webnovel

BAB 11

Setelah mendapat persetujuan dari Ambar—sang pemilik kos, akhirnya Nathan diperbolehkan untuk singgah sebentar di sana.

Setelah itu Nathan masuk ke dalam kos-kosan. Berdiri seperti orang bodoh sambil memeluk tubuhnya sendiri. Sementara Dinda, cewek yang sedari tadi dibuntuti sudah hilang entah ke mana. Dan lagi-lagi, cewek itu tidak mengucapkan terimakasih pun kepadanya.

Sementara di sisi lain, Dinda melihat Nathan yang duduk di ruang tamu yang ada di ruang utama kos-kosan. Tampak jelas beberapa penghuni kos berbisik-bisik sambil melihat ke arahnya, bahkan tak jarang mereka menyapa, atau pun sekadar menawarkan bantuan. Tapi, tumben Nathan menolak mereka semua. Bukankah biasanya dia akan menerima bantuan cewek-cewek dengan senang hati? Dinda kemudian menggeleng kuat-kuat, untuk apa dia mengurusi cewek playboy kabel seperti Nathan. Mau dia tumben menolak, mau enggak, itu sama sekali tidak ada urusannya dengannya sama sekali.

Dinda masuk ke dalam kamar kosnya, Nadya tampak memandangnya yang basah kuyub. Bahkan Nadya sampai heran, kenapa Dinda tiba-tiba masuk dalam keadaan basah, dengan wajah yang benar-benar lecek seperti baju yang belum disetrika selama satu tahun.

"Habis dari mana lo? Basah gini?" tanya Nadya, pandangannya tak lepas dari Dinda, mulai dari cewek itu mengambil baju ganti, handuk, kemudian masuk ke dalam kamar mandi.

"Gue tadi di UKS. Melek-melek udah sorean aja, mau pulang udah ujan."

"Heh, kenapa di UKS? Elo sakit? Kok malah ujan-ujanan? Kenapa lo nggak berhenti di sekolah dulu, sih. Lo kan bisa ngabarin gue, biar gue jemput dan bawain payung buat elo...," tanya Nadya semakin bingung. Dia langsung mengambil posisi duduk, memerhatikan Dinda yang baru saja keluar dari kamar mandi. Kemudian, pandangannya tertuju pada bibir Dinda. "Tunggu, elo abis jatoh?" tanyanya.

Dinda menggeleng.

"Abis dipukul siapa lo?" tanya Nadya lagi. Jelas itu adalah luka pukulan. Dan Nadya yakin, itu bukanlah ulah Nathan.

"Kartu kuning," jawab Dinda. Nadya langsung berdiri, membuntuti Dinda yang membuka lemarinya lagi.

"Kok kartu kuning? Bukannya elo udah ditandain ama Nathan? Biasanya kalau yang udah ditandain Nathan itu pantang banget buat pilar yang lain nandain lagi. karena kalau siapa saja yang berani ngelanggar itu, berarti sama aja kalau mereka cari mati," tanya Nadya semakin penasaran.

"Lo ada handuk kering nggak, Nad? Pinjem dong," tanya Dinda mengabaikan pertanyaan Nadya sebelumnya. Sebab Dinda sendiri tidak tahu, masalah antara pilar beserta aturan-aturan bodohnya. Yang dia tahu adalah, semenjak dia sekolah di SMA Airlangga, dia merasa semakin sial dari pada sebelumnya. Bahkan sampai membuat Dinda melupakan kesedihannya yang dulu pun nyaris tidak bisa, yang ada hanya kesedihan itu semakin bertumpuk-tumpuk sehingga membuat suasana hatinya benar-benar buruk.

Nadya langsung membuka lemarinya, mencari sebuah handuk kemudian diberikan kepada Dinda. "Buat apa coba, buat selimutan?" tanya Nadya yang masih kebingungan.

Kemudian Dinda keluar, diikuti oleh Nadya. Dinda pun menunjuk ruang tamu yang ada di seberang kamar kosnya.

"Tuh, buat dia," jawab Dinda.

Nadya langsung melotot, melihat Nathan, cowok paling disegani di sekolah, duduk sendirian, dalam kondisi kedinginan dan itu karena ulah... Dinda? Tunggu... tunggu, seorang Nathan Alfaro yang seumur hidup paling menghindari air hujan sekarang bisa-bisanya hujan-hujanan dengan... Dinda?

