webnovel

BAB 29: APA RENCANAMU SELANJUTNYA?

Baru saja Kinn akan membuka mulut, mendadak ponselnya di saku berbunyi. "Oh, sebentar," katanya.

"Ah, dasar mengganggu saja," dumal Porche dalam hati. Pasalnya Kinn yang sekarang sudah mau terbuka. Suasana sedang bagus, dan kupingnya pun siap mendengarkan. Tapi, kenapa adaaaa saja yang membuatnya tidak terlibat.

"Ya, hm, sekarang?" tanya Kinn dengan kening berkerut. Dia melirik Porche yang ekspresinya sudah kelihatan badmood-nya. "Baiklah, aku datang. Tunggu 5 menit saja."

"Mau kemana?" tanya Porche setelah sambungan telepon Kinn terputus.

"Pekerjaan," kata Kinn. Lelaki itu langsung dalam mode professional-nya. Dia beranjak dari kursi, mengecup pipi dan keningnya sekilas, lalu pergi begitu saja. "Jaga diri. Jangan lupa hubungi Faye kalau mau kemana-mana."

"Ungh," sahut Porche malas-malasan. Meskipun begitu, melihat Nam yang berkedip anteng di baby stroller-nya, mood pun jadi membaik. Walau ekspresinya sempat berubah saat ingat sesuatu. "Hei, bocil. Papamu sepertinya belum membuka hati, huh?" Sebab Kinn tidak sekali pun menyentuh bayi itu, apalagi menciumnya.

Hanya Porche. Sejak resminya Nam dalam data keluarga kecil mereka, tetap Porche seorang yang mendapatkan perhatian Kinn.

Meskipun begitu, Porche cukup senang bisa keluar bebas mulai sekarang. Asal Faye, si bodyguard pribadinya ikut, maka dia bisa melakukan apapun.

"Ngomong-ngomong, aku belum melihat data lahirmu," gumam Porche. Dia kemudian menelpon Faye yang sejak tadi berjaga di luar resto. "Bagaimana jika kita jalan-jalan sekarang, huh? Kapan-kapan aku juga ingin bertemu makam orangtuamu."

Sore itu, Porche pun benar-benar diantar Faye ke bekas rumah orangtua Nam. Lokasinya di Pathum Thani, dan tampak sangat normal. Tidak ada yang menghuni bangunan itu dan kata tetangganya baru akan dimanfaatkan kerabat jauhnya minggu depan. Mungkin tempat tinggal untuk kuliah?

Porche pun masuk ke dalam sana setelah menunjukkan bayi Nam ke si tetangga itu. "Aku keluarga baru yang mengasuhnya," katanya. "Jadi, ke sini mau mengambil beberapa barang."

"Oh ... begitu, kha ...."

Setelah masuk, Porche pun menyuruh Faye ikut masuk saja. Dia menggendong Nam karena bayi itu mendadak tidak tenang saat masuk ke sana. Tubuhnya menggeliat beberapa kali, dan tampak ingin menangis.

"Unng ... unn ... hiks ... hiks ...."

"Hei, bocil? Kenapa?" Porche pun menepuki bokong bayi itu terus menerus. "Jangan takut, oke? Daddy di sini."

"Tuan." Faye mendadak menunjuk sebuah foto keluarga yang dipajang di belokan dinding. "Coba lihat ke sana."

"Oh?"

Sebenarnya foto tersebut cukup menarik. Sebab diambil sehari atau dua hari sejak kelahiran, tetapi lebih menarik lagi merupakan foto-foto yang dipajang di sebelahnya.

Kemungkinan suami wanita itu merupakan fotografer. Bila tidak, mustahil figura-figura yang berjejer di lorong dinding rumah ini dipenuhi jepretan pribadi yang estetik.

"Sepertinya keluarga baru, sepertinya anak pertama, dan sepertinya masih pasangan muda," batin Porche.

Mereka kelihatan sangat bahagia dengan kelahiran bayi ini. Namun, kenapa sampai dibeli "Mae" atas perintah "seseorang?"

