14 Satu malam bersama suami sementara

Setelah malam kedua yang menyesakkan, bahkan terus menjadi kenangan buruk dalam hidupku. Harapan untuk menggapai cita-cita menjadi artis terkenal pun gagal. Apa lagi aku sudah tidak bekerja di hotel bintang lima.

Walau berstatus pekerja, tetapi masa mudaku terjaga, bebas, tidak ada kehendak yang memaksaku. Justru hidupku lebih leluasa untuk melakukan banyak hal.

Sayangnya, sekarang tinggal kenangan. Aku hanya terbaring tanpa sehelai kain di atas tempat tidurku yang sekarang. Dulu, kamar pribadiku begitu sempit tapi nyaman. Dulu, aku punya catatan khusus harian, setiap hari aku selalu menulis cerita dari pengalaman.

Nah, menulis adalah hobiku mengisi waktu senggang ketika jenuh. Aku selalu mengukir setiap kertas dan beberapa lembar di platform online. Tangan dan otakku seakan seragam dengan tindakanku. Ini terjadi secara kebetulan.

Aku sedikit pemalu, tetapi aku memiliki impian untuk menjadi seorang artis. Aneh bukan?

"Eh, lo nggak mau mandi? Kalo nggak mau mandi, tidur gih!" ketus Jose yang sudah diselimuti dengan piyamanya. Dia mematikan lampu kamar lalu menyisakan lampu tidur di atas meja samping bed kami.

Aku yang masih terbaring menatap wajahnya dengan geram. Jose malah terbaring dan menarik selimut dari tubuhku dengan paksa.

"Ngapain diem mulu? Tidur atau mandi gih!" Jose memiringkan tubuhnya, merampas selimut dari tubuhku dalam keadaan bugil.

Aku terpaksa beranjak, lalu meraba sesuatu dari sana. Tak sengaja mataku mendapati handuk baju yang sudah dia taruh di atas gagang kursi. Kepalaku jadi terpengah saat mendapati handuk yang sudah disediakannya.

Kepalaku sontak menoleh ke arah Jose yang mungkin sudah terpejam. Tapi aku tidak bergumam untuk menyapanya.

"Udah, mandi sono." Jose memerintah kecil sambil memejamkan matanya.

Aku terkinjat dan langsung cekatan meraih handuk baju yang lembut lalu menutupi tubuhku yang langsing. Kulit ivoryku sudah tidak terbias oleh cahaya karena kegelapan sontak menyertaiku. Karena gelap, aku jadi meraba ruangan.

Kesal, akhirnya aku menekan lampu untuk menerangi ruangan.

Sontak Jose terkejut dan menatap diriku yang menyalakan lampu kamar dengan begitu terang.

"Eh, ngapain lo nyalain?! Silau tau! Gue nggak bisa tidur kalo terang kayak gini," kesalnya. Jose menyeringai dengan bibir begitu miring dan panjang.

Aku tidak menghiraukan suara berisiknya lagi dan malah berjalan menuju ke kamar mandi dalam satu ruangan kamar.

"Eh, nih anak malah ngeyel!" dengusnya memang sedikit kesal.

Tapi Jose tidak juga berangkat untuk mematikan lampu. Aku perlahan mengintip dari dinding perbatasan kamar mandi dengan kamar tidur. Jose malah menutupi kepalanya dengan bantal karena terang.

"Syukurin!" ringisku bernada pelan. Aku bahkan tidak mengeluarkan suara sama sekali. Tapi tubuhku membungkuk dan sigap mengawasinya.

Dengan handuk baju, aku memasuki kamar mandi dan membersihkan tubuhku yang kotor. Anehnya, aku merasakan keanehan yang lebih baik.

Aku lebih menyukai tindakan Jose dari sebuah bayangan itu, walau sebenarnya aku sangat membencinya. Namun, ingatan itu perdana mengusikku lagi. Apakah ini pertanda baik bagiku? Atau sekadar hal buruk akan terjadi dan terulang kembali. Walau mandi dengan air dingin dari guyuran shower menetes, tak banyak aku menyenanginya.

Aku menutup kembali tubuhku dengan handuk baju yang sudah digantung dekat dinding kamar mandi. Keluar dan mencari sisi hairdryer, aku penasaran, dan akhirnya bertanya.

"Jose," panggilku pelan.

Tapi Jose tidak juga menyalang, kepalanya masih ditutupi oleh bantal.

"Jose, lo nggak nyediain hairdryer ya?!" tanyaku spontan. Bersuara nada cepat, lantang, bahkan keras. "Dari tadi sore nggak nemu." Berdiri untuk menunggu jawabannya.

Jose mencelang, mengangkat kepalanya hingga memutar ke arahku. "Lah, e lo ya. Gue baru aja mau tidur." Jose berpindah dari posisi tidurannya lalu beranjak.

Kaki dan tangannya mengitariku sambil menyipitkan mata memanjang. Tangannya menarik salah satu laci bupet putih yang memanjang berdempetan dengan dinding kamar. Tepat di sisi depan tempat tidur kami berdua.

