4 Baru mau sadar??

Kepalaku menoleh di antara dua pria yang mengapit langkah. Mereka di sana menghampiri diriku. Rekanku, yang terdiri dari dua orang wanita dan satu orang pria. Aku terkesima kalau mereka mengetahuiku walau hanya ditutupi oleh kacamata.

Secara perlahan, aku membuka kacamatanya. Menatap rekanku yang banci dan dua wanita di hadapanku.

"Fito??" Kepalaku miring menatap pria yang agak berbeda ini.

"Hmm … ini." Fito Jolian menjulurkan sebuah kotak dilapisi oleh kertas kado polos berwarna putih kemerahan muda. Dililit dengan pita berwarna merah di sudut kotak tersebut yang terkesan anggun dan menawan.

"Apa ni?"

"Ini buat lo lah Cha. Selamat ya! Orang lain nggak bakalan tau kok. Cuma kita bertiga yang tau." Balasan dari Fito melebarkan senyumannya.

Tanganku segera meraih kotak tersebut, sambil terenyuh dengan sentuhan pemberian mereka.

"Nona, ayo cepat kita harus pergi dari sini!" tegur dari salah pria di dekatku.

"Maaf ya, gue harus pergi. Gue pasti bakalan rindu sama kalian. Kita bakal ketemu lagi, bye!" Mataku mengedip lesu dan sendu. Kakiku ikut perintah dari dua pria di dekatku yang sudah lebih dulu melangkah.

Tapi kepalaku masih menoleh ke arah mereka, melambai sambil bergumam terima kasih pada semua rekanku. Rekan-rekanku itu membalas ucapan dengan sebuah lambaian tanpa perpisahan. Di sana, pintu mobil sudah membuka dengan lebar. HR-V berwarna silver muda akan mengantarkan kami pulang.

Aku tidak lagi melihat orang yang sedang menunggu kepulanganku di depan pintu utama. Kepulanganku ditemani oleh dua pria dan satu supir yang sudah siap melaju.

Kami melewati gedung yang tinggi, tempat kubekerja kini menjadi kenangan. Nasib baik menghampiriku hanya dalam satu malam saja.

Perkotaan yang dipenuhi dengan kepadatan penduduk tampak riuh. Di sini, kami sudah melewati keramaian yang memuncak. Kota yang sangat menyesakkan batin.

Akhirnya, kami sampai pada gang perumahan yang ada di ujung pusat kota. Perumahan minimalis dengan gerbang utama yang berkesan nyaman. Taman kecil ada di depan pintu rumah.

Jalan Cempaka putih nomor 215.

Tiba di depan gerbang, kedua pria itu memasuki halaman yang tidak seberapa luas. Rumput hijau yang tampak rapi dengan tanaman hias asri. Mereka membuka pintu, lalu menatapku.

"Nona Ocha, selama kau tinggal di sini. Kau bisa menghubungi kami untuk sementara waktu. Karena tuan Jose tinggal di Jakut, maka dia jarang kembali ke sini. Jadi, kami bertanggung jawab untuk menjagamu." Pria berkumis menjelaskan.

"Ini hp baru yang sudah diisi dengan nomor baru bisa dihubungi tuan Jose. Kau hanya perlu menjalani hidup tanpa mengenal kerabat dekat mau pun teman dekat," timpal pria yang wajahnya seusiaku.

"Hah? Jadi hp gue ini gimana? Kok main rampas gitu aja?!" resahku ketika mereka meraih ponsel pintarku dengan menggantikannya yang baru.

"Ini demi kenyamanan dan keamanan nona. Jika kau menolak, maka kau akan mendapatkan hukuman karena melanggar perjanjian yang ada." Pria berkumis menjulurkan dokumen yang sudah aku tanda tangani. Dia mengukuhkan segalanya untuk kusadari.

Konyol!

Dokumen sudah kupegang di tangan, sekilas perjanjian tertulis di sana.

Perjanjian pertama, pihak pertama dan kedua harus menaati hubungan baik suami-istri. Menciptakan keharmonisan rumah tangga demi tujuan tertentu.

Perjanjian kedua, pihak kedua sebagai istri menjadi tanggung jawah pihak pertama suami. Pihak kedua tidak boleh keluar tanpa seizin pihak pertama suami.

'Napa kok jadi ribet begini sih? Kok mereka ngedesak gue buat ganti hp ini, sedangkan hp gue ditukar sama yang ini. Nggak adil!'

Gelisahku dalam hati sambil menatap ponselku yang sudah di tangan.

"Kami permisi," pamit keduanya.

"Eh tunggu!" cegahku mendorong salah satu tangan yang sudah memegang ponsel pintar ini.

Dua pria itu langsung berbalik untuk menatapku lagi. "Ada apa, Nona?" tanya pria berkumis.

"Nomor temen-temen gue, nyokap ma bokap, sepupu, dan lainnya. Gue mohon, pinjam sebentar ponsel gue! Gue mohon!" Tanganku merapat sedang memelas.

"Terus nama kalian siapa aja nih? Masa gue nggak tau nama lu bedua, sedangkan gue dianggurin di sini sendirian. Nggak jelas juga kalau tiba-tiba Jose ngilang gitu aja." Keluhanku membuat mereka berpikir sesaat.

