webnovel

Pukul 7

"Forensik bilang, jika darah ini milik dua orang."

··———★————★———··

Mendengar pernyataan Detektif Addie, Ben cukup terkejut dengan kasus kali ini yang teramat sadis. Banyak tim khusus memotret tempat kejadian perkara. Dengan jasad yang masih terbaring dipojok ruangan kelas. "Biar ku lihat jasadnya dulu."

Keadaannya sungguh mengenaskan dengan tubuh yang bukan miliknya. "Tubuh itu bukan milik gadis itu." Jelas Johan sebelum menyeruput kopinya, "tubuh itu milik satpam sekolah, sedangkan kepala satpam dan tubuh gadis itu belum ditemukan."

Ben melihat tubuh itu dengan lama Di bagian lehernya terdapat ribuan Staples yang mengelilingi lehernya. Agar bisa menyatuh dengan tubuh itu. Ben mulai berspekulasi jika kemungkinan gadis ini dibunuh oleh seorang pria. Tetapi,

Ben menggerakan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Kursi yang tertata rapi dengan darah mengalir hingga kursi barisan nomor 3. Dan tunggu, ada beberapa kursi yang tergores di kaki kursi. Itu seperti cakaran dan ada tersisa kuku tangan di sana. Itu berarti, "pembunuh itu merapikan kursi-kursi dan meja ini."

Ben menghampiri Johan, "apakah kursi-kursi itu sudah dicek?"

Johan menantapnya, "apa kau menemukan sesuatu ?"

Ben membuat gestur agar pria itu mengikutinya. Ben menunjuk kursi dibarisan nomor empat dari depan terdapat kuku tangan seseorang. "Astaga!"

Dalam satu kelas terdapat 6 baris bangku. Dan 6 baris formasi kiri dan kanan. Jasad ditemukan di baris nomor 6 formasi 4 & 5. Darah membanjiri formasi 3 , 4 & 5. Sedangkan baris bangku 4, 5, & 6 memiliki kerapian yang berbeda dari baris 3, 2 & 1. Di formasi 3, 4 & 5.

"Dan itu berarti, sang pembunuh telah merapikan kursi-kursi yang telah dibuat kaca olehnya. Kuku ini adalah petunjuknya." Jelas Ben, "yang berarti, menurut saya sang pembunuh menarik kakinya dan gadis itu terjatuh. Berusaha menarik sesuatu yang membantu hingga genggaman kuatnya membuat tarikan kuat dari sang pembunuh hingga kuku tangannya lepas dari jarinya."

"Darimana kau bisa menebak ini kuku jari gadis itu ?"

"Dikarenakan kemungkinan gadis itu datang lebih awal ke sekolah untuk mengerjakan PR dan... ia menjadi korban pembunuhan." Penjelasan seadanya Ben, membuat Johan berpikir keras untuk menjawabnya. "Gadis ini telah tewas sekitar pukul 2 pagi. Detektif Addie dan Abel telah menghubungi keluarganya, kalau putrinya tidak pulang karena belajar bersiap untuk ujian kelulusan nanti. Terakhir kabar dari sang ibu, gadis ini sudah ada didalam asrama bersama temannya. Selepas itu, tidak tahu mengapa ada kejadian tragis ini." Jelas Johan, Ben terdiam seketika dengan spekulasi yang telah ia berpikir keras.

Johan meremas bahunya, "aku tidak tahu apa yang mengganggu otakmu hingga kerjamu sangat menurun. Apa yang terjadi, Ben ?" Ben terdiam dengan pupil matanya bergerak gelisah. "Aku baik-baik saja..." Gumamnya, "Apa ini karena... hah.. lupakan lah, kau butuh liburan, Ben."

"Liburan ?" Ben mulai tak suka dengan keputusan itu. "Apa maksudmu aku stres akibat kehilangan anakku ? Tidak.. pak, aku bisa membagi dimana pekerjaan dan keluarga.."

"Aku tahu, Ben." Johan memijat pelipisnya yang tiba-tiba sakit mendengar dusta Ben. "Setidaknya, kau butuh liburan untuk beristirahat dahulu." Keduanya saling bertatap, dan Ben mulai meninggalkan ruang kelas menuju balkon depan. Sebelum Ben menginjakkan kaki keluar, seseorang telah menghilang dulu sebelum mereka melihat dirinya.

"Ada apa inspektur Jenderal?" Tanya Detektif Abel yang mendengar keributan itu. "Tidak apa-apa detektif, apa ada bukti lain ?" Balas Johan, pemuda itu malah menunjukkan sebuah kalung berbentuk pisau. "Simpan bukti ini, dan ini." Menunjuk kearah bangku yang telah ditemukan Ben. "Baik inspektur."

··——★———★——··

Ia sedang memperhatikan mangsanya, pria yang baru saja keluar dari kelas itu. Dengan wajah suram dan tatapan kacaunya. Itu yang disuka sang predator. "Polisi itu terlihat frustasi." Gumamnya, "Sepertinya bagus, untuk menjadi kawan ku." Ia menghilang dari keramaian, usai Ben merasa seperti ada yang menatapnya. Menatap setiap geraknya, atau.. Hanya perasaannya ?

"Detektif Ben." Johan mendekati Ben yang berdiri dipojok balkon. Ia juga terlihat seperti mencari seseorang di keramaian para siswa siswi. "Seperti ada yang menatap ke arahku terus." Ujar Ben tanpa tahu, jika Johan menatapnya penuh iba. "Ben."

