"Sudah hentikan, aku mengerti," sahut Adam yang sudah bisa membayangkan apa yang Bumi lakukan.
"Terima kasih Tuan," sahut Barak dengan suara lega.
"Lalu kalian sekarang ada di mana?" tanya Adam sambil menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan malam.
"Kami baru saja masuk kota Surabaya," jawab Barak dengan cepat.
"Apa kalian hanya berdua?"
"Iya Tuan," sahut Barak dengan cepat.
"Huff," Adam menghela napas panjang. "Kalian cari tempat menginap dulu, besok pagi baru melanjutkan perjalanan lagi," sambungnya.
"Baik Tuan," sahut Barak dengan tenang.
Lalu Adam pun mematikan panggilan tersebut dan meletakkan ponselnya di atas meja dengan kasar.
"Anak itu selalu membuat masalah, mirip dengan ibunya," keluh Adam sambil memijat-mijat keningnya.
**
Keesokan harinya.
Seperti yang direncanakan, setelah makan siang Adam pun pergi ke rumah Pak Ghofur. Ia menggunakan motor sport sambil menggendong tas ransel di punggungnya.
Dan ketika sampai di halaman rumah tersebut, Adam pun dengan cepat melepas helm dan turun dengan santai dari motornya tersebut. Tiba-tiba …
"Awas!" teriak seseorang.
Lalu Adam pun refleks, ia langsung menjauh dari tempatnya berdiri saat ini.
"Mangga," gumamnya ketika melihat beberapa buah mangga jatuh di tempatnya berdiri tadi. Adam pun langsung menatap pohon mangga yang memang ada di sana.
"Kamu yang di bawah nggak papa kan?"
Adam pun langsung kembali ke tempatnya tadi untuk mencari asal suara tersebut. "Ternyata kamu," ucap Adam ketika melihat seorang gadis yang sedang duduk di cabang pohon mangga tersebut.
"Kamu kenapa ke sini?" tanya gadis yang ada di atas cabang tersebut.
"Aku—" Kalimat adam pun terhenti ketika ada suara lain yang memanggilnya.
"Nak Adam," panggil seorang wanita paruh baya sambil menatap Adam dari teras rumah.
"Iya Bu," sahut Adam dengan sopan lalu berjalan ke arah wanita tersebut.
"Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya.
"Alhamdulillah Nak, Ibuk sudah sehat. Terima kasih ya atas bantuannya semalam," jawab Bu Mutia dengan hangat. "Ayo silahkan duduk," imbuhnya sambil menarik kursi yang ada di teras rumah tersebut.
"Iya," sahut Adam lalu melepas sepatunya dan naik ke teras rumah tersebut.
"Maaf ya Nak, Bapak belum pulang," ucap Bu Mutia dengan sebuah senyum ramah di wajahnya.
"Tidak apa-apa saya mengerti, lagi pula duduk di sini sangat menyenangkan dan hawanya juga segar," sahut Adam yang mengerti kecanggungan wanita paruh baya itu karena tak mempersilahkan dirinya masuk ke dalam rumah.
Setelah mendengar jawaban Adam tersebut Ibu Mutia pun bernapas lega, tapi tiba-tiba …
BUGHHHH! AHHH!
Bu Mutia dan Adam pun langsung menatap ke asal suara tersebut.
"JIYAAA!" teriak Bu Mutia dengan volume level 5 dan mata yang melotot menyertai teriakan tersebut.
"Ah Ibuk," sahut Jiya pelan sambil meringis ke arah ibunya.
"Ya Allah Ji, kamu itu abis ngapain?" tanya Bu Mutia yang sangat kesal melihat tingkah anak gadisnya yang suka sembarangan itu.
"Metik mangga, kan eman(sayang) kalau dimakan codot," sahut Jiya sambil terus tersenyum manis ke arah ibunya.
"Mandi sana! Setelah itu antarkan Nak Adam," perintah Bu Mutia seperti sedang memerintah anak kecil.
Jiya tak menyahut lagi, ia pun segera berdiri dan berjalan lewat samping rumah sambil menepuk-nepuk bajunya yang kotor.
Sedangkan Bu Mutia segera duduk di salah satu kursi yang ada di dekat Adam sambil memijat keningnya. "Aku nggak habis pikir, kalau dia saja begitu bagaimana dengan murid-muridnya," gumamnya.
"Anak ibu itu guru?" tanya Adam yang merasa aneh dengan apa yang ia dengar.
Bu Mutia pun menatap ke arah Adam. "Bukan guru sekolahan. Dia itu katanya jadi relawan bersama teman-temannya, tapi Ibuk sendiri juga tidak mengerti hal-hal seperti itu," jawabnya.
"Hemmm," gumam Adam.
"Tapi ibu itu pusing melihat tingkahnya sudah umur 21 tahun masih saja begitu, kapan anak itu bisa bertingkah seperti gadis lainnya," gerutu Bu Mutia lalu menghela napas dalam. "Tapi untung saja dia sudah gak pernah ikut tawuran lagi," sambungnya.