Kinn bilang, pasangan ini kan menolak uang tebusannya hingga dibunuh ....

Tidakkah "Mae" ini bisa memilih bayi yang lain? Apalagi jika hanya untuk membuatnya salah paham kepada Kinn?

Kenapa harus bayi "Nam" yang dibawa ke keluarga Theerapanyakul? Tidakkah lebih bagus kalau mengambil dari panti asuhan? Lebih tidak meninggalkan jejak. Lebih rapi. Dan tentunya--

"Hei, apa ini?" Kening Porche pun mengerut dalam. Sebab di sebuah meja televisi, ada foto lain yang dipanjang. Isinya wajah si suami yang memakai suit jas bodyguard,  Figurannya kecil, dan berdiri diantara foto-foto bertema keseharian.

Masalahnya di foto lain lelaki ini benar-benar menjalani perannya sebagai fotografer. Lantas untuk apa dia di gedung mewah seperti itu?

"26 Agustus 20XX, 19:12." Porche membaca tulisan spidol di balik figura tersebut, yang ternyata berarti dua tahun lalu sejak dijepret.

Apapun itu, pasti foto-foto mereka mengandung jawaban. Karena itulah, selain data kelahiran Nam, hari itu Porche meminta Faye untuk membawa pulang setiap foto yang terpajang.

"Ada lagi, Tuan?" tanya Faye setelah semua barang ditaruh dalam bagasi.

Porche pun menggeleng pelan. "Tidak, sudah cukup," katanya. "Tolong bawakan stroller-nya saja. Bocil ini tidak bisa ditidurkan lagi karena sepertinya dia tantrum."

"Baik."

Luar biasanya, semakin mobil Porche menjauh dari rumah itu, semakin tenang juga bayi Nam. Dia bahkan bisa tidur tanpa tepukan, dan meski dibaringkan kembali pun tetap pulas.

"Kau ini benar-benar aneh sekali," gumam Porche. Namun, belum sempat dia memikirkan kejadian tadi, seorang pelayan tiba-tiba mendatanginya.

"Tuan Porche."

"Hm, ya?"

"Di luar ada ibu susu untuk Nona Namsie," kata pelayan tersebut. "Tuan Kinn bilang ini merupakan hari pertamanya bertugas. Jadi, bisa Anda menemuinya sekarang?"

"Oh, oke."

"Cepat sekali ...." batin Porche dengan senyuman. "Kupikir Kinn tidak memikirkan omonganku. Ha ha ha, bagus."

"Halo, Phi ...." sapa wanita muda itu. Porche cukup heran dengan penampilannya karena terlihat seperti keturunan Asia Timur. Walau tidak cantik sih, tapi mungkin berdarah Korea? Yang pasti dia tersenyum ramah sambil menggendong anak laki-lakinya sendiri. "Aku Naa Young. Kim Naa Young. Salam kenal ...."

"Hmm ... benar, kan," kata Porche dalam hati. "Salam kenal juga. Aku Porche. Silahkan duduk terlebih dahulu."

"Terima kasih," kata Naa Young.

Mereka kemudian mengobrol sebentar tentang topik basa-basi. Seperti kenalan singkat, bertanya umur berapa bayi yang akan disusu, dan Porche nanya balik usia si anak lelaki ...

Hebatnya si bocah lelaki itu sangat tampan. Maksud Porche, visualnya tidak ikut sang ibu yang rahangnya kotak, agak berjerawat, dan--ehem ...

"Dia Taehan, Phi. Baru umur satu tahun," kata Naa Young. "Sana beri salam untuk Uncle Porche, Sayang."

"Hai, Tae," sapa Porche. Dia tersenyum cerah untuk si bocah, dan Taehan membalasnya dengan kedipan kecil.

"Aaaa a ... aaa ... a!"

Usut punya usut, kenapa wanita ini sampai membuka jasa susuan. Ternyata suaminya meninggal 7 bulan lalu, padahal dia masih harus stay di rumah lama pasca operasi caesar. Hubungannya dengan suami juga kurang disetujui keluarga, jadi mereka kabur dan pindah dari Seoul ke Bangkok. Kebetulan baru-baru ini keuangannya sulit. Jadi, mau tak mau dia datang saat Kinn memanggilnya.

