12 Resign

Entah apa yang ada di pikiran Nadira saat menerima tawaran Daniel Sebastian untuk berbincang di tempat lain. Yang ada di pikirannya saat itu, dia hanya tidak ingin ibunya tahu tentang masalah yang sedang dihadapinya.

Memarkirkan mobil di pelataran parkir sebuah restoran cepat saji, mereka memutuskan untuk berbincang di dalam mobil. Lengkap dengan makanan yang dibeli Danny secara drive thru.

"Maaf, saya tidak tahu tempat yang aman untuk berbincang. Ditambah lagi saya belum makan siang."

Sebuah kejujuran yang membuat Nadira merasa terenyuh. Bagaimana tidak, seorang pria yang harus merawat kedua putra remajanya seorang diri, harus terlihat kuat dan tegar dihadapan kedua jagoannya itu. Nyatanya, dia sendiri terkadang abai dengan dirinya sendiri.

Menunggui Danny menghabiskan makan siangnya, Nadira berulang kali menebak apa kira-kira hal yang ingin di bicarakan oleh Daniel Sebastian.

"Terima kasih sudah mau menunggu." Danny mengelap mulutnya dan menyingkirkan kotak makan siangnya. "Apa keputusan komite sekolah?"

Nadira hanya bisa menatap orangtua wali muridnya itu. Kenapa tiba-tiba dia menanyakan hal itu padahal sepertinya dia tidak tahu tentang masalah itu.

"Maksud Anda?"

"Aku tidak tahu pasti masalah apa yang menimpamu, tapi setelah aku membaca grup kelas, aku menarik kesimpulan kalau ini ada hubungannya dengan kami. Aku , Ali dan Alex." ucap Danny panjang lebar.

"Ah, Anda sepertinya berlebihan. Ini hanya salah paham saja." terlihat jelas bahwa Nadira tidak ingin membuat keributan. Terlebih, dia tidak ingin orang lain terseret dalam masalahnya.

"Mungkin saya bisa membantu menjelaskan kepada komite sekolah."

Ucapan Danny membuat Nadira merasa tersentuh. Seminggu belakangan ini memang terasa berat baginya. Menutupi masalah pekerjaan sendirian dan menanggungnya seorang diri jelas bukan hal yang mudah. Tapi itu sudah menjadi pilihan Nadira. Dia tidak mau keluarganya ikut terbebani.

Dan sekarang, orang asing yang tidak dikenal Nadira secara personal datang dan menawarkan bantuan. Seketika saja hati Nadira terasa penuh dan mata yang mulai mengaburkan pandangannya.

Ya, air mata Nadira menetes begitu saja. Membasahi pipinya yang belakangan ini terlihat kusam dan kusut.

Nadira bisa melihat seorang Daniel Sebastian mengangkat tangannya dengan ragu, tapi tetap melakukan apa yang ingin dilakukannya. Menghapus air mata Nadira.

"Jangan bersedih. Kamu tahu kami selalu ada disini, disampingmu. Ali dan Alex menunggumu." ucap Danny lembut.

Ali dan Alex? Alistair dan Alexander Sebastian.

Untuk sesaat Nadira merasa seperti mendapat tamparan yang sangat keras. Rasa perihnya langsung terasa sampai ke hatinya. Kenapa dia terus saja bersedih seorang diri, padahal ada banyak orang yang sayang dan pasti akan selalu mendukungnya?

"Maaf, saya harus pulang."

Tanpa menunggu Danny, Nadira segera keluar dari mobil dan menghentikan taksi yang lewat didepannya. Tidak mempedulikan panggilan Danny kepadanya, Nadira terus meninggalkan Danny sendirian. Menjauh adalah langkah yang tepat saat ini.

***

Masih banyak pasang mata yang terus menatapnya ketika melihat Nadira berjalan. Ketika memutuskan untuk kembali ke sekolah, Nadira sudah memantapkan hatinya untuk bisa tegas kepada dirinya sendiri. Tegas untuk menolak dan tidak memiliki hubungan spesial kepada siapapun yang berhubungan dengan sekolah.

Termasuk memutus hubungan dengan si kembar yang sudah sangat disayanginya itu.

"Miss, maaf kalau kami terlalu ribut. Kami cuma ingin ngobrol dengan Miss Nadira." ucap Alex lirih.

Nadira terpaksa menemui kedua muridnya itu, karena mereka menghadang Nadira di ruang guru. Ingin menghindar, tapi jelas itu tidak bisa dilakukannya. Kalau menolak, itu terasa sangat menyakitkan. Tidak menuruti apa yang diminta oleh anak itu, padahal apa yang diminta bukan hal yang sulit.

"Maaf, Ibu sibuk. Mungkin lain waktu." Nadira berkata dengan tegas dan dingin.

"Kapan lain waktu itu?" tanya Ali, tak kalah dingin dari Nadira.

"Ibu sedang ada banyak pekerjaan. Kalian bisa berbincang dengan teman-teman kalian." tanpa menunggu balasan dari si kembar, Nadira langsung meninggalkan mereka.

Jauh di lubuk hati terdalam, Nadira merasa sakit. Sekarang, setelah berita itu beredar, banyak yang membatalkan menggunakan jasanya sebagai guru les tambahan. Jadi, setelah pulang dari sekolah, Nadira hanya akan berdiam diri di rumah. Mengurung diri lebih tepatnya.

