webnovel

Aku Tidak Mau Pergi Ke Pengadilan

Pagi hari telah tiba. Hari ini Lisa tidak pergi ke kantor seperti biasanya, karena esok ia dan keluarganya akan menghadiri sidang perceraian orang tuanya. Kemarin ia berjanji memberitahu Ibunya bahwa ia sudah menemukan pengacara untuk menyelesaikan surat cerai yang digantung oleh ayahnya.

Lisa pergi ke dapur mencari Ibunya, ternyata benar Kumala sedang sibuk membuat sarapan untuk Lisa dan Bella adiknya. Lisa kaget melihat Bella duduk di kursi meja makan. Beberapa minggu terakhir Bella jarang sekali di rumah, kuliahnya membuat Bella menghabiskan waktunya di kampus dan di kos temannnya.

"Tumben Bel lo pulang? Diusir sama dosen ya?" goda Lisa.

"Eh sembarangan lo kak! Gue udah kehabisan baju dalem nih makanya pulang!" jawab Bella sedikit kesal, ia mengaduk cangkir tehnya dengan cepat.

"Gila lo Bel, pulang ke rumah cuma buat ambil kancut baru! Hahaha!" Lisa tertawa renyah sambil menarik kursi meja makan dan duduk.

"Sudah - sudah, ini sarapan sudah siap!" Kumala membawa sebuah panci berisi sup ayam, meletakkannya di atas meja makan. Aroma sup ayam itu semerbak hingga ruang tamu. Bella yang nampaknya tidak makan sehari menatap sup ayam itu dengan penuh nafsu.

"Ah aku kangen masakan Ibu!" seru Bella seraya menyendok sup ke dalam mangkuknya.

"Ngomong - ngomong, Lisa sudah menemukan pengacara untuk menyelesaikan surat cerai ibu!" sahut Lisa memecah kesunyian.

Kumala menatap Lisa dengan mata yang berbinar – binar. Setelah sekian lama, akhirnya kasus perceraian itu dapat ditangani juga!

"Ibu cuma tinggal menghubungi ayah agar datang ke pengadilan besok," jelas Lisa.

Kumala hanya diam mendengar Lisa. Ia bahkan tidak tahu bagaimana caranya menghubungi mantan suaminya yang masih sering menyakitinya. Namun masalah perceraian ini harus diselesaikan! Kumala harus memberanikan diri untuk menelepon mantan suaminya. Tetapi hatinya seketika terasa hancur ketika mengingat nama dari mantan suaminya itu.

Kumala meneteskan air mata, sembari menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Napasnya mulai tersendat, ia tak mampu menahan rasa sakit di dalam hatinya.

Lisa beranjak dari tempat duduknya dan mencoba menenangkan ibunya yang menangis seseunggukan. Ia tahu, menyebut nama ayahnya di depan ibunya sudah pasti membuka luka lama, sama seperti ketika Lisa berpapasan dengan ayahnya di busway dan di kantor pajak beberapa hari silam. Tetapi agar penderitaan ibunya selesai, ia harus mengatakan yang sejujurnya.

"Ibu, jika ibu tidak mampu untuk menghubungi ayah, biarkan Lisa saja yang menghubunginya. Ibu cukup istirahat saja hari ini, besok tinggal pergi ke pengadilan. Nanti Ibu sakit kalau tidak istirahat sekarang."

"Kak lo gila kali ya? Udah tau ibu itu gampang nangis kalau dengar ayah malah nyuruh ibu nelpon ayah!" sela Bella dari meja makan.

"Bel, kalo gue nggak bilang ke ibu sudah pasti surat cerai itu nggak akan ditandatangani, nggak bakal selesai! Yasudahlah ya lagian gue yang nelpon ayah ntar!" jawab Lisa ketus.

Beberapa saat setelah ketiga wanita itu bercakap di ruang makan. Tiba – tiba pintu pagar diketuk. Ada seseorang di luar sana. Bella beranjak dari kursinya dan segera membukakan pintu.

