webnovel

Silver Dynasty | Dinasti Perak

Pangeran Akasha. Jelmaan Pasyu. Pasukan Hitam. Entitas tak tampak : Mandhakarma yang keji. Tetiba dunia jungkir balik di hadapan Silva yang sedang berjuang mengatasi hidupnya yang kacau balau. Setelah 11.000 ribu tahun dunia dihancurkan tiga wangsa yang berseteru, hanya dua bulan waktu yang tersisa memecahkan mantra kuno milik Wangsa Akasha dan Pasyu! ______ Ribuan tahun silam, dunia dipimpin empat Wangsa Akasha yang sakti dan empat Wangsa Pasyu yang perkasa. Milind, panglima muda yang tampan dan ulung dari Akasha, mengawal kejayaan wangsa bersama tujuh pemimpin lainnya. Kehidupan damai penuh pesona, limpahan kekayaan dan kehidupan penuh martabat. Kecuali, bagi Wangsa Ketiga, budak Nistalit yang terpaksa menghamba. Kehidupan tetiba berdiri di jurang kemusnahan ketika Mandhakarma, kekuatan Gelombang Hitam, menyapu wilayah Akasha dan Pasyu dengan ganas. Satu-satunya penyelamat kejayaan para wangsa adalah unsur perak yang hanya dapat ditambang oleh para Nistalit. Nami, seorang budak perempuan Nistalit, menjadi tumpuan wangsa ketika keahliannya diperlukan untuk menemukan unsur perak. Hanya ada dua pilihan : memperbaiki hubungan dengan Nistalit ataukah membiarkan dunia dikuasai Mandhakarma. Ketika sebagian Akasha dan Pasyu terpaksa menjalin kerjasama dengan Nistalit, mereka memelajari hal-hal indah yang belum pernah dikenal sebelumnya : cinta dan harapan di tengah-tengah derita dan pengorbanan. Mandhakarma dan sekutunya, tak ingin membiarkan ketiga wangsa menguasai dunia; tidak di masa dahulu, tidak juga di masa kini. Perak, sebagai senjata pamungkas, tetiba menyusut dengan cepat justru ketika manusia sangat membutuhkannya. Sekali lagi, ketiga wangsa diuji untuk mempertahankan dunia dengan cara yang pernah mereka lakukan ratusan abad yang silam. ______ Cara membaca : ●Judul : kisah ribuan tahun silam Judul ( tanpa tanda ● di depan) : kisah di masa kini

lux_aeterna2022 · Fantasy
Not enough ratings
279 Chs

●Pesan Kavra

Pohon Dewangga konon tumbuh di dunia dari sehelai daun surga yang jatuh. Untuk dapat bertunas dan berbuah, Dewangga selalu ditanam sepasang, jantan dan betina. Walau memiliki banyak khasiat, tak mungkin ditanam sembarangan. Ketika akhirnya hanya beberapa pihak yang bisa memilikinya; kalangan bangsawan tertentu yang bisa menumbuhkannya dengan perawatan sangat sulit, perebutan berbahaya bahkan pertikaian yang tak masuk akal.

Pendek kata, Dewangga tanaman surgawi yang memilih siapa tuannya.

Raja Vanantara memiliki jenis jantan, pikir Milind resah. Ratu Varesha memiliki jenis betina. Apakah ia harus mempercayai Kavra dan Yusa, terlebih mempercayai Nami dan mengkhianati Wanawa?

"Apa kegunaaan serbuk itu?" Nami bertanya ingin tahu.

"Mengubah warna, menyamarkan bentuk, mengubah rupa untuk sementara waktu," jelas Yusa.

"Ketika digunakan, warna sebuah benda bisa berubah?" tanya Nami. "Warna hitam menjadi hijau, begitu misalnya?"

"Ya."

"Aku melihat jubah mirip prajurit Wanawa yang dikenakan prajurit asing malam itu," Nami mengingat-ingat. "Kukira jubah prajurit Wanawa, tapi ternyata sulaman simbolnya berbeda. Bila tak teliti, akan terkecoh."

"Boleh jadi," Yusa mengangguk.

"Aku juga…," Nami menghentikan kalimatnya.

Milind dan Kavra menunggunya bicara. Hanya Yusa yang berani angkat suara.

"Kenapa, Nami?" tanya gadis Akasha Gangika itu.

"…aku melihat belati Hulubalang Janur dengan warna sarung dan hulunya yang khas, warna hijau. Belati itu digunakan untuk melukai Putri Calya dan Putri Arumya."

Nami mengatupkan dua telapak tangannya di depan wajahnya sendiri, menutup mulut, tanda berpikir keras. Ketiga sosok di sekelilingnya menunggu.

"Belati Hulubalang Janur telah dihadiahkan pada Hulubalang Jawar," kata Nami sembari memejamkan mata. "Apakah ada yang menginginkan kematian Hulubalang Jawar atau berusaha memfitnahnya?"

Hening.

"Kita telah tahu kegunaan serbuk hijau itu," ujar Yusa. "Sekarang, harus kita pastikan asalnya. Serbuk hijau itu – serbuk Dewangga – hanya dimiliki kalangan bangsawan tinggi."