Pria berkumis langsung angkat bicara. "Panggil saya Yoanto, dan dia Agam Clovis. Untuk sementara waktu, hp ini kami simpan. Sebelum keputusan tuan Jose datang!" Jemarinya menunjuk ke arah pria yang sekilas seumuran sepertiku.

"Kalo boleh tahu, berapa umur lo?" tanyaku sok dekat.

"Saya?" telunjuk Agam seakan menjawab.

"27 tahun," ungkapnya.

Aku meranggul, "Oh … Cuma beda satu tahun dari gue."

"Baiklah, jika berkenan meminta bantuan jangan sungkan menghubungi kami," pungkas Yoanto. Kepalanya merunduk dan memberi pamit untuk kembali.

"Sok formal!" dengusku mengecilkan suara. Mataku sedikit sinis.

Aku termangu menatap kepergian dua pria pengawal yang seolah-olah mimpi dalam dunia nyata. Mereka pergi bersama mobil HR-V yang terkesan elegan. Akhirnya mereka berlalu dari depan halaman rumah berpagar ini.

Kepalaku berbalik menatap pintu yang sudah terbuka untukku. Di dalam rumah tampak sepi, aku menyeret koper yang sudah berisi banyak baju. Ruangan yang cukup luas dengan bangunan bertingkat.

Tinggal sendiri cukup mengerikan, aku sudah seperti Rapunzel yang dikurung dalam bangunan tinggi. Kepalaku terus memutar dan memperhatikan dinding elegan dengan cat krim dan cokelat tua tampak serasi.

Sofa panjang dan empuk sejajar dengan meja persegi panjang, kemudian rak kaca bening berdiri tegak di tengahnya. Kemudian dua anak tangga menuju dapur minimalis. Hanya ada sekat antara dinding menuju ruang tengah, ruang tamu, dengan dapur.

"Ini nyaman banget ya?! Tapi kok tiba-tiba gue ngerasa sedih? Gue ngerasa nggak nyaman banget!"

Aku mengelilingi ruangan yang membuatku asing. Tanganku melepas koper di tengah ruangan, sedangkan mataku berhenti pada sisi tangga tinggi menuju lantai dua. Di sebelah kiri, tepat di dinding ruangan.

"Kamar gue ada di atas," tunjukku.

"Eh!" Kepalaku berbalik menatap pintu terbuka dan belum aku tutup.

Langkahku menuju ambang pintu, melihat situasi di sana begitu sepi dan sunyi. Tanganku perlahan menutupi pintu, rasanya sempat mual karena aku harus menerima dengan tulus yang tercoret di atas kertas.

"Gue ngerasa bodoh, gue kok jadi cewek murahan amat?!"

Dalam seketika napasku runtuh, jemariku turun dan sedikit melemah. Kakiku mundur hingga ke depan pintu utama yang sudah ditutup. Tiba-tiba saja kedua tanganku memeluk bahu, lalu menurunkan tubuhku di depan pintu. Aku jatuh, geloyor karena sesuatu menjadi beban pikiranku.

"Gue kok bodoh, ya?! Gue nggak bisa nolak, nggak bisa ngeberontak. Papa udah jahat!" Aku marah, marah seorang diri setelah semua terjadi. Untuk apa aku marah? Nasi telah menjadi bubur, bunga yang layu tidak akan kembali mekar.

Ini seperti kuntum bunga yang memudar. Suaraku terisak tangis, air mataku mengguyur pipi terpanggil dari hati, aku menggeser lututku menjadi lurus. Kakiku merasa lemah dan tidak berdaya. Tubuhku membalik dan menyender di sisi pintu, air mataku terus turun tanpa adanya perintah.

"Gue bodoh! Gue bodoh!" celaku. Kedua tanganku memeluk erat bahu, kemudian kedua tanganku merangkak cepat ke arah kepalaku.

Aku meremas rambutku yang lurus, hingga kedua lutut menekuk. Rasanya sakit sekali, rasanya aku tidak ingin beranjak.

Aku terus terisak tangis yang memilukan. "Haaa …."

"Gue nggak suka! Papa, papa orang jahat! Tega banget papa ngirim orang kaya yang buat putrinya di rumah orang asing ini. Aaahhh!!!"

Teriakanku memekik ruangan kosong, suara yang kuhasilkan jadi gema menyelimuti dinding bangunan. Karena sepi, suaraku jadi riuh dan kacau.

"Ahhhhh!!!"

Kedua tanganku hendak merobek pipiku, lalu menjambak rambutku berkali-kali. Dan akhirnya hidupku terusik oleh kejadian tak masuk akal ini.

"Gue mau mati, gue rasanya mau mati."

Bagaimana dengan cerita selanjutnya?

Klik terus yuk!

Dukung ceritaku ya, Kawan!

Jangan baca apa lagi taruh ke rak!

Anda suka berarti menambahkan ke rak. Saya tunggu review dari semuanya ya.

Tak kenal maka tak sayang, kayak cerita di atas.

Jangan lupa kirim batu kuasa setiap hari. Ini wajib!

avataravatar
Next chapter