webnovel

BAB 20: KINN ... CUKUP, KELUAR!!

Kinn membungkuk untuk mencium tengkuk Porche dan mengigit di sana. Dia menjelajahi bagian itu dengan liukan lidah yang lincah, sementara di bawah pinggul Porche diangkatnya untuk lebih mudah meluncurkan penisnya ke dalam.

"Ahh ...." Desahan Porche teredam bantal di bawah pipinya. Dia meremas seprai di bawah, sementara Kinn meremas pergelangan tangannya agar tidak banyak bertingkah. Berikutnya dia mulai menggerakkan diri hingga desahan mereka bersahutan seperti nada.

"Ahh ... Ahh ... Porche ...."

Setiap detik, dorongan pinggul Kinn semakin kuat menghantam bokong di bawahnya. Dia tidak lupa mencubiti puting Porche di bawah hingga lelaki itu membuka mulut untuk merintih lebih keras.

"Kinn ... Mmmh ...."

Kinn menyibak poni-poni Porche yang mulai menghalangi keningnya. Dia mencium bibir lembab nan panas sang kekasih meski posisi mereka agak menyulitkan.

Brugh!

Rupanya Kinn yang agak tidak sabaran. Dia mengubah posisi tubuh Porche agar menjadi miring dan mengangkat satu lututnya untuk bergerak lebih leluasa. Dia menggeram nikmat, tiap cakaran Porche menggurati punggungnya.

"Hrrmmmh ...." Bekas cakaran itu pun tampak memanjang di punggung lebar Kinn. Kanan, kiri. Semuanya ditandai oleh Porche karena lelaki itu memang miliknya.

Rasanya ingin meledak! Panas pertemuan organ intim mereka semakin menyebar kemana-mana. Dan hanya dalam hitungan menit, ranjang dan seprai bahkan basah karena pergumulan keduanya.

"Errhh ... ughh ...."

Lama-lama Porche tak tahan gempuran di dalam dirinya. Dia menyusupkan lengannya kepada Kinn untuk menyalurkan hasrat. Sementara mereka mengocok penisnya bersama-sama.

Benda itu sudah mengeras sempurna sekarang. Dia ingin memuntahkan cairan yang tertahan di ujung, tetapi Kinn justru meremasnya sebelum muncrat--

"Tahan, tunggu aku--"

"Urrhh, Kinn! Aku ingin keluar!"

Kinn mengesun pipi Porche dan membelai pahanya intens. "Jangan dulu, Der ..." Dia membuat Porche mengejan kuat, sebab hentakan nya makin agresif untuk mendapatkan kenikmatan sempurna di dinding-dinding yang menjepit miliknya itu.

"Ah! Ah! Ah!"

Porche meremasi punggung tangan Kinn jengkel, karena birahi nya harus tertahan. Kakinya menendang-nendang seprai di bawah sana, membuatnya kusut, dan nyaris jatuh ke ujung ranjang.

Porche seperti hewan yang terberangus oleh pemangsa di alam liar, dan Kinn memakannya bulat-bulat.

Sembari terkekeh, Kinn tidak puas-puas memandangi ekspresi erotis Porche. Bagaimana caranya kesulitan bernapas, bagaimana caranya mengerutkan hidung, berkedip, atau mengerjap tidak tahan, dan bagaimana cara bibirnya terbuka mencoba tetap membuka mata.

Mungkin Porche sudah mengantuk karena tenaganya nyaris habis, tetapi dadanya langsung berdebar gila karena Kinn mengeras lagi di dalam tubuhnya.

"Urrgh ... ugh ... Nnh ...." keluh Porche dengan memijit keningnya sendiri. Dia pusing, tetapi setiap Kinn melumati bibirnya, dia tidak menolak sekali pun.

Oh, candu sekali aroma leher jenjang seorang Porche Pachara Kittisawasd. Kinn gemas sampai-sampai ingin mencekik kekasihnya, tetapi terlalu sayang sehingga hanya menyodoknya pelan-pelan kali ini.

"Mengantuk, huh?" kata Kinn.

Porche justru membelai potongan undercut-nya kali ini. "Siapa? Aku tidak," sangkalnya dengan rintihan pelan.

Kinn pun tertawa kecil. Dia menarik selimut untuk memeluk Porche lebih hangat karena tak ingin kekasihnya terpapar angin malam. Bagaimana pun, tirai balkon di kamar itu masih terbuka. Jadi, meskipun badan mereka panas, apapun bisa terjadi pada kesehatan Porche.

"AAAAHHHHHHHHH!"

Erangan panjang pun menyebar bersama sahutan napas berisik. Meski dalam kondisi separuh sadar, Kinn bisa membuat Porche mencapai kenikmatan tertinggi itu bersamaan.

Meskipun begitu, Kinn tetap menyarungkan penisnya yang lemas di dalam sana. Dia memeluk tubuh bawah Porche dengan kaki-kaki yang kukuh seolah memastikan tidak ada sedikit pun benihnya yang keluar dari dalam.