"Tawuran?" tanya Adam sambil mengernyitkan dahinya.
"Iya, dia dulu suka ikut tawuran. Bahkan beberapa waktu lalu dia melamar kerja jadi satpam, tapi untung akhirnya dia bekerja sama dengan temannya membuka toko roti."
'Tawuran, satpam kemudian menjadi pembuat roti … pantas saja tingkahnya seperti itu,' pikir Adam sambil mengingat kejadian saat Jiya mengusir calon suaminya semalam.
Setelah itu Bu Mutia pun menceritakan semua tingkah anak gadisnya yang membuat dirinya sering sakit kepala, dan juga beberapa hal yang membuat gadis tomboi itu begitu disayang oleh keluarga dan orang di sekitarnya. Hingga …
"Kalau mungkin ada teman, kenalan atau siapa pun yang mencari jodoh, tolong—"
"Kalian sedang membicarakan apa?" tanya Jiya sambil keluar dari dalam rumah dengan tangan yang sedang sibuk mengikat rambutnya.
"Membicarakan kamu," sahut Bu Mutia dengan cepat.
"Aku?" sahut Jiya.
"Iya, Ibuk mau minta tolong pada Nak Adam untuk mencarikan jodoh untuk kamu," tandas Bu Mutia dengan cepat.
Jiya pun langsung duduk di dekat ibunya. "Ibu apa-apaan sih, Mas Hendra yang tentara aja mlenyo(tidak setia) apa lagi yang pengusaha seperti dia," ucap Jiya sambil menunjuk Adam.
"Ehem," dehem Adam.
"Eh," ujar Jiya yang kaget dan langsung menarik jarinya.
"Orang setia atau tidak, semua itu bukan karena pekerjaannya tapi karena orangnya," ucap Bu Mutia dengan tenang. "Benarkan Nak Adam?" Mengalihkan pertanyaan itu pada Adam.
Adam pun langsung menyahut, "Benar."
Jiya pun menggeleng-gelengkankan kepalanya mendengar hal tersebut. "Baiklah, sekarang aku harus mengantarkan Mas Adam kemana?" tanyanya.
"Antarkan ke rumah kamu," sahut Bu Mutia dengan cepat.
"Rumahku?" tanya Jiya heran lalu menatap ke arah Adam. "Jadi kamu orang yang mau menyewa rumah?"
"Iya," sahut Adam.
"Kenapa?"
Bu Mutia pun menyahut, "Sudah, kalian ngobrolnya di jalan saja, ibu mau ke belakang dulu."
Shassy pun menatap dengan aneh ke arah ibunya yang terburu-buru masuk ke dalam rumah. 'Ibu pasti sengaja mau menjodohkanku lagi,' batinnya.
Setelah itu mereka pun berangkat ke rumah yang ingin disewa oleh Adam tersebut dengan berjalan kaki sambil mengobrol santai di sepanjang jalan. Hingga beberapa menit kemudian, mereka pun sampai di rumah tersebut.
"Ini Mas rumahnya," ucap Jiya sambil membuka pintu rumah itu, setelah itu ia pun langsung duduk santai di sofa rumah tersebut.
"Bagus," gumam Adam sambil mengecek isi rumah tersebut, hingga akhirnya ia masuk ke bagian dapur. "Siapa yang tinggal di sini?" tanyanya.
"Ya Allah lupa," sahut Jiya lalu bergegas ke dapur rumah itu.
Adam pun terkejut melihat Jiya yang berlari ke ruangan itu.
"Maaf Mas, bekas mie dan kopi itu milikku, tadi pagi aku membuatnya dan lupa belum membersihkannya," ucap Jiya dengan sedikit rasa bersalah. "Kamu duduk di sofa saja, aku akan membersihkannya dan membuatkan kopi untuk kamu ya …" bujuk Jiya dengan sebuah senyum manis di wajahnya.
"Ya," sahut Adam sambil menghela napas panjang lalu meninggalkan ruangan tersebut.
Dan beberapa menit kemudian, Jiya pun keluar dari dapur sambil membawa dua gelas kopi di tangannya.
"Kamu sering di rumah ini?" tanya Adam sambil menatap Jiya yang meletakkan kopi di hadapannya.
"Aku kalau malam memang tidur di sini," sahut Jiya dengan santai.
"Oh seperti itu," gumam Adam.
Lalu Jiya pun menatap ke arah Adam. "Itu Mas, kamu jangan dengerin omongan ibuk."
"Maksud kamu soal jodoh, kenapa?"
"Aku sebenarnya nggak pengen men—" Kalimat Jiya terhenti ketika tiba-tiba seorang laki-laki masuk ke dalam rumah tersebut dan …
BUGHH! Laki-laki itu memukul Adam dengan tangan kosong. "Mampus kamu!" teriak laki-laki tersebut puas.
Adam pun langsung berdiri tapi tiba-tiba …
PLAKKK!