webnovel

BAB 3: KABUR! KABUR! KABUR!

Warning chapter ini mengandung adegan dewasa yang vulgar. Mohon bijak memilih bacaan.

***

Bangsat ini ...!

"Ahhh ...." desah Porsche. Dia menutup mata dengan lengan setelah melakukan seks secara sadar kali ini. Bukan malu, tapi lebih kepada sedikit kaget. Porsche akui tidak menyangka kalau merasakan enak bila ada penis lain memuaskan lubangnya.

Sialan! Sialan! Dasar pria bejat ini ... bisa berhenti tidak? Aku bisa mati kalau melayaninya beberapa ronde lagi!

Di atasnya, Kinn tersenyum lebar setelah menyemburkan cairan putihnya ke dalam tubuh Porsche. Lututnya berdiri tegak. Dan dengan badan kekar yang menjulang, Kinn mengocok kejantanan besarnya dengan bangga di atas sana.

Aku bersumpah akan membunuhnya sebelum pergi dari sini.

"Bagaimana? Enak?" tanya Kinn. Pria itu tampak puas melihat perut berotot Porsche basah oleh cairan kental. Dia menindih lelaki berkulit tan manis itu dengan jilatan di rahang. "Sudah kubilang kau akan ketagihan kalau sudah merasakannya."

Ketagihan matamu! Minggir!

Namun, Porche tidak lagi meludah kepada Kinn seperti tadi. Dia jaga sikap kali ini. Bagaimana pun keselamatan Porchay taruhannya, dan kalau pun dia bisa kabur dari kamar, belum tentu bisa melewati barisan bodyguard Kinn yang seperti batalion di hotel ini. Dia harus memikirkan rencana yang lebih bagus!

Yang tidak bisa Porsche sangka adalah ternyata Kinn mem-booking gedung hotel seminggu cuma demi melakukan ini! Gila! Memang dia sekaya apa? Bisa-bisanya menghamburkan uang untuk memperkosanya!

"Umnhh ... sudah!" bentak Porsche. Dia menoleh ke samping agar tidak dicium lagi. Namun, Kinn justru membuka kaki Porche di bawah sana. Pria itu sengaja menatap wajahnya untuk menikmati ekspresi macam apa yang terlihat saat lubang Porche ada di kuasa jari-jarinya. "Ummnh ... KINN!"

Detik berikutnya, Kinn sudah menggantikan jari-jarinya dengan benda yang lebih besar. Porsche sampai tersedak merasakan penis itu masuk ke dalam ujung lubangnya. Dia pun meremas bahu Kinn tanpa sadar hingga meninggalkan goresan kuku di sana.

"Aaarggh! Akh!"

Kinn mencium bibirnya kasar. Dia ingin Porche lupa dengan rasa sakit ditinju di tempat terdalam. Lidahnya bergulat sinting dengan milik Porche yang panjang. Mereka saling mengunyah hingga megap-megap, tetapi Kinn langsung mengulangi ciumannya sebelum Porche puas mengambil napas.

"Jadi, namamu adalah Porsche ...." kata Kinn seolah-olah belum benar-benar mengingatnya. Meski melepas ciuman, dia tak berhenti menumbuk lubang ketat di bawah.

Bagaimana pun, dia baru memperjakai lubang seorang lelaki yang lurus. Hal tersebut membuat senyum seringainya saat apalagi melihat wajah Porche yang seperti ikan sekarat.

"Ugh! Ahh ... mnh! Ahh! Nnnh ...."

Setiap guncangan, Porsche makin berkeringat hingga sekujur tubuhnya berkilau. Bibir Porsche terus terbuka. Dia tak berhenti mendesah di atas ranjang berantakan itu hingga Kinn membolak-balik badannya beberapa kali.

"Ahh! Ahhh! Ahhmnhh ... mmff!"