Tidak disangka, pria yang mengetuk pintu adalah Gatot Soewandi. Ayah kandung Lisa dan Bella, suami Kumala yang menggantung surat perceraian. Lisa melihat sosok ayahnya itu dengan tatapan penuh amarah. Untuk apa pria itu datang kemari tanpa diminta? Tidak ada hal yang lebih mengacak – acak hati Lisa dan keluarganya selain melihat sosok pria paruh baya yang kurus dan jelek itu berdiri di rumahnya!

"Bella lo napa membiarkannya masuk?" tanya Lisa dengan nada tinggi.

"Ya kali kuusir! Dia tiba - tiba masuk gitu aja coba!?" sentak Bella yang juga bingung melihat ayahnya tiba – tiba datang ke rumahnya.

Mata Lisa yang penuh kebencian dan amarah melirik Gatot Soewandi dari sudut matanya, melihat sosok lelaki itu benar – benar membuatnya naik pitam. Dengan tegas, Lisa berkata kepada ayahnya, "Dasar bajingan! Buat apa kamu ke sini hah! Sana keluar! Kamu tidak diterima di rumah ini, brengsek!"

Lisa sangat membenci ayahnya, kebenciannya terhadap ayahnya takkan habis dimakan waktu. Pria itu benar – benar tidak bertanggung jawab atas keluarganya. Meninggalkan ibu dan adiknya hanya demi seorang janda kaya raya. Jika bukan karena perbuatan ayahnya itu, Lisa tidak perlu sampai bekerja keras menafkahi ibu dan adiknya itu!

Gatot hanya tersenyum culas melihat putri sulungnya itu mengejek dirinya. Tatapan matanya kini tertuju pada Lisa. "Seperti itu kah kamu bicara dengan ayahmu? Ibumu benar – benar tidak mengajariimu sopan santun ya!? Pantas saja hingga kini masih menjanda!"

"Jangan sembarangan bicara kamu! Ketika Ibu membutuhkan bantuan kau malah meninggalkannya! Ayah macam apa yang tega meninggalkan anak dan istrinya karena tidak sanggup menafkahi!?! Keluar kamu dari rumah ini dasar bajingan tua!��� Lisa menunjuk ke arah pintu keluar dengan amarah yang menggebu.

Gatot menyilangkan kedua tangannya dan berbicara dengan nada angkuh, "Heh, mana Kumala!? Beginikah cara dia mendidik anak – anaknya? Sungguh wanita tua tidak berguna!"

Lisa berlari ke arah ayahnya itu siap menghajar wajah tua pria itu. Namun tinjunya dihentikan oleh Kumala yang tiba – tiba datang dari kamarnya. Wanita itu menarik Lisa ke belakang dan memeganginya, "Tolong jangan saling menyakiti!"

"Hah, muncul juga akhirnya kau! Masih suka sembunyi jika aku datang berkunjung!?" bentak Gatot sambil menarik kerah baju Kumala dengan kasar. Kumala merintih ketakutan.

"Apa yang kau inginkan ayah!? Tidakkah kamu cukup puas menyakiti ibu dengan meninggalkannya dan anak – anaknya!?" tanya Lisa marah. Tangan kanannya masih mengepalkan tinju.

"Nak, kuberitahu. Ibumu ini wanita tidak berguna yang harusnya enyah dari dunia. Kau pikir kenapa aku menikah lagi Lisa!? Ya jelas karena ibumu itu wanita tua yang tidak mampu mengurus anak!"

"Hei bajingan tutup mulutmu! Kau yang tidak berguna! Ingatlah ketika keadaan ekonomi keluarga ini sedang tidak sehat? Bukannya kau pergi bekerja yang giat malah lari meninggalkan kami. Siapa yang tidak bertanggung jawab sekarang?!" bentak Lisa lagi, kali ini suaranya meninggi menggema ke seluruh penjuru ruangan.

