10 BAB 10 ~ Bullying Di SMA Airlangga

"Alis lo cantik, mata lo cantik, hidung lo cantik, bibir lo cantik...," kata Nathan. Mengabsen bagian wajah Dinda dengan tangannya. "Pasti Tuhan nyipain elo sambil senyum," lanjutnya. Memegang dagu Dinda kemudian menariknya perlahan untuk mendekat pada wajahnya.

PLAK!!!

Nathan langsung mundur, dan payung yang ia pegang pun terjatuh begitu saja. Sementara Dinda sudah memandangnya dengan tatapan beringasnya itu. Nathan tak pernah menyangka, jika dia akan ditampar oleh seorang cewek. Dia tak pernah menyangka, jika dia akan dihina seperti ini oleh seorang cewek. Dalam seumur hidup, dia tak pernah ditolak oleh cewek mana pun, dan sekarang....

"Nggak usah nyari kesempatan deh lo. Dasar playboy nggak tahu diri!" bentak Dinda. "Lo pikir, gue bakal kayak cewek-cewek bego yang elo deketin itu? Sorry, lo salah nyari mangsa!"

Nathan berkacak pinggang, kemudian dia nempeleng dahi Dinda. Mata abu-abunya menyipit, menampilan bulu mata lentiknya yang cantik. Harga dirinya tidak boleh jatuh sekarang, sebagai seorang yang menjadi incaran di sekolahnya, Nathan pantang dipermalukan oleh Dinda.

"Nggak usah keGRan deh lo. Gue tadi mau ambil belek di mata elo. Ngapain juga gue mau nyipok cewek macan kayak elo. Yang ada langsung masuk ICU gue karena elo!" sanggah Nathan tak mau kalah.

Dinda langsung melongos pergi. Kemudian disusul Nathan sambil setengah berlari. Ia melirik ke arah belakang, mobilnya masih terparkir cantik di sana. Sebenarnya, bisa saja dia naik mobil kemudian pulang. Atau memberi tumpangan kepada Dinda agar mereka tak kebasahan. Tapi, Nathan adalah Nathan, Nathan adalah cowok yang suka tantangan. Dan baru kali ini dia merasa tertantang untuk mendekati cewek, karena ditolak baru kali ini dia ditolak mentah-mentah oleh seorang cewek.

Dia tersenyum melihat Dinda yang berjalan di depannya. Dengan segera ia pun menyamai langkah Dinda. Memandang langkah kecil Dinda, membuat langkah lebar Nathan pun mengikuti irama langkah Dinda. Untuk yang pertama kali dalam seumur hidup, dia rela hujan-hujanan seperti ini hanya karena seorang cewek yang bahkan dia sendiri tak tahu apa sebabnya sampai dia melakukan hal sejauh ini. Terlebih hujan, adalah hal yang sangat dihindari selama ini.

"Elo kenapa sih gampang banget sewot ama orang? Elo punya turunan penyakit darah tinggi?" Tanya Nathan lagi. "Awas sekarang prosentase kematian di Indonesia lebih banyak oleh orang-orang yang punya penyakit darah tinggi. Karena penyakit itu bisa membuat penyakit-penyakit lainnya menjadi parah. Ya, awalnya karena marah-marah gini, terus jantungan, stroke, lumpuh, dan tiba-tiba... mati."

Dinda hanya meliriknya sekilas, kemudian mengabaikan keberadaan Nathan. Berjalan secepat mungkin agar ia sampai di kos-kosan. Mendengar ucapan Nathan yang benar-benar tidak ada bobotnya sama sekali semakin membuat Dinda kesal. Dia benci cowok seperti Nathan, dia ingin menjauhi cowok seperti Nathan. Tapi cowok itu terus-terusan menganggunya, bahkan cowok itu sekarang lebih mirip seperti mimpi buruk yang seolah-olah siap menerkam dan memasukkannya lagi ke dalam lubang yang sedari dulu begitu dia hindari.

Sepanjang perjalanan Nathan sesekali memeluk dirinya sendiri, kemudian bersin beberapa kali. Dinda melirik Natan sekilas, bibir merah cowok itu tampak membiru, sementara kedua telapak tangannya tampak begitu pucat. Menggigil kedinginan, kemudian bergetar hebat. Dia tahu jika terkena air hujan adalah sesuatu yang dingin, karena dia merasa kedinginan juga. Tapi, Dinda tak pernah tahu kalau ada orang yang terkena hujan sampai berlebihan seperti Nathan. Tingkahnya, lebih parah dari orang terkena hujan. Tapi lebih tepat seperti orang yang nyaris membeku di kutub utara.

