webnovel

Tidak Sepenuhnya Salah

Mendengar teriakan terebut Pak Ghofur dan Adam pun langsung saja berlari ke dalam rumah. Di sana terlihat Bu Mutia—Ibu Jiya sedang tergeletak di lantai dengan Jiya yang sedang memangku kepalanya.

"Bu, kamu kenapa?" tanya Pak Ghofur yang juga langsung duduk di lantai kebingungan menatap istrinya tersebut.

"Mari Pak kita bawa ke rumah sakit, saya akan siapkan mobilnya dulu," ucap Adam.

Pak Ghofur pun langsung menyahut, "Iya Nak, tolong ya."

Lalu Adam pun bergegas menyiapkan mobil seperti yang ia katakan, dan tak lama kemudian kembali masuk ke dalam rumah tersebut.

"Sudah Pak, ayo kita bawa ke mobil," ujar Adam sambil bersiap menggendong Bu Mutia.

"Kuat apa tidak?" tanya Jiya sambil menatap tubuh ibunya yang memang terbilang berat badannya berlebih.

"Kuat," sahut Adam lalu dengan cepat mengangkat tubuh bu Mutia bersama Pak Ghofur.

Sepuluh menit berlalu, mereka pun sudah sampai di salah satu rumah sakit kecil yang ada di dekat desa tempat tinggal Jiya.

Setelah sampai, Pak Ghofur pun segera mengurus biaya administrasi sedangkan Jiya kini menunggui ibunya di depan ruang UGD bersama dengan Adam.

'Gadis ini sebenarnya tidak buruk juga,' batin Adam sambil menatap wajah sendu Jiya yang sedikit tertutup oleh rambut panjang kecoklatannya.

"Tenanglah ibumu pasti akan baik-baik saja," ucap Adam menenangkan.

"Ini salahku," gumam Jiya dengan suara lirih.

"Apa?" tanya Adam yang tak jelas mendengar perkataan gadis di sampingnya itu.

Jiya pun mengulang kembali kalimatnya. "Ini salahku, aku yang membuat ibu jadi sakit," ucapnya sambil mengusap-usap wajahnya. "Harusnya aku nggak ngasih tahu ibu tentang foto itu," imbuhnya.

"Foto di ponsel kamu itu?" tanya Adam dengan santai.

Jiya pun langsung menatap Adam. "Kamu tahu?" tanyanya.

"Tentu saja," sahut Adam dengan ringan.

"Oh iya kamu pasti memeriksanya," ucap Jiya sambil tersenyum hambar lalu menatap ke arah lain.

Adam pun kembali berkata, "Kalau menurutku kamu sudah benar memberi tahukan masalah itu, hanya saja caranya kurang tepat."

"Kamu benar Mas, aku memang salah tadi," sahut Jiya dengan suara serak dan sedikit terisak.

"Sudahlah, semuanya pasti akan baik-baik saja," sahut Adam dengan suara yang lebih menenangkan.

"Iya," sahut Jiya sambil mengangguk pelan.

Setelah menunggu selama 15 menit, akhirnya seorang dokter keluar dari ruang UGD tersebut.

"Bagaimana Dok?" tanya Jiya dengan cepat sambil berjalan ke arah dokter, disusul oleh Pak Ghofur yang juga segera mendekat ke arah dokter tersebut.

Dokter tersebut pun menjelaskan kondisi bu Mutia dengan tenang.

"Syukurlah jika istri saya tidak apa-apa Dok," ucap Pak Ghofur sambil mengelus dada lega.

"Iya Pak, tapi tolong dijaga kadar gula ibunya ya," ujar Dokter tersebut dengan ramah.

"Baik Dok saya mengerti," sahut Pak Ghofur dengan sigap.

Setelah itu Dokter pun meninggalkan tempat tersebut.

"Maafkan aku Yah, ini semua gara-gara aku," ujar Jiya dengan perasaan bersalah.

"Ndak apa-apa tapi lain kali jangan diulangi, kamu tahu sendiri ibumu gampang seperti itu," sahut Pak Ghofur sambil mengusap lembut kepala anak gadisnya tersebut.

Sesaat kemudian Adam pun berdiri dari kursi dan mendekat ke arah Jiya dan Pak Ghofur. "Baiklah karena ibu Mutia sudah stabil, saya permisi dulu," pamit Adam dengan sopan.

"Iya Nak, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongannya," ujar Pak Ghofur sambil menepuk lembut pundak Adam.

"Iya, sama-sama," sahutnya ringan.

"Besok kita bicarakan lagi masalah tanah dan sebagainya tadi. Dan jika memang kamu mau pindah sekarang, biar Jiya yang menunjukkan tempatnya," ujar Pak Ghofur dengan tenang.

"Tak apa, besok saja saya pindahnya," sahut Adam.

"Baiklah kalau begitu," sahut Pak Ghofur. Lalu Pak Ghofur pun menatap ke arah Jiya. "Nduk, kamu hantarkan Nak Adam."

"Baik Yah," sahut Jiya lalu menatap ke arah Adam dan memberi tanda pada laki-laki di hadapannya itu dengan isyarat matanya.