"Benar begitu, lepaskan saja suaramu," kata Kinn. Dia menyibak rambut Porche yang lepek basah, lalu mengecup hidungnya penuh gairah. "Kalau bisa desahkan namaku, Porsche. Dengan keras, paham?"

Porsche mungkin punya tubuh yang lumayan kekar, tetapi menguasainya seperti ini, Kinn merasa jadi paling jantan sedunia. Porche bahkan lebih seksi daripada Tawan sang mantan yang sudah mati.

Ah, biarkan! Kinn tidak mau ingat kalau tiga hari lalu merupakan hari peringatan kematian Tawan. Kinn harus lupakan stress gila ini demi menggapai kebebasannya di ranjang.

"AHH! AHH! KINNNN! BEDEBAH SIAL INI SAKIT SEKALI! AHHHHH!"

Jeritan Porche menggaung di seluruh dinding kamar hotel. Tapi, Kinn mana mungkin percaya dengan Porche? Dia tahu kemampuan seksnya takkan pernah membuat sakit lawan main tanpa memberikan nikmat yang serupa.

Kinn pun menusuk-nusuk lubang hangat Porche lebih kencang hingga bunyinya memenuhi kamar.

Plak! Plak! Plak! Plak ... Plak! Plak!

Antara paha dan bokong, dua-duanya bertubrukan diantara cairan kental lengket yang menghiasi.

Porsche sendiri tak bisa membayangkan seberapa kacau pemandangan tubuhnya di bawah sana. Dia gak lagi bisa berpikir. Tiap kali Kinn mengisi perutnya dengan air mani, Porche harus bersiap-siap untuk ronde selanjutnya. Oh, percayalah itu masih awal saja. Porsche sampai lupa itu jam berapa saat Kinn melepaskannya.

Porche tidak pingsan karena seks, tidak akan! Namun rasanya bergerak memang sulit sekali. Padahal Porsche yakin ini hari pertama atau kedua (?) Kalau seminggu penuh dia di hotel, mungkin pulang nanti akan remuk jadi remehan biskuit!

"Harus tetap waras. Paling tidak aku harus tetap bisa berpikir!" batin Porche. Dia pun pura-pura tidak melihat waktu beberapa pelayan masuk ke dalam kamar.

"Selamat sore, Tuan Porsche," sapa salah satu dari mereka. Sangat cantik! Porsche bersumpah jika dia masih kuat duduk, mungkin akan menggodai si pelayan untuk bercinta dengannya. "Ini makan malam untuk Anda. Tuan Kinn bilang harus dihabiskan. Beliau akan pulang nanti malam setelah menghadiri acara lelang berlian."

"Persetan lah! Siapa juga yang bertanya soal dia? Jungkir balik pun aku tak peduli samasekali!" batin Porche kesal.

"Hmm, taruh saja di sana. Aku belum ingin makan," kata Porsche. Dia tidak mau diawasi, kalau bisa secepatnya dia harus pergi, meski di luar ada puluhan--atau ratusan--bodyguard berjaga.

"Tapi, Tuan Kinn bilang kita harus memastikan Anda menghabiskannya baru kembali."

"Apa-apaan sih?! Yang benar saja orang itu! Aku ini bukan bayi!" protes Porche dalam hati. Namun, dia tetap tersenyum dari balik selimut. "Baiklah, aku makan sekarang."

Beberapa pelayan tersenyum imut saat melihat Porsche kesulitan menyuap dagingnya. Dalam posisi tidur miring, mengambil garpu pun membuatmu tremor. Astaga! Dimana harga dirinya?

"Boleh kusuapi, Tuan Porsche?" tanya pelayan cantik itu.

Porsche pun mengangguk meski mulai muak dengan situasi itu. Lagi-lagi mereka biasa saja! Apa seluruh bawahan mafia brengsek itu tahu boss mereka seorang gay? Ini benar-benar seperti di dalam film.

Malam pukul tujuh, Porche dipersilahkan mandi terlebih dahulu. Untung badannya sudah bisa dipakai bergerak. Dia pun berendam cukup lama dalam bath-up sembari memikirkan rencana macam apa yang dipakai pergi dari sini.

