Trily dengan kebaya hijau terlihat anggun berdiri di depan tokonya sedang menunggu seseorang.
"Kamu mau pergi kemana, Ly?"
"Hmm ... aku ingin menginap bersama Rafli," jawab Trily mencubit kebayanya.
"Dasar ... gila!"
"Aku juga ingin tahu bagaimana rasanya menginap dengan pria, Ra! Memangnya kamu saja yang bisa," ungkapnya.
Imaginasinya mulai liar setelah mengingat tingkah dua pemabuk semalam.
Trily telah lama memendam rasa penasaran pada gairah pria yang telah bersamanya sejak lima tahun terakhir, hubungan jarak jauh membuat halusinasinya semakin gila, sampai-sampai ia harus memaksa tunangannya yang cupu itu berlibur ke tempat yang jauh, alih-alih agar dapat menginap bersama disuatu tempat.
"Ah, terserah kamu saja lah ... aku tunggu cerita serunya, jangan lupa ... oleh-oleh!"
Keluarga Trily sangat dekat dengan Nara. Saat ini ayahnya bekerja di luar kota, sedangkan ibunya mengurus toko swalayan di lantai satu. Trily menghabiskan waktunya dirumah dengan menulis artikel untuk platform terkenal sedangkan Rafli tunangannya, bekerja di perusahaan perangkat lunak yang berada di luar kota.
Sore itu Nara menempati kamarnya untuk beristirahat, ia tak peduli lagi dengan keadaan rumah sakit. Seniornya saja bisa sesuka hati menentukan jadwal kerja, ia mencoba membalas perlakuan Darril yang menyebalkan itu.
***
"Sayang ... aku takut tidur sendiri ... mengapa kamu memesan untuk dua kamar? Bagaimana jika tiba-tiba ada hantu di kamarku?" manja Trily memukul lembut pundak Rafli.
"Hmm ... haruskah aku meminta sekuriti untuk berjaga di depan kamarmu?"
"Astaga, mengapa pria ini tak peka sama sekali?" gumam Trily dalam hati.
"Aku lelah mengemudi sejauh ini, kamu bisa hubungi Resepsionis jika membutuhkan sesuatu ... aku ingin istirahat," balasnya dengan cuek.
Malam semakin larut, penginapan dengan nuansa bangunan Belanda jaman dahulu membuat semua lorong koridor terasa horor. Trily memberanikan diri untuk berjalan mengelilingi penginapan untuk berfoto-foto. Hasil jepretannya tak lagi estetik, karena ornamen di sekitarnya penuh dengan gaya klasik yang mistik. Bulu lehernya mulai berdiri tegak, hembusan angin beku seketika membuat nyalinya ciut.
Ia kembali ke meja resepsionis untuk memesan layanan antar makanan ke kamarnya, tiba-tiba wanita seksi mengenakan rok mini dan kemeja ketat meminta kunci kamar nomor 112 pada resepsionis yang sedang melayaninya.
Matanya berputar-putar, mengingat bahwa kamarnya berada paling ujung dengan nomor 111, sedangkan kamar Rafli tepat berada bersebelahan dengan kamarnya. Rasa laparnya berubah menjadi rasa mual, sontak ia mengikuti wanita seksi itu.
Tok!!! Tok!!!
Dengan lembut tangan kecil wanita itu mengetok pintu nomor 112, Trily melintas di belakang punggungnya menuju kamar yang berada tepat di sebelah pintu itu. Trily memegang gagang pintu kamarnya, menoleh wanita seksi itu masuk ke dalam kamar Rafli.
"Tidak mungkin ...." bisiknya dengan wajah yang mulai merah.
Pintu kamar bernomor 111 terdorong kencang menutup kamar Trily, semua pertanyaannya terjawab oleh mata yang tak henti memberikan hujan kepada pipi imut itu. Bibirnya bergetar menahan isi kepalanya yang mulai mendidih sampai tak sanggup lagi menyuarakan bahkan hanya satu kata. Kata 'maaf' saja tak cukup untuk membuatnya kembali seperti sedia kala, luka itu telah membekas padanya.
Lima tahun bukan waktu yang singkat baginya. Hari demi hari harus dijalani dengan rindu, membuatnya hampir gila akibat hubungan jarak jauh yang mereka jalani. Selama itu waktu yang ia pertahankan, namun keadaan berbalik secepat mata yang berkedip
***
"Paket yang anda pesan sudah siap, tuan," ucap wanita seksi yang masuk melalui pintu kamar 112 itu.
"Hmm ... bisakah aku menempatkan ini bersama paket itu? Sebenarnya, aku tak tahu harus bicara apa padanya. Bisakah kalian mengaturnya untukku?" balas Rafli ke wanita reception itu.
"Tentu saja, tuan. Biar kami yang mengaturnya."
"Terima kasih, kalau begitu aku akan bersiap-siap!"