Setelah itu mereka pun berjalan dengan santai melewati lorong rumah sakit tersebut.

"Terima kasih ya Mas," ujar Jiya lalu refleks menutup mulutnya.

"Kamu kenapa?" tanya Adam yang terkejut melihat sikap Jiya tersebut.

"Maaf ya Pak, aku ndak sadar kalau sejak tadi manggil kamu mas," ucap Jiya sambil tersenyum canggung.

"Oh itu. Kamu bukan bawahanku, jadi tidak masalah memanggilku dengan sebutan apa pun," sahut Adam dengan santai.

'Ternyata orangnya nggak sebatu kelihatannya,' batin Jiya sambil mengingat kejadian tadi pagi dan mulai tersenyum-senyum sendiri.

"Kamu kenapa lagi?" tanya Adam dengan tatapan anehnya menyoroti kelakuan Jiya.

Jiya pun langsung menyahut, "Ndak apa-apa aku hanya membandingkan kejadian tadi pagi dan sekarang."

"Kamu menertawai aku?"

"Eh tidak-tidak mana mungkin," jawab Jiya dengan cepat.

Adam kemudian menghela napasnya. "Aku menilai orang dari pribadinya. Dan Pak Ghofur itu orang yang bijak, aku sangat menghargai beliau," terangnya.

"Benarkah?" tanya Jiya yang terkejut mendengar pujian untuk ayahnya. "Apa benar ayah seperti itu?"

"Sebenarnya kamu itu anaknya atau bukan?" tanya Adam sambil menggeleng perlahan menanggapi pekataan Jiya.

Jiya pun langsung menyahut, "Ya anaknya lah."

Setelah itu Jiya dan Adam pun terus mengobrol dan berdebat sambil menyusuri lorong rumah sakit itu hingga sampai di parkiran. Bahkan sampai di sana pun mereka belum selesai berdebat, hingga akhirnya …

"Diam!" bentak Adam yang sudah tidak tahan lagi berdebat dengan gadis di hadapannya itu.

Jiya pun tersentak dan langsung menutup mulut Adam dengan telapak tangannya.

"Jangan berisik," ucap seseorang yang sedang ada di dekat parkiran tersebut.

Lalu Jiya pun tersenyum canggung. "Maaf," ucapnya sambil sedikit menundukkan kepalanya sebagai bentuk sopan.

'Gadis ini sungguh berani,' geram Adam di dalam hati, lalu menepis tangan Jiya dengan kasar.

"Ishh," desis Jiya kerena merasakan sakit akibat tepisan tersebut.

Dan setelah bertatapan sejenak ala sinetron, kemudian Adam pun masuk ke dalam mobilnya tanpa mengatakan apa-apa lagi.

'Aku cabut kata-kataku, dia itu memang batu,' batin Jiya sambil menatap mobil Adam yang sudah pergi meninggalkan parkiran tersebut.

*

Setengah jam kemudian.

Setelah meninggalkan rumah sakit, Adam pun langsung kembali ke hotel tempatnya menginap selama beberapa hari itu. Tapi ketika baru saja sampai di kamarnya tiba-tiba ponsel yang ada di dalam sakunya pun berdering.

"Halo," ujar Adam saat mengangkat panggilan tersebut.

"Dam, apa Bumi datang ke sana?" Terdengar suara seorang wanita yang sedang gelisah di seberang panggilan tersebut.

"Apa maksud Mama?" tanya Adam yang terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Bumi menghilang entah sejak kapan dia kabur, ponselnya juga tak bisa dihubungi."

"Lalu?" tanya Adam memburu.

"Lalu setelah menggeledah kamarnya, kami menemukan surat yang isinya dia akan menyusul kamu," terang orang yang ada di dalam panggilan tersebut sambil terisak.

Adam pun langsung memijat keningnya sambil melangkah dan duduk di sofa yang ada di kamar itu. "Baiklah Ma kamu tenang dul—" Kalimat Adam terhenti ketika ada panggilan lain masuk ke dalam ponselnya.

"Nomor baru," gumam Adam ketika melihat nomor yang tertera di layar ponselnya, ia pun langsung mengangkat panggilan tersebut.

Kemudian …

"Halo Pa," ucap seorang anak kecil yang ada di dalam panggilan tersebut.

"Bumi, kamu di mana?" tanya Adam yang langsung mengenali suara anak tersebut.

"Aku sedang naik mobil Pa," jawab Bumi dengan santai.

Kepala Adam pun terasa makin berdenyut. "Kamu bersama siapa?" tanyanya dengan cepat.

"Aku sama Om Barak," sahut anak itu ringan.

"Berikan ponsel ini padanya!" bentak Adam.

Beberapa saat kemudian.

"Halo Tuan."

"Kalian di mana dan kenapa kamu tidak memberitahuku lebih dulu!" teriak Adam yang sudah sangat kesal.

"Maafkan saya Tuan, ponsel saya disita oleh Tuan kecil dan dia mengancam akan membakar tempat saya jika …