Porche ingin prihatin, sebenarnya. Tapi, dia juga yakin Kinn sudah memberikan harga pantas kepada Naa Young hingga sampai mau ke sini. 

"Baiklah, jadi bagaimana kata suamiku?" kata Porche. "Kalian diharuskan tinggal di sini?"

"Iya, Tuan. Sampai umur Nona Namsie 2 tahun," kata Naa Young.

"Hm, bagus kalau begitu," kata Porche. Dia mengelus pucuk kepala Taehan. Bocah umur 1 tahun itu kelihatannya tertarik kepada Nam, sampai-sampai gemas menekan-nekan pipi merahnya. "Hei, kalau begini mereka jadi seperti kakak dan adik ...." batinnya.

Tidak butuh waktu lama, Nam pun nyaman dengan pelukan dan gendongan dari lengan wanita itu. Dia membuka mata hitamnya, tampak berusaha mengenali, dan langsung mau menyusu.

"Woaah ... woahh ... kelihatannya dia lapar sekali," kata Porche. Dia tertawa keras, sampai-sampai bodyguard di sekitar saling lirik.

Bodoh amat dikira bahagia melihat dada wanita. Porche tetap antusias menemani Nam merindukan ASI ibu, bahkan ikut mengemong Taehan seolah si bocah Porchay versi kecil.

Rasanya nostalgia sekali. Dia senang, merasa fresh, tapi tidak lagi saat Big masuk dengan keributan di pintu.

"CEPAT! CEPAT! PANGGILKAN DOKTER POI!" teriak Big sambil menggendong tubuh Porchay yang terbaring pingsan di dadanya.

DEG!

"Porchay?!" Refleks, Porche pun bangkit dari duduk. Dia gemetar, lebih-lebih sang adik kini memuntahkan busa putih dari mulut, dan terus diserang kejang. "Apa yang sebenarnya terjadi?!"

BRAKH!

Big tidak sempat menjawab sang tuan. Dia terus mencari para dokter keluarga, sementara ruangan gaduh seketika dengan tangis dua balita yang kaget.

"Oeeeeeee!! Oeeeeeee!! Oeeeeeee!!"

"Huaaaaaaaaaaaaaa!!"

CLUNG!

Namun, diantara situasi ribut itu, Porche lebih terkejut karena ponselnya mendadak bergetar.

Ada nomor baru yang masuk, dan secara ajaib benda itu menerima panggilan bahkan sebelum dia menekan dial-nya.

....

...

"Hai lagi, Tampan ...." Suara dari seberang sana. Berani sumpah Porche tahu siapa si pembicara, bahkan meski baru mendengar suara menggoda wanita itu sekali. "Senang dengan kejutanku berikutnya? Surprise ....! Aku harap kau sekarang paham maksudku." Wanita itu tertawa renyah beberapa detik. "Bagaimana, Sayang? Masih ingin lanjut main? Atau kau cepat datang untuk berkencan denganku? Akan kutunggu kapan pun itu."

"BANGSAT!!"

"Kau tahu kemana harus mencariku. Ha ha ha ha ha ...."

Sambungan langsung berakhir setelah itu, dan Porche tidak bisa menghubungi ulang bahkan meski nyaris membanting ponselnya.

.

.

.

.

.

.

Palermo, Sisilia, Italia.

"Hmmmm ...." gumam Laura dengan raut yang santai. Wajahnya lega, senyumnya cerah, dan kedua matanya terpejam. Dia tampak sangat menikmati mentari sore hari itu, sambil mendengarkan burung-burung camar yang mengepakkan sayap mereka di luar kapal pesiar yang dinaiki. "Cukup tidak membosankan," katanya. "Berikutnya siapa yang bisa kuseret dalam permainan ini. Hmmm .... mungkin bayi busuk itu? Akan kupikirkan dulu."

Bersambung ....