webnovel

Chapter 17 : How To Comfort A Friend

"Hari ini tugas kalian adalah tugas kelompok. Untuk anggotanya, ibu tentuin secara acak. Setiap kelompok bakal dapet tema yang berbeda-beda. Sistemnya gampang, nanti hanya salah satu dari anggota kelompok yang akan mempresentasikan hasil kerjanya. Tapi semua harus ngerjain, ya, paham?"

"Paham!"

Lareina mendengus kesal ketika Bu Farrah, guru sejarah, yang juga Mamanya, memberikan tugas kelompok. Lareina tidak terlalu suka dengan tugas kelompok. Ia lebih suka mengerjakan tugasnya sendiri tanpa harus beradu pendapat dengan murid lainnya. Apalagi dengan sifat Lareina yang selalu merasa paling benar dan sempurna. Tugas kelompok hanya akan menambah beban hidupnya.

"Cherryl, Fazzan, Lareina, Sean, Shana, kalian masuk kelompok tiga. Ketuanya Lareina dan Shana kebagian untuk presentasi. Dicatat anggotanya biar gak lupa," ujar Bu Farrah menentukan kelompoknya.

Lareina kembali menghela nafasnya dengan berat lalu menghampiri bangku Sean yang berada dibarisan paling depan. Gadis itu mencolek bahu Sean tanpa mengatakan sepatah katapun.

"Kenapa mukanya cemberut gitu? Gak mau sekelompok sama gue?" canda Sean ketika melihat wajah muram Lareina.

Lareina menggelengkan kepalanya, "Lo aja yang jadi ketua gimana? Males banget gue," pinta Lareina.

"Protes sana ke emak lo," ujar Sean yang membuat Lareina menoleh ke arah Bu Farrah atau Mamanya yang ternyata juga sudah menatap tajam Lareina.

Lareina mendengus, "Noh, liat. Diliatin gitu mana gue berani," ujar Lareina dengan nada pasrah.

Sean hanya tertawa kecil melihat Lareina yang sudah pasrah. Tak lama kemudian, Cherryl, Fazzan, dan Shana ikut menghampiri bangku Sean.

"Kerkomnya di belakang aja yuk, biar bisa duduk santai di lantai," ajak Cherryl yang disetujui oleh keempat anggota lainnya.

Lareina, Sean, Cherryl, Fazzan, dan Shana duduk berles han di belakang kelas. Mereka semua sibuk berdiskusi mengenai materi yang akan dipresentasikan, kecuali Shana.

Ketika anggota lain membagikan pengetahuan dan pendapat mereka, Shana hanya terdiam. Berusaha untuk mencerna berbagai materi yang didiskusikan oleh anggota lain.

Fazzan yang menyadari hal itu pun menghentikan Cherryl yang sedang memberikan pendapatnya, "Bentar dulu, Cher," pinta Fazzan yang membuat Cherry segera membungkan mulutnya. "Eh, Shan, lo mau diem aja? Kasih ide atau pendapat lo kek, jangan terima enaknya aja. Mentang-mentang kebagian presentasi, lo kira guru bakal nilai lo doang?" protes Fazzan pada Shana.

Shana diam tertunduk lalu membolak-balikkan buku pelajarannya dengan asal. Cherryl menatap tajam Fazzan, "Kasar banget sih lo, Faz? Mungkin aja Shana masih belum paham atau gimana, gak usah galak-galak juga kali," bela Shana.

Lareina sebenarnya memperhatikan Shana saat mereka berdiskusi tadi. Ia juga sadar bahwa Shana terdiam karena masih tidak paham dengan materi yang akan mereka presentasikan. Ketidakpahaman itu terpampang jelas di wajah Shana.

Namun, Lareina tidak terlalu memedulikannya. Jika dengan empat orang saja tugas ini bisa berakhir dengan cepat, maka ia tidak peduli apabila ada salah satu anggota yang tidak ikut bekerja. Toh, Shana juga yang harus menghapal semua hasil diskusi mereka untuk dipresentasikan. Tidak ada isitilah free rider dalam kelompok ini.

"Bener kata Cherryl, kita masih sama-sama belajar juga," timbal Sean.

"Maaf…" ujar Shana dengan suaranya terbata-bata berusaha menahan tangisnya.

Sean melihat Shana yang sudah mulai menitihkan air mata, "Shan, lo keluar dulu gih. Lareina mau ngomong sesuatu sama lo."

Lareina yang namanya disebut namanya membelakakan matanya bingung, "Apaan? Gue gak mau ngomong apa-apa."

Sean mendorong pelan Lareina, mengisyaratkan gadis itu untuk membawa Shana keluar dari kelas.

"Apaan sih dorong-dorong."

Sean menepuk jidatnya melihat tingkat kepekaan Lareina yang rendah, "Lo bawa Shana keluar, terus tenangin dia. Bilang gak apa-apa kalo dia masih belum ngerti," bisik Sean agar tidak terdengar oleh Shana.

"Lah kenapa jadi gue?" tanya Lareina ikut berbisik.

"Lo, kan, ketuanya. Udah cepet sana!" bisik Sean yang kali ini mendorong Lareina cukup keras.

Ingin rasanya Lareina memukul Sean untuk meluapkan kekesalannya, namun niatan itu ia urungkan ketika melihat Shana yang sedang menangis. Dengan terpaksa, gadis itu membawa Shana keluar dari kelas.