"Aku takkan menuruti pria sinting itu. Gila saja jadi pelacurnya? Uang tidak bisa membeliku!" kata Porsche. Dia mengguyur badan sampai puas meski sempat memaki-maki saat membersihkan lubangnya sendiri.

"Dia pikir aku perempuan apa? Kenapa menanam benih di tempat ini?! Bedebah!"

Kedua matanya melotot horor karena cairan itu ternyata banyak sekali. Meleleh di selangkangannya, pangkal paha, turun ke lutut dalam, juga sela-sela jarinya yang dipakai merogoh.

"Shit!"

Tapi, semisal sudah kabur dari sini, selanjutnya apa? Mafia bernama Kinn itu tahu soal Porchay. Apakah hidup mereka berdua akan terancam mulai sekarang? Ahh! Ini benar-benar membuatnya gila! Perasaan kenal saja tidak, dari siapa si Kinn itu tahu kalau dia bartender nomor satu di bar Che Yok? Dia berpikir begitu keras.

"Pasti ada orang yang membuatnya tahu tentangku," gumam Porsche. "Awas saja dia. Kalau ketemu pasti akan kucekik sampai tidak bisa bernapas!"

Jujur, sebenarnya seks tidak semengerikkan itu. Porsche bukannya trauma atau ketagihan. Tidak kedua-duanya. Hanya saja, kalau bisa hidup normal, kenapa memilih bahaya dengan main-main bersama mafia? Dia ingat jelas gambaran punggung Kinn sebelum meninggalkannya sendirian di ranjang itu.

Mungkin memang benar, Kinn seperti punya segalanya. Namun, Porsche tak perlu menebak kalau dari punggung itu dia bisa melihat begitu banyak beban yang menempel.

"Aku tak mau jadi pelampiasan atas beban-beban itu! Itu bukan urusanku! Pokoknya aku harus tetap keluar dari sini. Masalah nanti, dipikir lagi lain kali."

Malam itu, sebelum Kinn pulang dari urusannya, Porsche pun berusaha keras untuk menyelinap di bagasi mobil lantai 22 dalam hotel. Dia memang tak sengaja dengar obrolan para bodyguard soal showroom tersembunyi di sana, tetapi itu cukup dipakai untuk kabur!

"Kabur! Kabur! Kabur!"

"HENTIKAN DIA! SEJAK KAPAN DIA ADA DI RUANGAN INI!" teriak seorang penjaga berjaskan hitam tinggi dan berkacamata.

Panik dan kehilangan akal, Porsche pun menginjak gas mobil mewah yang dia kendarai hingga dinding hotel kaca pecah dan terjun bebas ke jalan raya.

BRRRRRRMMM! BRRRMM!

"Kinn jelek aku takkan kembali ke siniiiiii!" teriak Porsche sebelum menyadari ketinggian sebenarnya dari gedung hotel itu. "AAAAAAAARRH!"

"Mati aku mati! Mati! MATI! MATIIII!"

BRAAAAAKH!

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Apa aku benar-benar mati?!"

BRRRRRRRRMMMMMMMMMMMM!

Porsche membuka mata begitu sadar mobil bahkan dirinya masih baik-baik saja! Demi apa! Kendaraan ini pasti sangat mahal sampai bahannya tahan banting hingga tekanan tertentu!

"HAHAHAHA!! HAHAHAHAHA!! WOHOOOOOOOO!!!" teriak Porsche penuh kemenangan. Dia pun menikmati perjalanan malam itu dengan angin yang menerpa lembut rambutnya. "AKU BEBAS! AKU BEBAAAAAAAAAAASS!!"

Saat mendekati rumah, dia pun berlari penuh semangat hingga tidak lagi merasakan sakit di seluruh tubuhnya.

"Aku pulang, Porchay!"

Bersambung ....