Rafli adalah pria introvert yang tak pandai berbicara seperti orang-orang pada umumnya. Hari-harinya ia habiskan untuk menyelesaikan pekerjaannya di dalam ruang kantornya. Pria yang sering menyendiri itu mulai melipat lengan panjang kemejanya sambil mengungkapkan beberapa patah kata pada cermin di depannya. Berada di luar ruangan adalah hal yang paling mendebarkan baginya.
Wanita reception itu menuntunnya pada meja makan yang telah dipersiapkan sebelumnya, taplak merah menjadi alas lilin yang berkobar dengan gelas kosong di kedua sisi meja itu. Vas hitam menggendong bunga mawar bersanding dengan kartu ucapan 'Happy Anniversary' di tengah meja itu, menambah kecepatan detak jantungnya.
Wanita dengan wajah luset memegangi kartu undangan, tubuhnya berputar-putar pada deretan meja yang mengelilinginya, mencoba mencocokan nomor meja dengan angka yang tertera pada kartu yang dipegangnya. Alunan lagu akustik yang dibawakan penyanyi di panggung kecil, mengantarnya pada meja yang bersinar paling terang, meja dimana Rafli sedang menelan ludahnya.
"Mengapa kamu menangis seperti itu? Bukankah hari ini, tepat 5 tahun hubungan kita ... atau aku salah mengingatnya?" sambut Rafli menghampiri pundak lesu itu.
"Aku melihat wanita lain masuk ke kamarmu, aku kira ...."
"Kakak itu maksudmu?" tunjuk Rafli pada wanita reseptionis yang datang bersama bucket bunga.
"Hmm, iya ...."
Kelopak matanya mengering pada kemeja Rafli yang meminjamkan bahunya untuk Trily.
"Bagaimana mungkin aku melakukannya, bukankah kamu telah lama mengenalku?"
"Tapi ...."
"Bagaimana caraku mendekati wanita lain, jika mengungkapkan perasaanku padamu saja, aku harus meminta bantuan orang lain ... sudahlah, hari ini waktunya kita bersenang-senang," balas Rafli.
Bucket bunga dengan kotak cincin bersarang di kelopaknya mendekati meja mereka. Botol soda perlahan mengisi gelas-gelas kosong itu. Alunan lagu "Train - Marry me" menyembuhkan luka hati Trily yang sempat tergores oleh pintu 112 beberapa jam yang lalu. Wanita seksi dengan bunga mawar di tangan membukakan kotak yang berisi sepasang cincin emas. Senyum sapa itu menenangkan Trily yang sempat gundah, meyakinkannya bahwa Rafli benar-benar pria baik yang mencintainya.
"Will you marry me?" Suara itu terucap saat Rafli memasangkan cincin emas itu pada jari manis Trily. Dengan lembut ia menggenggam jemari itu, pandangannya tak berpaling sedikit pun.
"Ha ...." kejutnya sambil menangis.
"Mari kita habiskan masa lajang kita tahun ini, apa kamu bersedia?"
"Iya, tapi ... dengan satu syarat!"
"Memangnya, syarat seperti apa itu ...."
"Aku ingin di panggil dengan panggilan romantis seperti pasangan lainnya!"
"Oh, itu. Memangnya kenapa?"
"Selama ini ... sekali pun aku tak pernah mendengar panggilanbsayang keluar dari mulutmu, padahal aku selalu memanggilmu dengan sebutan itu. Seburuk apa sebenarnya aku di matamu?" papar Trily.
"Bu ... bukan begitu. Aku canggung untuk melakukan hal itu ... tapi, aku akan berusaha untukmu!"
"Jika kamu benar-benar ingin aku menjawab permintaanmu itu, buktikan di depan semua yang hadir di sini. Aku ingin mendengar itu sekarang!" balasnya sambil cemberut.
"Ha ... haruskah sekarang?"
"Sekarang!"
"Baiklah ... sayang, will you marry me?" Ucap Rafli dengan gemetar, memaksa jiwa yang telah kalah di hadapan orang banyak itu. Siapa sangka orang yang dicintainya justru memojokannya seperti itu. Namun, ia harus bangkit dari kematian itu.
"Hmm, I love you ...." Trily menganggukan kepalanya, senyumannya mulai terbuka. Sorak sorai dan tepuk tangan hadirin yang menyaksikan turut merayakan hari jadi mereka yang ke lima. Puluhan pasang mata tertuju padanya, semua orang memiliki cara masing-masing untuk menyampaikan perasaannya.
Rencana Trily gagal untuk menginap sekamar bersama Rafli malam itu. Menjadi sorotan orang banyak sangatlah menguras tenaga Rafli, tak ada yang istimewa baginya. Sebaliknya, hal itu justru mampu menggantikan rencana Trily yang gagal. Berhubungan dengan pria introvert membuatnya kesepian, ditambah lagi dengan jarak yang memisahkan mereka, hanya tulisan-tulisan dari pesan singkat yang menghubungkan jarak mereka selama ini.
"Dekat pun, masih saja terhalang tembok ... sial!" gumam Trily menatapi langit-langit kamarnya.
***