"Apakah mungkin meminta pertolongan Putri Yami atau Putri Nisha untuk mencari tahu di istana Giriwana?" tanya Kavra berharap.

"Aku tak akan melibatkan kedua putri dalam kecurigaan berbahaya seperti itu!" tegas Milind.

Yusa menatap Nami. Gadis Nistalit itu tampak berpeluh.

"Kau…sakit?" Yusa berkata cemas.

Nami mendongak, menatap ke arah Yusa penuh rasa terima kasih. Tetiba tertegun, merasa mendapatkan ilham.

"Aku akan ke Giriwana," gumam Nami.

"Apa?" Kavra terkejut. "Bila pengkhianat itu menyadari kau tahu sesuatu, nyawamu terancam!"

Nami menggeleng, "Hamba dalam jaminan Paduka Vanantara dan Pandhita Garanggati."

"Bagaimana bila justru mereka berdua yang memiliki serbuk Dewangga?" tanya Kavra.

"Kavra! Jangan lancang!" bentak Milind.

"Temuan Yusa mengarahkan ke sana," tegas Kavra. "Aku pernah memperingatkanmu tentang hal ini, Milind!"

Nami bangkit, sedikit tertatih.

Berbalik meninggalkankan Milind dan Kavra. Pikirannya dipenuhi satu bayangan keyakinan : istana Giriwana. Kavra memburunya, menahan lengannya untuk tak pergi.

"Kau akan mati begitu tiba di Giriwana!" bentak Kavra. "Pemilik serbuk ini berani membunuh prajurit Akasha, melukai para tamu bangsawan. Apalagi Nistalit sepertimu!"

Nami menepis pegangan Kavra.

"Mungkin ada yang berniat jahat," Nami mengangguk, "tapi Paduka Vanantara dan Pandhita Garanggati tak akan membunuh hamba secepat itu. Terlebih hanya hamba yang saat ini mampu membawa bongkahan Berlian Surga."

Kavra tertegun.

"Kau memburu …poorva auriga?" bisik Kavra.

Milind menatap Kavra penuh pertanyaan, mengapa seakan hanya ia yang tak dilibatkan dalam perburuan ini?

"Banyak pasukan khusus Gangika tewas memburu benda ini. Kau bisa kembali dengan selamat, Nami??"

❄️💫❄️

Kavra memerintahkan Nami dan Yusa untuk pergi menemui Gosha. Dalam bilik rahasia milik Gosha, Kavra menatap Milind penuh selidik.

"Pasukan khusus yang dibentuk Raja Nadisu kembali dengan tangan hampa," ujar Kavra. "Hanya sebagian kecil yang kembali. Kau tahu, apa perintah raja bagi pasukan Nistalit?"

Milind terdiam.

"Mereka siap mati untuk 'poorva auriga', dengan imbalan tiga janji yang akan dikabulkan raja," Kavra tajam menatap Milind. "Kau tahu Nami terlibat ini?"

"Aku tak tahu apapun," tandas Milind, menarik napas. "Aku bahkan tak tahu rencana Raja Vanantara dan Pandhita Garanggati. Ada beberapa hal yang sengaja disembunyikan dariku."

Milind menunduk sesaat, merasakan kehampaan mendapati dirinya tak mendapatkan kepercayaan yang semestinya.

"Raja Nadisu mempercayaimu, Kavra," Milind mencoba tersenyum. Seolah mengatakan, bahwa Vanantara tak memiliki cukup kepercayaan pada panglimanya sendiri.

Kavra merenung.

"Aku justru berpikir, Raja Vanantara sangat menyayangimu, Milind," ujarnya perlahan. "Beliau sangat ingin melindungimu. Beliau akan lakukan apapun untuk menyelamatkanmu, termasuk mengorbankan apa yang dianggapnya tak penting."

Milind dan Kavra berpandangan.

"Apakah kau selalu bersama-sama Putri Yami dan Nisha?" tanya Kavra ingin tahu.

"Ya," Milind terlihat sedikit bimbang.

"Apakah Raja Vanantara lebih banyak mempercayai Nistalit akhir-akhir ini?"

"Aku berpikir demikian," gumam Milind, "membuatku merasa serba salah."

"Menurutmu, harga seorang Milind dengan harga seorang Nistalit; lebih tinggi mana?"

"Kavra!" tegur Milind.

"Jangan salah sangka, Milind," Kavra mengangkat telapak tangannya, menahan ledakan kemarahan Milind, "aku tak bermaksud merendahkan Nistalit. Tapi coba pikirkan baik-baik secara jujur : jika diminta memilihmu atau Nistalit, mana yang akan dipilih Raja Vanantara?"

Milind menatap Kavra tak berkedip. Tak ingin menjawabnya.

"Aku melihat kemampuan Dupa dan Nami, mereka berkembang pesat di bawah asuhan Giriwana," papar Kavra. "Mustahil, mereka dilatih hanya untuk hal remeh temeh. Giriwana mempersiapkan pasukan terbaik, entah dari Akasha atau Nistalit, untuk melindungi kepentingan yang sangat berharga."