"Sudah cukup kalian berdua! Ada yang lebih penting untuk dibicarakan daripada saling adu jotos seperti ini!" Kumala bangkit dari tempatnya meringkuk. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum kembali berbicara kepada Gatot.

"Gatot! Untuk hari ini saja tolong, duduk dan mari kita bicarakan perkara surat perceraian kita yang belum selesai hingga kini!" kata Kumala tegas. Baru kali ini Lisa melihat ibunya berdiri tegak dengan tegas dan berwibawa. Sekejap, Gatot menuruti perintah Kumala.

Kumala memutar kepala dan memberi isyarat kepada Bella untuk kembali ke kamarnya. Lisa masih terdiam di ruang tamu, menunggu isyarat dari Ibunya. Kumala kemudian mempersilahkan Lisa untuk duduk bertiga di ruang tamu bersama dengan ayahnya.

"Lisa, silakan jelaskan kepada ayahmu ini. Mumpung batang hidungnya masih kelihatan!" perintah Kumala tegas.

Lisa berdeham, mencoba mengatur kata – kata yang akan dikeluarkan kepada ayahnya itu. Ayahnya duduk dengan tangan tersilang, ekspresi wajahnya menunjukkan ketidak sukaan kepada Lisa.

"Jadi, Ayah, Ibu.. Lisa sudah menemukan pengacara. Besok pagi kita harus ke pengadilan untuk menyelesaikan perceraian ayah dan ibu yang sudah lama terbengkalai. Jadi Lisa memohon dengan sangat agar Ayah besok datang ke pengadilan. Kita selesaikan masalah ini untuk selamanya!"

Gatot tertawa mendengar penjelasan Lisa. "Kamu? Kalian? Menyewa pengacara!? Hahaha yang benar saja! Buat bayar pajak rumah saja kalian tidak sanggup! Apalagi menyewa pengacara," ejeknya dengan nada menjengkelkan.

Jika Lisa dapat memilih, ia memilih untuk tidak melihat Gatot lagi di dalam hidupnya sepanjang akhir hayatnya. Berurusan dengan pria pengecut seperti ayahnya ini memakan mental dan fisik. Gara – gara pria ini juga Lisa harus menggantikan posisinya sebagai pencari nafkah.

"Aku tidak bercanda ayah! Aku sudah menemukan pengacara, namanya Thomas Manurung! Besok kita akan bertemu di pengadilan! Aku harap kamu datang, Gatot Soewandi!" ucap Lisa dengan sedikit cemooh.

"Haha tidak! Aku tidak akan datang ke pengadilan. Aku sudah bahagia dengan hidupku yang sekarang. Hanya saja ibumu masih hidup di dunia ini. Aku hanya mau melihat ibumu mati sengsara, Titik! "

"Hei bajingan jaga mulutmu atau aku akan mengahajr wajahmu yang jelek itu!" bentak Lisa kesal, ia sudah siap melayangkan tinjunya kepada Gatot.

"Hei dengar, aku ke sini hanya ingin melihat ibumu sengsara. Bukan membahas pengadilan tidak berguna ini! Buang – buang waktuku saja!" cemooh Gatot. Ia meletakkan kedua kakinya di atas meja ruang tamu.

"Ayah harus ke pengadilan besok! Titik!"

"Tidak! Aku tidak mau. Masalahku dengan ibumu sudah selesai lama sebelum kamu menjadi berandalan seperti ini Lisa!"

Lisa menahan amarahnya. Percuma berbicara dengan pria bajingan yang ada di hadapannya ini. Pria itu tidak akan mau mengerti.

Setelah beberapa menit, Gatot pergi meninggalkan rumahnya. Kumala tidak mampu berkata apa – apa. Ia terlalu lemah di hadapan Gatot.

"Sudahlah nak, surat perceraian itu tidak akan mau ia tanda tangani. Tidak akan selesai hingga aku menjadi abu nak!" isak Kumala di ruang tamu.

"Ibu tidak usah khawatir, Lisa sudah punya solusinya."

Next chapter