"Itu Nathan?" tanya Nadya yang masih tak percaya.

Dinda mengangguk, sekenanya. Kemudian menghela napas berat, rasanya gairah hidupnya benar-benar semakin menyusut. Hidup Dinda benar-benar semakin tak semangat semenjak ia berada di sini. Untung masih ada Nadya, setidaknya sahabatnya inilah yang bisa menjadi pendompleng semangat untuknya, dan dia merasa meski dunia telah membuangnya, tapi Nadya masih mau bersamanya. Meski Dinda yakin, sampai kapan cewek itu akan ada di sampingnya.

"Kenapa dia ada di sini?" tanyanya lagi.

Rumah Nathan itu berada tepat di belakang sekolah. Meski kadang-kadang cowok itu sebelum pulang pakai acara pergi memutari area sekolahan dengan mobilnya. Lagi pula, bukankah tadi Nathan berangkat sekolah menggunakan mobil? Lalu, di mana mobil Nathan sampai ia, dan Dinda basah kuyub seperti ini?

"Main air kali. Gue ke sana dulu, ya," jawab Dinda yang berhasil membuat Nadya semakin mengerutkan kening.

Dinda berjalan memutari kos-kosannya yang berbentuk U itu. Sebab ia tak mungkin sekali untuk menyeberang melewati taman yang ada di tengah. Hujan masih sangat lebat, ia tak mau kebasahan lagi.

Dia bahkan bisa mendengar banyak anak-anak kos yang saat ini sekadar berdiri di ambang pintu atau pun mengintip di jendela semuanya heboh karena kedatangan Nathan di sini. Dan Dinda benar-benar tak menyangka, jika seorang Nathan Alfaro efeknya bisa sedahsyat ini.

"Heh, itu Nathan kan?"

"Ada Nathan di kos-kosan kita, ya ampun!"

"Nathan, itu Nathan!"

"Ganteng banget gila!"

"Iya, cakep banget!"

"Ayo foto, ayo foto!"

Dan seperti itulah kata-kata histeris yang keluar dari mulut mereka, seolah-olah ada artis terkenal yang mengunjungi kos mereka.

"Nih!" kata Dinda memberikan handuk kering kepada Nathan. Sementara Nathan yang sedari tadi duduk mendongak memandangnya.

"Nggak ada baju ganti? Nggak ada toko yang jual baju di sini?" tanya Nathan yang membuat Dinda bingung.

Benar juga, percuma saja dia memberikan Nathan handuk jika pakaian cowok itu basah semua, itu benar-benar tidak akan membantu.

"Mana gue punya," jawabnya.

Nathan mendengus, meraih handuk yang diberikan oleh Dinda. Berjalan menuju kamar mandi yang ada ruang kedua setelah ruang tamu. Dan setelah itu keluar sambil memeluk tubunya dengan handuk itu. Dinda tahu jika cowok itu bertelanjang dada, tapi Dinda tak peduli juga. Toh, itu lebih baik dari pada dia harus memakai seragam, dan jaketnya yang basah.

"Kapan redanya sih," gemas Nathan. Tapi, Dinda masih saja diam. Dia benar-benar tak merasa minat untuk ikut campur dalam percakapan Nathan kepada dirinya sendiri itu.

Sebenarnya dia ingin sekali kembali ke kamar, kemudian tidur dengan sangat nyaman di sana. Apalagi, hujan sederas ini, tidur adalah hal ternikmat yang pernah ada. Tapi, mau bagaimana lagi, dia juga tak enak dengan Nathan. Cowok itu sudah mengantarnya pulang, tidak mungkin sekali jika ia tinggal.

Lagi, Dinda memandang rintikan hujan yang ada di langit sambil bertopang dagu. Hujan ini benar-benar lebat, biasanya saat ia di rumah pasti ibunya membuatkan teh hitam, dan cemilan untuknya. Kemudian, mereka berbincang-bincang di teras rumah, kalau tidak begitu dia akan di kamar dengan ibunya. Bercerita banyak hal yang Dinda belum pernah tahu sebelumnya.

"Lho, Dik Nathan, toh," kata Mbak Ambar yang berhasil membuat Dinda, dan Nathan menoleh.

Nathan yang sedari tadi sudah sibuk dengan bukunya pun hanya melirik sekilas, kemudian sibuk membaca lagi. Sepertinya, tidak menghargai orang lain adalah salah satu dari sifat asli seorang Nathan.

Next chapter