Lalu dia menemukan apa yang aku inginkan. Tangannya mengacung tinggi benda aku yang harapkan.

"Puas?!" Matanya melebar, seperti tatapan burung hantu di tengah malam.

Tanganku langsung merampas benda pengering rambut dari tangannya. Dengan cekatan, aku segera mencolok kabel ke area terminal yang berada di dinding lebih tinggi. Suara itu sedikit mengganggu, tetapi aku terus melakukannya.

Hingga Jose harus duduk untuk menunggu pekerjaanku selesai. Tanganku masih saja kurang puas untuk mengeringkan rambut yang basah.

Kenapa begitu? Rambut yang panjang membutuhkan proses ekstra, sekaligus melakukannya dengan penuh hati-hati.

Suasana malam menjadi sangat sunyi, ketika hairdryer telah kumatikan. Mataku memperhatikan benda yang memiliki moncong bulat ke depan. Bentuk yang mirip dengan pistol tapi gemuk, memiliki warna gelap hitam legam.

Aku menarik kabel secara pelan, lalu menaruhnya di atas bupet. Rambutku sudah terasa kering dan hangat. Kakiku mendekati lemari yang tinggi dan lebar, hanya sekali geser saja pintu ini terbuka dan memperlihatkan tumpukan baju.

Aku tidak terheran lagi karena Jose yang merapikannya semua. Kepalaku memutar ke arah pria dingin aneh ini. Walau kejutekannya menyerobot, tetapi dia sangat perapi, dan sedikit mulai perhatian.

"Kenapa? Lo heran kan nyari baju?" Jose memiringkan kepalanya, lalu merobohkan tubuhnya di atas kasur.

Dia menatapku sambil melengkungkan dua tangan di belakang kepala. Seolah-olah memperhatikanku dengan sepenuhnya.

Aku harus berbalik kembali menatap kerapian yang dia susun dalam lemari. Ada yang menggantung, dilipat, dan juga digulung. Dari cara dia melakukannya, dia pasti hidup mandiri dan teliti.

'Ih, apaan sih? Suka kali dipuji. Ogah dah muji dia!'

Gerutuku sambil menjolorkan ujung bibir dengan cibiran kecil dalam hati.

Aku memilih baju tidur, tapi tidak ada piyama di sana. Mataku membuntang lebar ketika dia hanya menyediakan baju tidur seksi mini. Warnanya pun begitu menggoda, pink muda; ungu muda; biru muda; dan cokelat muda.

"JOSE!!"

Teriakanku menghamburkan dua tangan ikut terangkat. Wajahku berubah total dengan bibir yang menggeliat geram. Jari jemariku rasanya ingin mencengkeram wajah Jose dari jauh. Singa betina akan marah.

Tapi Jose malah tersenyum miring, "Eh, kenapa? Pake aja bajunya. Kan cocok buat lo. Tunggu! Lo kok jadi mirip kayak singa betina, hahaha." Dia malah terkekeh seru, hingga menjatuhkan kembali kepalanya.

Aku harus meraih salah satu dari baju tidur yang menggantung. Baju tidur seksi mini, sehelai bikini atas dengan lapisan di luar begitu tipis dan transparan. "Gue nggak suka baju beginian. Gue mau piyama," kelitku dengan raut gelisah.

"Ah, bodohlah! Lagian bukannya terima kasih malah ngelunjak." Jose memiringkan tubuhnya, dia berpura-pura untuk melanjutkan tidur lagi.

Dengan mendengus kesal, aku akhirnya mengenakan apa yang diinginkannya. Baju tidur seksi mini, dengan lapisan kain di luar begitu tipis dan halus. Malu-malu aku berjalan, karena begitu terlihat paha ivoryku yang mulus, dengan belahan dada sedikit menganga. Tanganku malah kikuk menutupi buah dada agar tidak kelihatan, padahal dia juga sudah melihatnya.

Geliku tak habis pikir. Biar kata aku orang yang tergolong bebas saat berpakaian, tetapi kalau tidur menggunakan piyama lebih terasa nyaman.

"Ih, ngeselin banget. Dasar cowok kurang ajar!" dengusku kesal. Ketika aku terbaring dan menutupinya dengan selimut tebal.

"Lo nyebutin gue apa barusan, hah??" Jose seketika menoleh, telinganya respon mendengar ucapanku yang sedikit kecil.

Aku malah berpaling dan tidak menatap wajahnya. "Nggak kenapa-napa kok!" Aku kesal dan menutupi kedua kelopak mataku dengan paksa. Rasanya malam ini terasa benar-benar sempit dan tidak bebas.

Aku harus terpejam bersama pria yang baru menikah denganku. Dengan pria asing tak kukenal, tepat di sampingku. Resah.

"Eh, gue mau bilang ke elu. Lo hanya boleh pake beginiian hanya di depan gue, bukan di depan orang lain, ngerti!" Kepalanya muncul dari balik bahuku, sambil mengancam mengacungkan jemari telunjuk hingga jatuh lagi ke posisinya berada.

avataravatar
Next chapter