"Ambil liburan mu." Kalimat itu membuat Ben menggerakkan kepalanya pelan. "Apa pak ?"

"Tch! C'mon Ben!" Mendengus tak suka atas tatapan mengintimidasi Ben. "Aku memberimu saran agar kau terlihat fresh. Kau bisa mengistirahatkan pikiranmu dan kerjaan dan masalah lainnya. Kau terlihat seperti zombie sekarang! Seperti boneka yang dikendalikan tanpa tujuan belum pasti. Tapi dengan kasar kau malah melotot padaku." Jelas Johan dengan penuh penekanan, ia memang Inspektur Jenderal yang paling mengerti keadaan Ben.

Ben terdiam dengan mata berkaca-kaca, "Aku tahu kau bekerja dengan sangat baik. Maka dari itu, pergilah berlibur agar kau kembali dengan suasana hati yang baru." Penjelasan Johan membuat Ben merasa bersalah telah bersikap kasar. "Maaf inspektur... Saya sangat tidak profesional akhir-akhir ini." Johan meremas pelan bahu Ben memberi dukungan agar pria didepannya kuat. "Pulanglah." Ia mengangguk, memberi penghormatan gestur terbaik untuk berpamitan dengan orang berpangkat.

Dengan tatapan penuh kekosongan, ia mulai berjalan lurus menuju anak tangga diujung lorong koridor lantai 3. Telinganya tidak tuli untuk menangkap suara-suara dan ocehan siswa siswi disekitarnya.

"Kenapa kita tidak dipulangkan saja ?" -Gadis berambut kepang dengan ketiga temannya berdiri didekat balkon.

"Entahlah, kepalaku sangat pusing sekarang. Bapak-bapak itu menanyakan ku hal tak penting." -Balas gadis berambut ikat kuda.

"Kau benar, menanyakan aku kenal Cynthia atau tidak. Hehehe... Ku jawab saja, tidak." -Kekeh gadis berambut sebahu itu.

•••

"Kenapa kerjaan polisi lama sekali." -Keluh pemuda berambut cepak dengan temannya duduk dilantai.

"Entahlah." -Balas seadanya pemuda itu.

•••

"Tuhan! Aku ingin pulang saja." -Keluh gadis berkacamata, ia bersama keempat temannya memukul salah satu kakinya yang pegal.

•••

"Gadis itu hidup dan mati saja sudah sangat merepotkan banyak pihak." -Ujar pemuda dengan seragam sekolah berantakan. Ia mengadu pada seseorang disambungan telepon.

•••

"Gadis yang suka menyiksa memang pantas mati mengemaskan seperti dia." -Kalimat pedas itu dikeluarkan dari bibir tipis gadis berambut sebahu dengan pita merahnya.

"Jaga ucapanmu, Yova. Disini banyak polisi yang berlalu lalang." -Salah satu temannya mencoba menutup si bibir pedas itu.

"Lagipula apa ada bukti mereka menangkap ku? Mereka hanya fokus pada kejadian sekarang. Bukan karena kalimat pedas kulontarkan."

"Dasar."

"Sudahlah kalian ini." -Salah satu mulai melerai pertengkaran mereka.

------------------------------------------------

[ Detective Bennett Yunior Rabenberg's POV ]

Otakku sudah penuh dengan keluh kesah dari orang-orang sekitar. Yang mengeluh dirinya butuh keadilan. Apa kalian dengar anak-anak SMA tadi? Yang mengeluh pihak sekolah tak memulangkan mereka, yang mengeluh kerja polisi, dan bahkan sampai ada kalimat pedas dari anak dibawah umur itu.

Tak cukup anak-anak SMA, teman satu kerjaku juga melakukan hal sama. Seperti aku kurang disiplin lagi, kehilangan fokus akhir-akhir ini, dituduh aku terlalu sensitif atau berkhayal. Apa mereka pikir aku sudah mulai tidak lagi waras?

Bahkan ada beberapa orang yang menyangkut masalah pekerjaanku dengan kepergian anakku. Walaupun ia satu-satunya orang kumiliki, tapi aku sudah ikhlas melepaskan kepergiannya. Walau dalam lubuk hatiku, aku sangat merindukannya..

"Duduk dulu kalau ingin merenung, pak." Suara itu berhasil menyadarkan aku dari lamunan. Kedua kakiku berhenti melangkah, "Selangkah lagi, bapak akan jatuh dari tangga. Dan bernasib, anda akan duduk dikursi roda selama beberapa bulan." Aku bertemu tatap dengan gadis yang berdiri merapat di dinding dekat tangga naik.

"Terima kasih." Kataku, aku berbalik kembali menuruni anak tangga.

"Hehehe... Itu untuk lain kali saja, pak." Balasnya yang tidak kuperdulikan. Aku kembali kesal dengan memikirkan kejadian akhir-akhir begitu tidak adil.

TAP!!! TAP!!! TAP!!! TAP!!! TAP!!!

Langkah kaki cepat membuatku dengan reflek berbalik. Tapi sayangnya, pengelihatanku begitu gelap. Aku hanya merekam ingatan, jika orang berlari tadi sangat cepat. Layaknya jaguar yang mengejar mangsa. Apa itu?

–––––

NGUNG~~~!!!

Bunyi ini berhasil membuat telinga seluruh penghuni sekolah berdengung.

""TOLONG AKU!!! KUMOHON !!!""

"Inspektur! Bukankah itu suara, Ben?" Ujar Abel yang masih di sekitaran tempat perkara.

---.T.B.C.---

Next chapter