah jawaban diplomatis keluar dari mulutnya.

Pramusito menyungging senyum dengan satu sudut bibirnya, lebih terlihat seperti menertawai lelucon yang garing.

Sebuah musik instrumental mengalun merdu mengisi atmosfer hall wisuda, lalu dari pintu masuk di bagian kiri gedung para dewan petinggi universitas berjalan masuk. Dengan jubah hitam yang berkelebat dan ketukan sepatu pantofel menggema dari lantai, menambah kesan dramatis dan elegan. Membuat para tamu undangan berdecak kagum.

Lain halnya dengan Damar, ia mengembuskan napas lega, itu artinya acara wisuda akan segera dimulai dan sang calon mertua akan fokus pada podium di depan sana daripada mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam yang menyebalkan.