Milind masih menatap Kavra yang tampak termenung. Nami, mungkin menceritakan sebagian rahasia dirinya tanpa sengaja.

"Banyak bahaya mengancam ke arahmu," Kavra menyimpulkan. "Raja tak ingin kehilanganmu."

Milind, tanpa sadar mengelus hulu pedangnya, memejamkan mata demi menghalau resah.

"Aku tak akan selalu ada untuk menolong pasukan Nistalitmu, Milind," ujar Kavra. "Aku juga punya pasukan dan urusan sendiri. Kalau aku tak bisa membantu mereka, kuharap kau ada untuk menolong prajurit Nistalit bekas asuhan Sin. Mereka bukan lagi pasukan Gangika, mereka pasukan Wanawa."

Milind melihat gurat kepedihan di raut Kavra yang tegas dan keras.

"Ketika Soma mati begitu cepat, aku merasa gagal," gumam Kavra. "Setiap hari, aku berpikir tentang Nistalit Sin yang tersisa. Mungkin, merekalah yang menghubungkanku dengan ingatan akan Sin. Seharusnya Sin masih punya waktu ribuan tahun, tapi semua hukum Akasha tak berlaku saat berhadapan dengan Madhakarma."

Kavra bersedekap. Resah dan berpikir keras.

"Kau memikirkan Sin, atau yang lain?" Milind mencoba tersenyum.

Kavra tertegun, menoleh ke arahnya.

"Bagaimana kabar Akara?" Milind bertanya. "Kau membawa Yusa dalam bahaya. Apakah Akara menyetujuinya?"

Kavra menatap Milind.

"Aku dan Akara sama-sama prajurit asuhan Panglima Garanggati, Kavra. Aku cukup tahu banyak tentang Akara."

Mereka terdiam.

"Bila Akara tahu Yusa…," ujar Milind, tak selesai.

"Milind," potong Kavra. "Yusa yang memutuskan sendiri untuk menolong Nami. Aku tak memaksanya. Akara telah mengizinkannya."

Kavra menatap Milind dalam-dalam.

"Aku, Akara dan Yusa, juga Han; telah menghantarkan permintaan Nami. Kami hanya bisa sampai sini," gumam Kavra. "Dalam benak Nami hanya ingin menyelamatkan Nistalit, membalas budi Gangika, mengabdi pada Wanawa."

Milind menarik napas.

Kavra tertawa kecil, seolah meremehkan, "gadis itu tak tahu betapa kecil dirinya untuk keinginan yang begitu besar."

"Nistalitmu bahkan menyelamatkan Vasuki," ujar Milind menambahkan.

"Vasuki?" alis Kavra naik.

"Ya."

"Apa Nistalit tak pernah punya dendam?"

"Aku tak tahu."

Keheningan yang senyap menguar di antara keduanya.

"Kau ingat, kita akan bertukar pesan rahasia?" tanya Kavra. "Apa yang akan kau berikan padaku?"

Milind menunduk, berpikir sesaat.

"Poorva auriga," ia berkata. "Kami memilikinya dan harus segera mengolahnya."

"Kau akan punya senjata luarbiasa," tebak Kavra.

"Tak mudah," ujar Milind. "Kudengar poorva auriga sangat sulit dibentuk. Seiring itu, mata Mandhakarma akan tertuju pada kami."

"Betul. Mandhakarma mengincar porova auriga, senjata yang dapat melawan mereka, tapi tak dapat mereka miliki," Kavra membenarkan. "Ternyata hal itu tertulis secara rahasia di kitab para pandhita."

"Kita akan membutuhkan bantuan Nistalit," gumam Milind.

Kavra mengangguk.

"Apa kau pernah berpikir, sampai kapan Nistalit Wanawa bisa bertahan hidup?" tanya Kavra.

Milind menatap sosok di depannya dengan kegundahan yang dalam.

"Sampai seberapa jauh Raja Vanantara akan mengorbankan Dupa dan…Nami?" Kavra melempar teka-teki.

Milind menggenggam erat hulu pedangnya.

"Kehilangan Sin sangat menyakitkan, Milind. Kehilangan Soma pun meninggalkan luka yang tak mudah sembuh di hatiku."

Kavra tampak membiarkan kehampaan yang menyesakkan mengambang di antara mereka.

"Apa kau pernah membayangkan bila Nami bertugas ke Giriwana lalu ia tak pernah muncul lagi?" bisik Kavra, muram menggurat di wajahnya.

Ia berpamitan kemudian, berjalan tegap meninggalkan Milind yang dipenuhi bongkahan kerisauan. Dari arah belakang, Milind dapat melihat bahunya yang kokoh namun tampak menyangga beban demikian berat. Dilihatnya Kavra bercakap sebentar dengan Nami, terlihat menatap seksama wajah gadis Nistalit itu, tampak berusaha keras menahan diri.

Yusa memeluk Nami sebelum berpisah, membisikkan sesuatu.

Kavra tampak kikuk ketika berhadapan dengan Gosha saat berpamitan. Sebaliknya, Gosha justru mendekapnya hangat.

❄️💫❄️