webnovel

#03

Maret 2011, Paris – Perancis

Ana keluar dari gedung sekolah dan berjalan pelan ke mobil yang biasa menjemputnya. Ia membuka pintu mobil dan langsung masuk tanpa memperhatikan, yang membuatnya terkejut saat mendapati Anaïs yang juga sedang berada di dalam mobil itu.

"Nenek!" tegur Ana. Anaïs hanya tertawa.

"Ada apa nenek sampai ikut menjemputku?"

"Nenek ingin mengajakmu kencan." Jawab Anaïs genit.

"Wow. Aku suka itu." Sahut Ana tak kalah genit yang membuat Anaïs tertawa lagi.

Anaïs membawa Ana ke sebuah café di tengah kota. Mereka bisa duduk sambil memperhatikan semua orang berlalu-lalang. Merasakan udara yang mulai menghangat, memasuki musim semi. Anaïs menyesap teh melatinya, sedangkan Ana menikmati cokelat panasnya, ditemani sepotong cheese cake.

"Coba liat kesana." Kata Anaïs sambil menunjukan arah yang Ia maksud dengan dagunya.

Ana berbalik dan melihat ke arah yang Anaïs tunjukan. Ia melihat banyak orang berjalan kesana kemari. Ana tidak mengerti apa maksud Anaïs.

"Apa yang kau lihat?" tanya Anaïs.

"Jalanan, orang-orang, anjing lucu, bangunan…" jawab Ana ragu.

"Angkat pandanganmu ke atas" perintah Anaïs.

Ana mengangkat pandangannya. "Lalu apa?" tanya Ana bingung.

"Apa kau mengenali atap merah muda itu?" tanya Anaïs santai lalu menyesap tehnya.

Ana berbalik lalu melihat dengan lebih baik. Ia mencari-cari atap merah muda yang Anaïs maksudkan. Begitu Ia melihatnya, Ia menyipitkan matanya, masih bingung melihat atap merah muda itu.

"Aku sudah melihatnya. Ada apa dengan atap merah muda itu?" Tanya Ana lagi.

"Tidakkah kau mengenalinya?" Anaïs mulai tidak sabar. Ana menggeleng.

Anaïs memanggil supirnya, membisikan sesuatu, lalu supir itu pergi membawa mobil meninggalkan Anaïs dan Ana.

"Ayo!" kata Anaïs pada Ana.

Ana hanya menurut lalu mengikuti Anaïs. Keduanya berjalan kaki menyusuri kerumunan orang. Menyebrangi jalan, masuk ke gang kecil, melewati gedung-gedung tua yang terasa biasa saja untuk Ana.

"Di kota ini, Ana, anak-anakku besar di kota ini. Kakekmu memilih tinggal di Selatan Perancis, menghindari segala keramaian ini. Namun Ibu dan paman serta bibimu, mereka besar di kota ini. Setiap jalan mereka ingat." Kenang Anaïs.

"Kau lihat itu" kata Anaïs menunjuk sebuah bangunan besar.

"Ya… itu kan Flaneur, hotel kita." Jawab Ana.

"Lihat atapnya."

Ana mendongak melihat atap hotel megahnya. Atap berwarna merah muda. Ana baru saja paham bahwa yang ingin neneknya tunjukan padanya sedari tadi adalah hotel itu.

"Sekarang kau sadar kan, seberapa besar hotel kita itu sampai kau bisa melihatnya dari café tadi?" Ana mengangguk malu.

Mereka sudah semakin dekat dengan hotel. Ana semakin merasa takjub dengan tempat tinggal mereka selama ini. Hotel sebesar ini adalah milik neneknya. Hotel yang cantik seperti neneknya.

"Apa dulu nenek mendapatkan hotel ini, sudah sebesar ini?" tanya Ana penasaran.

Anaïs tertawa. "Tentu saja tidak."

"Saat nenek pertama kali mendapatkannya dari kakek buyutmu, hotel ini hanya sebuah tempat kumuh. Suatu keajaiban tempat ini masih ada setelah perang dunia kedua." Anaïs memulai ceritanya.

"Ayahku mendapatkannya setelah perang dunia pertama usai. Lalu setelah perang dunia kedua selesai, beliau membagi-bagikan hartanya pada kami. Aku mendapatkan tempat ini dan segala bantuan untuk membuatnya menjadi lebih baik." Keduanya lalu duduk di bangku yang berada di seberang jalan dari hotel.

"Saat aku menikahi kakekmu, Hotel ini sudah setengah besarnya daripada sekarang. Lalu seiring berjalannya waktu, aku terus berusaha mengembangkannya hingga sekarang ini." Anaïs menutup ceritanya.

Ia melihat Ana yang sedang menatap Hotel di hadapan mereka dengan perasaan takjub. "Apa kau suka hotel ini?" tanya Anaïs.

"Aku suka. Jangankan Hotel cantik nenek, rumah sakit papa pun aku suka." Jawab Ana polos.

"Anak manis. Baiklah, ayo." Kata Anaïs lalu keduanya masuk.