Lareina dan Shana duduk di kursi taman yang terletak di sebelah kantin. Shana masih menutup wajahnya dan menangis. Sesungguhnya Lareina tidak peduli dan ia tidak pernah menenangkan orang yang menangis sebelumnya, sehingga mereka berdua hanya terdiam dan sesekali diiringi dengan suara tangisan Shana.

"Gue tau kok gue gak pinter. Dibanding sama lo semua yang masuk lima besar di perangkingan kelas, gue emang bego. Tapi gue gak ada sama sekali niatan buat gak ikut kerja. Gue juga berusaha buat mahamin semua materi," ujar Shana yang akhirnya membuka suara.

Lareina menopangkan dagunya sembari memperhatikan Shana, "Terus, lo mau nyalahin kita yang udah ngerti materi duluan atau gimana?" tanya Lareina yang membuat Shana terkejut.

"Bu-bukan itu maksud gue, maaf, Rei…" balas Shana yang kembali menangis. Kali ini tangisannya sedikit lebih kencang.

"Kalau lo tau lo itu lebih lemot dari anak lain, ya harusnya lo punya inisatif duluan buat belajar. Lo pikir kita-kita ini bisa masuk ranking lima besar karena pinter dari sananya?" tanya Lareina.

"Kalau gue sih kayaknya iya, tapi anak-anak lain bahkan termasuk gue yang udah pinter darisananya pun belajar. Dan kita punya inisiatif buat belajar lebih giat. Gue tanya, lo gitu juga gak?" lanjut Lareina masih dengan nada tenang meskipun pertanyaan yang dilontarkannya itu menusuk bagian dalam hati Shana.

Shana hanya menggeleng dan terus menangis. Sean yang mengikuti Lareina dan Shana dari belakang pun memijit kepalanya yang terasa pening. Keputusan Sean mengirim Lareina untuk menenangkan Shana adalah kesalahan besar.

Lareina sedikit panik karena tangisan Shana yang semakin kencang, namun gadis itu memang pada dasarnya tidak bisa berbicara manis hanya sekedar untuk memenangkan seseorang. Kemudian terbesit di pikiran Lareina sebuah dialog yang pernah ia ucapkan dalam sebuah film saat menghadapi lawan mainnya yang sedang berakting menangis.

Lareina menepuk pundak Shana perlahan sesuai dengan adegan yang terdapat di naskah filmnya, "Shan, mungkin kalau lo belajar lebih giat lagi, gue yakin lo pasti bisa kok mahamin semua materi. Kuncinya cuma satu, kemauan lo buat belajar harus ditingkatin. Semangat, pasti bisa!" ujar Lareina menggunakan kemampuan akting kelas atasnya.

"Kalo gue lebih giat belajarnya, apa gue bisa jadi pinter kayak lo, Rei?" tanya Shana sembari sesengukan.

Lareina menggeleng, "Kalo lo mau jadi kayak gue, itu gak mungkin. But atleast lo bisalah kayak Sean kalo lo lebih giat belajar," jawab Lareina kembali ke mode aslinya.

Shana sudah berhenti menangis dan bahkan sudah bisa tertawa, "Gue janji, gue bakal belajar lebih giat lagi."

Lareina menghela nafasnya lega, "Misalkan lo udah belajar giat dan hasilnya sama aja, berarti bakat lo bukan di akademik," ujar Lareina.

"Gue baca cerita pendek lo yang ada di mading sekolah. Menarik. Gue rasa, lo bisa nulis novel juga. Coba deh nulis di aplikasi menulis. Bisa aja cerita lo diterbitin terus diadaptasi jadi film. Di masa depan, gampang banget buat novel online dijadiin film atau series," jelas Lareina yang membuat Shana tersenyum.

"Makasih, Rei," ucap Shana malu-malu.

"Gak usah makasih sama gue. Gue gak ngapa-ngapain. Udah sana ke toilet terus cuci muka." Perintah Lareina itu langsung dipatuhi oleh Shana yang langsung pergi ke arah toilet.

Sean yang sedari tadi memperhatikan percakapan kedua teman sekelasnya itu menghampiri Lareina dan duduk disampingnya.

"Maksudnya kalo rajin belajar bisa jadi kayak gue itu apa ya?" tanya Sean penuh sarkas.

"Emang gak mungkin buat Shana jadi gue. Jadi lo lebih memungkinkan," balas Lareina santai.

Sean mengacak-acak rambut Lareina, gemas, "Walaupun sempet bikin gue kaget gara-gara omongan pedes lo tadi di awal, tapi akhirnya bisa juga lo basa-basi buat nenangin Shana. You did a great job."

Lareina tertegun ketika telapak tangan Sean sudah ada dikepalanya, mengacak-acak rambutnya. Gadis itu bergeser menjauh dari Sean. Sean yang akhirnya tersadar dengan perbuatannya itu melepaskan tangannya dan meminta maaf pada Lareina.

Lareina menarik nafasnya dalam-dalam, berusaha untuk tenang, "Lain kali, jangan acak-acak rambut gue. Capek tau nyatoknya setiap pagi, main lo berantakin aja," ujar Lareina lalu berlari pergi menjauh dari Sean untuk menyembunyikan wajahnya yang mulai memerah.