webnovel

SOKA : Air mata api

Soka kecewa terhadap lingkungan sosial yang dianggapnya tidak mampu menolong dirinya dan keluarganya dari keterpurukan. Ayah dan ibunya meninggal karena sakit. Dan rumahnya dirampas untuk membayar hutang bekas berobat ayah dan ibunya. Sementara sahabat-sahabat kecilnya yang dulu berjanji akan saling menjaga, telah pergi mengikuti kelurga mereka masing-masing yang pindah ke kota. Dan mereka tidak pernah kembali. Semua itu merubah Soka menjadi seorang psikopat. Maka kemudian Soka mulai melancarkan pembunuhan berantai untuk membalas sakit hatinya kepada lingkungan dan sahabat-sahabat kecilnya itu. Apakah pembunuhan keji yang dilancarkan Soka bisa dihentikan?

Silung_stories · Fantasy
Not enough ratings
7 Chs

Batang randu

Jam sembilan lebih. Angin tiba-tiba bertiup agak kencang. Didin menyeduh dua gelas kopi di sebuah pos ronda yang terletak di bahu jalan, di pinggir sawah, di area perumahan warga yang tidak padat. Dodo yang menemani Didin menyulit sebatang roko.

"Mana ini si Ibing ama si Adong, belum nongol juga batang idungnya." ujar Dodo agak kesal sambil menengok ke kiri dan ke kanan menatapi panjangnya jalanan yang beraspal tipis dan kasar di hadapanya.

"Biasa, Waktu Indonesia Banget." kata Didin sambil meletakan segelas kopi di hadapan Dodo.

"Ya ini yang bikin kita ketinggalan sama bangsa lain." Dodo menatap Didin. "Tidak menghargai waktu. Kalo enggak telat, pasti enggak dateng." Dodo menguyup kopi yang masih panas. "Aduh, sialan...!" Dodo menjulurkan lidahnya kepanasan.

"Haha... Mangkanya jangan ngegunjing orang." Didin menyulut rokok.

"Haduh, panasnya kopi aja begini. Apa lagi nereka, ya." Dodo mengusap-usap bibirnya.

"Gaple-nya ganti yang baru sih, Do." Didin mengambil kartu domino yang tergeletak dan nampak kusam.

"Di si Ibing. Mangkanya gedek banget gue nungguin dia." Dodo tampak kesal.

"Si Adong, WA, bawa roti gitu." Didin menyimpan kembali kartu domino yang di pegangnya.

Dodo mengeluarkan HP dari kantong jaketnya. Didin menguyup kopi. Sebuah motor gede berhenti di depan pos ronda itu. Didin memandangi pengendara motor gede yang masih mengenakan helm. Dodo membagi tatapan pada si pengendara motor gede dan tanganya yang masih mengetik di WA.

Setelah mematikan mesin motor gedenya si pengendara membuka helmnya.

"Assalamuallaikum..." si pengendara mengucapkan salam pada Dodo dan Didin.

"Wa'allaikumsalam..." jawab Dodo dan Didin hampir bersamaan. 

"Eh, pak Nedi." Dodo yang duduk bersila di bibir bale pos ronda segera turun dan berdiri sambil jarinya mengirim pesan WA.

"Sehat, bang Dodo?" Nedi menyidorkan tanganya mengajak Dodo bersalaman.

"Allhamdulillah... Sehat." Dodo menjabat tangan Nedi.

"Bang Didin, sehat?" kemudian Nedi menyapa Didin sambil mengacungkan telapak tangan kananya setelah bersalaman dengan Dodo sebagai tanda hormat.

"Alhamdulillah." jawab Didin yang duduk agak jauh di tengah bale pos ronda sambil tangan kananya mengambil posisi hormat.

"Berdua aja, nih?" tanya Nedi sambil berdiri dan membuka box tempat ia menyimpan belanjaannya yang ia beli dari sebuah mini market.

"Ini lagi nungu si Ibing sama si Adong." jawab didin sambil membetulkan kupluk di kepalanya.

"Duduk dulu pak Nedi." tawar Dodo smbil duduk di bibir bale pos ronda.

Nedi melangkah untuk duduk di pos ronda itu sambil membawa satu kantong belanjaannya.

"Ini ada sedikit oleh-oleh. Lumayan buat temen melek." ujar Nedi sambil duduk di bibir bale pos ronda di depan Dodo.

"Aih... Ngerepotin ini." kata Didin.

"Enggak. Santai aja." Nedi menyodorkan tangan kanannya mengajak Didin bersalaman.

"Wduh, terima kasih banyak nih, pak." ucap Didin sambil menjabat tangan Nedi.

"Romanya pak Nedi baru dateng nih, dari Jakarta?" tanya Dodo.

"Iya. Tadi saya ziaroh dulu, terus mampir deh di mini market." jelas Nedi sambil mengeluarkan beberapa cemilan dan dua bungkus rokok bermerek.