Berulang kali Ali dan Alex mendatangi rumahnya, tapi Nadira tidak ingin menemui mereka. Hanya bisa mengintip dari balik tirai wajah lesu keduanya.

Dan semua ini rasanya semakin berat saja, karena berita mengenai dirinya tak kunjung mereda. Apalagi belakangan muncul foto dirinya tengah keluar dari mobil Daniel Sebastian. Tentu saja semakin menggemparkan sekolah.

Setiap malam Nadira berusaha memberikan afirmasi positif kepada dirinya sendiri. Bahwa dia bisa melalui masa sulit ini tanpa melibatkan keluarganya. Tapi semakin lama rasanya seperti dia menggenggam erat bom waktu. Yang bisa kapan saka meledak.

"Kenapa nggak bilang sama Mr. Sebastian aja? Minta tolong dia untuk menjelaskan ke komite sekolah." usul Ami, yang semakin khawatir melihat sahabatnya semakin terpuruk.

"Itu bisa jadi pembenaran kalau aku ada hubungan sama dia." tolak Nadira.

Sebenarnya Nadira pernah memikirkan hal ini. Meminta tolong Danny Sebastian untuk menjelaskan ke komite sekolah. Dengan begitu semua masalah bisa terselesaikan, dan nama baiknya kembali.

Tapi, siapa tahu dalamnya pemikiran seseorang kan? Mungkin akan ada yang menerima penjelasan itu, tapi ada juga yang akan melihatnya dari sudut pandang lain.

Ah, Nadira, belum apa-apa sudah berpikir negatif saja!

Situasi ini membuat semuanya semakin memburuk. Setiap hari akan ada orangtua wali murid yang memberinya surat keluhan. Pihak sekolah dengan bijak meminta Nadira untuk tidak mengajar sementara waktu. Dia sekarang dipindahkan ke bagian administrasi. Nyatanya itu tidak membantu sama sekali.

Jadi, pilihan terakhir hanya resign.

Meski berat, pada akhirnya Nadira tetap memilih hal itu. Dengan keluarnya dia dari sekolah, Nadira berharap situasi menjadi kondusif untuk kegiatan belajar mengajar.

"Terima kasih untuk sekolah ini yang sudah memberikan pengalaman yang berkesan untuk saya. Semoga sekolah ini menjadi sekolah yang maju dan terpercaya." ucap Nadira, ketika dia mengucapkan perpisahan.

Seperti dugaan, tidak ada yang terlihat sedih. Kalau mau berpikir positif, datang dan perginya rekan kerja itu adalah hal yang biasa. Jadi tidak perlu ada air mata yang sia-sia untuk perpisahan kali ini.

Eh, ada seorang. Amira yang sedari tadi berisik karena harus menyedot ingusnya agar tidak jatuh. Matanya sudah sembab karena terlalu banyak menangis

"Hei, kita masih bisa berteman kan? Jangan nangis dong." tanpa terasa, Nadira terbawa suasana dan menitikkan air mata.

"Selalu kirim pesan oke?" Ami langsung memeluk Nadira dan menangis sesenggukan. "Pamit gih sama mereka."

Tentu saja Nadira tidak bisa melupakan kedua murid tersayangnya. Ada rasa ragu yang menyelimuti hatinya ketika berjalan menuju kelas si kembar. Nadira sadar bahwa belakangan ini dia banyak membuat mereka kecewa. Apa masih pantas baginya untuk berpamitan?

Kelas tidak begitu ramai, karena sekarang adalah jam istirahat. Begitu masuk, Nadira tidak bisa membendung air matanya lagi. Tidak bisa mengelak, beberapa tahun dia mengajar di sekolah ini dan keluar masuk kelas yang sedang disambanginya itu membuatnya memiliki perasaan yang berbeda.

Kebetulan Ali dan Alex sedang duduk berdua dalam diam. Wajah mereka terlihat kurang bercahaya. Tiba-tiba saja Nadira rindu dengan binar mata keduanya.

"Kalian nggak makan siang?" Nadira menyapa mereka.

Keduanya mendongakkan kepala dan memberikan ekspresi yang berbeda. Ali dengan wajah datar dan dinginnya. Persis seperti ketika anak itu masuk sekolah untuk pertama kalinya. Berbeda dengan Alex yang konsisten dengan wajah cerianya.

"Miss Nadira." sambul Alex semangat.

"Kalian nanti setelah pulang sekolah ada acara? Ibu ingin mengajak kalian makan bersama." Nadira berusaha memasang wajah seceria mungkin.

"Kami sibuk." jawab Ali dingin.

Nadira bisa melihat Alex yang menyikut kakaknya itu.

"Ya udah kalau nggak bisa. Maaf menganggu waktu kalian." meski sedih, tapi Nadira berusaha menerima semuanya dengan lapang dada.

Tanpa mengucapkan sesuatu, Nadira langsung meninggalkan mereka. Padahal niat awalnya ingin berpamitan, tapi ternyata gagal.

Mungkin memang ini yang terbaik untuk mereka. Lebih baik berpisah dengan cara buruk ini, agar tidak ada yang merasa dirugikan.

avataravatar
Next chapter