Biar.

Biar saja ditelan semua oleh sang kekasih.

Kinn ingin Porche tahu, bahwa bila ingin dirinya secara utuh, maka Porche harus menerima segalanya.

"Kinn, cukup. Keluar--" kata Porche dengan suara yang parau.

"Tidak akan. Aku masih ingin di dalammu, hmmm ...."

Kinn memeluk dada Porche yang berkeringat parah. Bagian itu naik turun tak berhenti meski Porche sudah berusaha mengatur napas. Dia mengeringai puas melihat Porche kelelahan dengan persetubuhan mereka, tetapi tidak bisa lepas.

Kinn justru terpejam, menikmati aliran darahnya yang diserbu kenikmatan di seluruh tubuh, lalu menyodok liang hangat itu untuk terakhir kalinya.

"AHH!"

Sembari mencium, Kinn lantas memeluk Porche dan meresapi sensasi tertinggi penyatuan mereka malam itu.

.

.

.

Pagi harinya, hubungan mereka berdua pun membaik. Porche bangun karena di sisinya, Kinn tidak hanya diam tetapi juga mengepung punggung tangannya seperti narkoba.

Lelaki itu membuatnya terganggu, lantas hanya tertawa ketika ditampar kesal di pipi.

"Hei, Kinn. Aku ini masih mengantuk!" bentak Porche.

"Aku sudah tahu itu," kata Kinn.

Saat mereka saling berpasangan, Kinn pun berusaha menyelami perasaan kekasihnya. "Masih marah atau tidak, huh?"

Porche menatapnya kesal. "Menurutmu?" tanyanya. Sebab bila marah, dia pasti sudah memaki-maki Kinn. Hanya saja, ahh ... menatap kedua mata itu saja, Porche tahu Kinn sangat bersyukur mereka bangun berdua di ranjang ini.

"Saranku, pertama-tama pakai lagi cincinnya," kata Kinn. "Bagaimana?"

"Aku tidak akan melakukannya," kata Porsche. "Aku tidak ingin memakai benda yang pernah kau siapkan untuk Tawan. Jangan harap aku menyentuhnya lagi, Kinn."

Kinn tidak tahu darimana Porsche tahu, tetapi perkataan lelaki itu ada benarnya. Cincin, sepasang suit hitam putih di lemari rahasia, dan gedung yang akan mereka gunakan nantinya. Dulu semua persiapan memang untuk Tawan.

"Ah, mungkin bodyguard-bodyguard itu juga yang memberitahunya," batin Kinn.

"Tapi tak masalah jika kau ternyata keberatan," kata Porche tiba-tiba. "Aku memang tidak suka, tapi benci membuatmu bakar-bakar uang lain. Anggap saja aku tak pernah mengatakan apapun, Kinn."

Meski Porche bilang begitu, memang Kinn akan membiarkannya?

"Itu persoalan mudah," kata Kinn begitu pelukan mereka terlepas. "Lagipula, kau pikir aku langsung jatuh miskin hanya karena tadi? Aku jadi ingin tertawa."

"Jangan bercanda, Kinn," kata Porsche langsung kesal. "Semalam, aku jadi menyesal tidak menembakmu."

Kinn justru tergelak. Hei, benarkah di depannya adalah Porche? Sejak kapan lelaki hiperaktif itu dipenuhi hal negatif? Padahal, awal mereka bertemu Kinn sempat tidak yakin bisa memegang ekornya. "Ha ha ha ... astaga ...."

"Kinn ...." desah Porche tak mengerti.

"Ha ha ha ha ha!"

"KINN ...!" tegas Porche kesal.

Kinn mengesun pelipis Porche sayang. "Kau tidurlah lebih banyak," katanya. "Tidak perlu ikut acara hari ini. Tak masalah. Nanti pasti kurus rasa penasaran orang-orang rumah ini."

"Hah?"

"Kau lupa ini tanggal 22 Mei?" Kinn mendengus tersenyum. "Ada penghormatan leluhur untuk almarhum ibuku. Dan itu biasanya dilakukan pasangan sebelum menikah, tapi aku akan mewakilimu. It's okay."

Demi apa, Kinn! Shiaa!

Andai Porche masih bisa bergerak lebih, dia pasti menghajar Kinn karena jadi calon menantu yang kehilangan tata krama. Namun, Kinn sendiri hanya mengecup keningnya sebelum pergi mengurus apapun yang dia janjikan.

Bersambung ...

Spoiler chap depan: Thankhun julid

Btw, abis mantengin gambar ini di google, gw baru sadar tulisannya yang bener "Porsche" bukan "Porche". Tapi berhubung dah terlanjor kebiasaan, ngetiknya malah bikin gagal fokus kalau dirubah sekarang. Gw memutuskan untuk biarin gitu aja. Nanti kalau ini FF tamat baru di-edit ulang lebih rapi.

Maap, yo. Gw bukan author yang sempurna