"Mau ke rumah peninggalan neneknya Mia, pak?" tanya didin.

"Iya biasa. Reunian, setahun sekali."

"Gak terasa ya. Udah setahun lagi. Perasaan baru kemarin saya liat pada kumpul." Dodo menguyup kopi.

"Iya, saking betahnya hidup, gak kerasa, bang." kata Nedi

"Ngopi pak, Nedi.?" Tawar Didin sambil hendak mengupas satu bungkus kopi instan.

"Gak usah. Gak lama." 

"Buru-buru amat, pak?" Dodo mengerutkan jidat.

"Temen-temen udah pada masak. Takut di tungguin." jelas Nedi.

"Gaple-an dulu, pak. Udah lama kan kita gak happy-happy." ajak Didin.

"Besok-besok aja. Kita rencananya bakal agak lama kok di sini." ujar Nedi.

"Oh, ya?" Dodo tampak gembira.

"Insya Alloh..." tutur Nedi

"Wah, asik nih." timpal Didin.

"Asal jangan peke duit." Nedi menggrak-gerakan jari telunjuknya.

"Tenang, pak. Kita anti judi. Seperti biasa. Gaple-annya cuma buat temen melek aja." jelas Dodo.

"Cakep..." Nedi mengacungkan ibu jari tangan kanannya.

"Tenang, pak. Situasi kondusif. Aman dan terkendali." tambah Didin.

"Oke deh. Selamat melek. Saya cabut dulu." Nedi berpamitan.

"Siap...! Terima kasih, cemilannya." ucap Didin.

"Sama-sama, bro. Jangan sungkan." Nedi duduk di atas motor gedenya.

"Salam buat sodara-sodara semua." ucap Dodo pada Nedi.

"Ok...!" Nedi menghidupkan motor gedenya.

Suara kenalpot motor gede milik Nedi menggelegar. Tapi terasa halus di telinga. 

"Assalamuallaikum...!" ucap Nedi sambil mengganggukan kepala setelah mengenakan helmnya.

"Wa'allaikumsalam...!" jawab Dodo dan Didin hampir bersamaan.

Kemudian Nedi melaju pelan meninggalkan pos ronda itu. Dodo dan Didin nampak senang.

"Gak nyangka si Nedi. Jadi orang dia sekarang." kata Dodo.

"Dari dulu juga dia orang, bro." tukas Didin

"Ya, ngerti aja... Sukses dia sekarang, jadi BUSER." 

"Nah, gitu yang jelas."

Suara burung gagak memecah suasana satu kali. Dodo dan didin tampak terperanjat. Mereka melihat lihat ke atas beberapa pohon. Sayang suasana memang terang bulan, tapi namanya juga malam. Mereka tidak mendapati apa-apa.

"Kata orang tua, kalo ada suara gagak, itu pertanda buruk." Dodo menatap Didin.

"Tahayul. Jaman moderen, bro. Udah gak jaman begituan." ujar Didin.

"Itu pertanda alam." sebuah suara menimpali agak keras.

"Buset...!" teriak Dodo.

"Astaghfirulloh...!" Didin juga berteriak. 

Seseorang muncul tiba-tiba, kemudian langsung duduk di bibir bale pos ronda.

"Sialan lo, Dong!" Bentak Didin pada orang yang baru datang.

"Si Adong goblog, sia. Bikin gue sport jantung." Umpat Dodo. 

"Bagus, sport. Biar jantung lo sehat." kata orang yang baru datang yang di panggil Adong sambil menyimpan sebuah kantong pelastik hitam di atas bale pos ronda. "Udah ada cemilan masih juga pesen roti." gerutu Adong.

"Jadi, lo gak ikhlas nih?" tanya Dodo.

"Kalo gak ikhlas, gue gak bakal bawa ni roti ke mari." kata Adong.

"Ikhlas sama kepaksa beda tipis, bro." timpal Didin.

"Nah, itu. Gue belom bisa bedain, tuh." ujar Adong.

Gakak berbunyi lagi sekali. Dodo, Didin, dan Adong terperanjat. Mereka saling tatap. Beberapa saat mereka terdiam seperti memasang telinga menunggu gagak itu bersuara lagi. Tapi yang terdengar hanya hembusan angin.

Sementara si gagak bertengger di salah satu batang pohon rendu di sebrang jalan pos ronda di depan pabrik beras yang sudah sepi. Matanya memperhatikan pos ronda itu.

Di tempat lain di sebuah hutan, di atas bukit kecil tidak jauh dari desa tempat pos ronda itu berada. Soka duduk di sebuah batu sambil memegangi kelewang yang di tancapkanya di tanah.

"Nedi... Adong... Dodo... Didin..." mulut Soka bergumam. Suaranya terdengar berat seperti mengeram sambil matanya terpejam. "Semua warga desa ini harus mati." Soka mengepalkan tangan kirinnya hingga tulang-tulang jarinya terdengar bederak.