Dua orang pria berusia sekitar empat puluhan dan lima puluhan, rapih memakai setelan jas, segera mendekati mereka.

"Bonjour, Madame." Sapa mereka kepada Anaïs.

"Bonjour. Oh… Monsieur Dubois dan Monsieur Baudelaine." Anaïs menyambut mereka.

Bernard Dubois adalah seorang pengacara dan Lucien Baudelaine adalah seorang notaris. Anaïs sudah menghubungi mereka sebelum hari ini. Mereka segera menuju restoran hotel dan duduk bersama.

"Perkenalkan ini adalah cucuku, putri tunggal Beatrice, Ana O' Riain." Anaïs memperkenalkan Ana dengan bangga. Bernard dan Lucien bersalaman dengan Ana.

"Apakah Madame ingin langsung melakukannya di sini, sekarang?" tanya Bernard memastikan.

"Oui, tentu saja. Kita sudah terlambat lima bulan, Monsieur."

Anaïs membuka tasnya dan mengambil kaca mata dan penanya. Bernard dan Lucien membuka tas lalu mengeluarkan beberapa dokumen. Mereka membuka dokumen satu persatu lalu menunjukannya pada Anaïs.

Anaïs membaca dengan seksama dan mengangguk. Dokumennya sesuai dengan yang Ia harapkan. Bernard dan Lucien menunjukan beberapa hal pada Anaïs yang tidak Ana pahami, kemudian Anaïs meletakan kaca matanya sebentar, lalu berbicara dengan serius pada Bernard dan Lucien.

"Tuan-Tuan, dia baru saja berulang tahun yang ke tujuh belas bulan november kemarin. Tapi, aku tidak ingin membebaninya dengan beban manajerial. Bagaimana caranya?" tanya Anaïs serius.

"Hotel ini diserahkan hari ini kepada nona Ana, namun namanya akan dimasukan sebagai pemilik saat Ia berumur delapan belas tahun, yang adalah november tahun ini." Lucien membuka penjelasan.

"Kemudian Nona Ana akan diumumkan secara resmi sebagai pemilik kepada jajaran manajerial dan staff saat Ia berumur dua puluh tahun. Namun, pihak manajemen hotel akan terus mencari kandidat direktur, manager, serta staff untuk perputaran manajerial. Untuk Hak dan kewajiban Nona Ana sebagai pemilik, akan dibarui secara berkala." Tutup Bernard.

Anaïs tersenyum puas mendengar penjelasan Mereka. Ana di lain sisi hanya menganga mendengar apa yang baru saja kedua pria itu katakan. Apa yang baru saja Ia dengar? Pemilik? Manajerial? Hak dan kewajiban?

"Nenek, apa yang sedang terjadi?" tanya Ana akhirnya.

Anaïs tidak langsung menjawab, melainkan masih membaca beberapa dokumen lagi, lalu mulai menanda tangani dokumen-dokumen tersebut. Setelah selesai, kedua pria itu berpamitan lalu pergi. Anaïs membawa Ana ke suit mereka sebelum menjawab pertanyaannya.

"Nenek memang sudah mengucapkan selamat ulang tahun padamu waktu itu, namun belum memberikan hadiah apapun. Sebagai hadiahnya, nenek berikan hotel ini kepadamu. Kau, Ana Danielle Rosalind O'Riain, mulai sekarang adalah pemilik Hotel Flaneur." Kata Anaïs tenang.

Ana terdiam. Ia tidak bisa memikirkan apapun. Mendapatkan mobil atau tiket jalan-jalan ke belahan bumi lain adalah hadiah ulang tahun yang normal baginya. Tapi mendapatkan sebuah hotel adalah hal yang sangat baru untuknya. Apalagi jika hotel itu adalah hotel besar milik neneknya.

"Tapi nek, aku tidak tahu jika aku bisa menjaga hotel ini atau tidak." Kata Ana akhirnya.

"Saat kau punya cukup uang, kau harus mempunyai seorang pengacara yang bisa membantumu nanti. Untuk sekarang, kau tidak usah banyak berpikir. Masih ada nenek."

"Direktur dan manajer, juga staff hotel lainnya akan dipilih lewat rapat, dengan para calon kandidat yang harus melamar dengan kualifikasi khusus. Hotel akan baik-baik saja dan kau akan terus mendapatkan uang." Jelas Anaïs.

Ana masih tidak mengerti. Ia ingin membantah. Ia ingin bertanya tapi pertanyaannya terlalu banyak dan kusut di dalam pikirannya. Ia hanya terdiam, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

"Intinya, terima saja hadiah ulang tahun ini dari nenek. Oke?" Ana mengangguk.

"Dan tolong rahasiakan ini dari siapapun, dari Adelie, bahkan dari orang tuamu sekalipun. Mengerti Ana?" Anaïs terlihat sangat serius.

"Mengerti, nek."

Anaïs seperti sedang berjudi dengan melakukan hal ini. Namun Ia yakin bahwa Ana adalah satu-satunya keturunannya yang dapat Ia berikan hotel ini.