Dinda benar-benar merasa kasihan. Tapi, dia juga tak tahu apa yang harus ia lakukan. Karena, dia pun merasakan rasa dingin yang sama.

"Rumah elo mana?" Tanya Dinda pada akhirnya. Yang merasa tak tega juga dengan Nathan, dia tak mau Nathan ambruk, dan kemudian dia dipersalahkan karena ini.

Nathan memutar kepalanya, kemudian kembali tersenyum lebar ke arah Dinda. "Rumah gue? Jauh," dia jawab.

Dinda melirik arah kanan jalan. Di depan pagar kos-kosannya sudah terlihat secara nyata. Apakah ia harus mengajak Nathan untuk berteduh sebentar sampai hujan reda? Ataukah ini hanya akal-akalan cowok ini saja untuk memperoleh simpatinya? Dinda benar-benar bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Antara percaya dengan Nathan, atau teguh kalau ini adalah tipu daya Nathan semata.

Dinda menghentikan langkahnya di tengah jalanan yang lengang. Sementara Nathan pun mengikutinya. Dahi Nathan berkerut, melihat tingkah Dinda.

"Lo kenapa berdiri di sini? Mau ujan-ujanan?" tanya Nathan.

Dinda masih melirik ke arah Nathan, seolah ingin benar-benar memastikan apakah Nathan benar-benar kedinginan atau tidak. Tapi, melihat kondisi Nathan yang sudah membiru, serta menggigil seperti itu, sepertinya Nathan benar-benar kedinginan. Dia tak sedang bersandiwara.

"Ujannya masih deres. Lo bisa berteduh sebentar di kos-kosan gue," putus Dinda pada akhirnya, dengan bahasa tubuh yang masih segan.

"Elo di sini ngekos?" tanya Nathan. Dinda mengangguk, kemudian dia berjalan menuju kos-kosan yang Nathan tahu jika kos-kosan itu masih terletak di wilayah sekolahnya. Kos-kosan cukup elit yang ada di sini. Bahkan untuk bisa berada di kos-kosan ini, mereka harus merogoh uang yang tak sedikit. Namun bagaimanapun, gengsi adalah hal utama yang mungkin bisa menjadi kebanggaan, itu sebabnya orang-orang masih saja memburu kos ini, sehingga kos ini menjadi kos-kosan yang paling banyak diminati.

Nathan memasuki gerbang kos-kosan itu. Seorang satpam tampak memandangnya dengan tatapan garang. Seperti ingin tahu apa alasan Nathan berada di sini. Selain memang ini adalah kos-kosan elit. Kos-kosan ini memang terkenal sangat ketat.

"Nathan Alfaro, temennya Dinda, Pak. Numpang berteduh, kehujanan," ucap Nathan panjang lebar. Dengan senyuman yang lebar pula. Dinda yang mendengar itu hanya melirik angkuh, sepertinya cowok ini memang memiliki sifat sok akrab. Bukan hanya pada dirinya, tapi kepada semua orang juga. Padahal biasanya yang Dinda tahu, biasanya cowok-cowok seperti Nathan ini tipikal cowok dingin, angkuh, dan sombong. Karena dia merasa menjadi cowok paling sempurna di dunia. Tapi rupanya Dinda salah.

"Mbak Dinda yang anak baru itu, ya, Mas?" satpam bernamakan Eko itu bertanya.

"Iya, Pak. Itu anaknya, Pak. Hehehe," jawab Nathan lagi.

"Iya, Pak. Dia kedinginan, dan ujannya deres. Apa boleh temenku numpang berteduh sampai ujan reda? Dia nanti di ruang tamu aja, kok, Pak. Nggak kemana-mana," kini giliran Dinda yang meminta izin.

"Saya telepon Bu Ambar dulu, ya, Mbak, Mas? Biar bagaimanapun, kalau ada tamu wajib lapor. Kalau saya tidak lapor, nanti saya akan kena marah sama Bu Ambar. Jad—"

"Iya, Pak Eko, silakan!" kompak Dinda, dan Nathan bersamaan. Kalau ucapan satpam itu tidak dipotong, bisa-bisa sampai lumutan keduanya akan berdiri di luar pagar.

avataravatar
Next chapter