webnovel

Bab III [Jeno]

________________

Waktu menunjukkan pukul delapan malam. Jeno dengan hoodie putih memasuki sebuah mini market kecil tak jauh dari tempat tinggalnya.

Selang waktu beberapa saat, ia keluar dengan minuman kaleng di tangan kanan, juga pada kantung plastik di tangan kiri. Ia baru saja kembali dari rumah teman dan akan segera pulang ke rumah.

"Oy, Cacing Penakut!"

Lelaki bersuara unik menghentikan langkah Jeno. Ia berbalik saat selesai meneguk isi minuman kaleng di tangannya.

Wajah Jeno seketika menjadi tegang agak takut saat mengenali sosok lelaki yang sedang berjalan menghampirinya.

Lee Haechan. Teman sekelas Jeno yang terkenal dengan sikap keras dan suka memerintah. Merasa diri paling berkuasa dan disegani oleh banyak adik kelas, dikarenakan kasta tinggi yang diduduki oleh kedua orang tuanya. Ia merupakan salah satu anak dari donatur sekolah yang paling berpengaruh. Posisi itu pun disalahgunakan oleh lelaki berkulit eksotis tersebut.

Jisung yang sejak tadi mengikuti Haechan dari belakang pun segera merebut kantung plastik yang berisikan beberapa kaleng minuman dari tangan Jeno.

Niat ingin memberikan minuman itu kepada sang kakak pun diurungkan setelah melihat Haechan mengambil satu lalu meminum isinya.

"Itu untuk kakakku," kata Jeno dengan wajah datar.

Ia kesal, tetapi tak mampu berbuat apa pun saat ini. Jika mengingat bagaimana berkuasanya seorang Haechan yang mampu melakukan apa saja.

"Sungguh?" Haechan kembali meneguk isi minuman kaleng tanpa mengalihkan pandangan meremehkannya dari Jeno. "So, apa peduliku?"

Haechan menyinggungkan senyum yang tampak begitu menyebalkan.

Jeno melupakan sedikit rasa takutnya terhadap Haechan dan mulai memberikan ceramah untuk lelaki yang bahkan tak mendengarkannya berbicara saat ini.

Sedari tadi, Haechan hanya membuang muka saat Jeno mengingatkan lelaki itu tentang posisinya sebagai putra keluarga kaya yang bahkan bisa membeli semua isi kulkas di dalam mini market sana. Daripada seenaknya merampas minuman orang lain tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Omongan Jeno dianggap angin lalu. Haechan memperpendek jarak, menyentuh bahu lelaki bersurai hitam legam itu sambil sesekali menyingkirkan debu dari sana.

Ia mengembalikan semua ucapan Jeno. Memperingatkan kepada lelaki itu tentang batas kasta yang harus dimengerti. Bahwasanya, uanglah yang berkuasa. Mereka yang memiliki kasta rendah tak pantas mencerca si kaya hanya karena seenaknya diperlakukan. Itu sudah tradisi mutlak, tak bisa terbantahkan.

Peringatan keras terhadap kendali penuh yang Haechan miliki juga bisa membuat Jeno dikeluarkan dari sekolah, jika Haechan menghendakinya. Kejam, tetapi inilah siklus kehidupan berat bagi si miskin jika berada dalam lingkup permainan si kaya.

"Satu lagi, ternyata didikan orang tuamu lebih buruk dari status ekonomimu yang menjijikkan itu."

Kalimat terakhir yang diucapkan Haechan membuat Jeno naik pitam, hingga tanpa sadar mendaratkan satu bogem pada wajah lelaki itu. Menyebabkannya jatuh terpelanting. "Jangan menghina orang tuaku. Bahkan, anjing jalanan pun lebih mulia darimu."

Haechan kesal. Ia bangkit sambil memegangi wajahnya yang terasa perih, lalu membalas pukulan Jeno.

Terjadilah adu jotos di antara keduanya. Sementara Jisung hanya berdiri diam, memasang wajah malas kemudian membuang muka, tanpa berniat melerai perkelahian kedua teman sekelasnya itu.

Jeno menarik Haechan berdiri dan berniat memukul wajah lelaki itu lagi. Akan tetapi, seseorang menahan lengannya dari arah belakang. Ia menoleh, mendapati sang kakak yang tiba-tiba menarik telinganya hingga menimbulkan rasa sakit luar biasa.

Jeno yang sudah dipenuhi luka lebam di wajah itu terus meronta-ronta meminta dilepaskan. Berteriak kesakitan hingga Doyoung menyingkirkan tangannya beberapa menit kemudian.

Rasanya lega. Belum hilang perih akibat pukulan Haechan, ia juga harus tersiksa dengan rasa sakit akibat jeweran sang kakak.

"Bukannya pulang, malah berkelahi di sini. Jika ingin adu kekuatan, di ring tinju sana, bukan di sini!"

Doyoung melirik Haechan dan Jeno secara bergantian. Kedua lelaki remaja itu diam dan saling membuang muka satu sama lain.

Jeno akhirnya meninggalkan tempat setelah ditarik oleh Doyoung untuk ikut pulang bersama.

.

Setiba di rumah, tidak ada yang berusaha untuk membuka percakapan. Jeno langsung mendaratkan tubuh pada sofa. Sesekali meringis akibat rasa perih di wajah.

Doyoung melenggang masuk ke dapur dan kembali beberapa saat kemudian dengan kotak obat, es batu dalam wadah mangkuk bening berukuran besar, serta handuk kecil. Guna mengompres memar di wajah Jeno untuk menghilangkan rasa sakit.

Tak ada sepatah kata pun terucap dari Doyoung kala mulai menempel es batu yang dilapisi handuk ke wajah Jeno, sementara sang empunya hanya menunduk dan sesekali melirik kakaknya karena merasa bersalah atas perkelahian tadi.

Doyoung memang seperti ini jika suasana hatinya sedang buruk. Jeno tahu, jika sang kakak masih dalam kondisi berkabung perihal Renjun. Rencananya, minuman kaleng tadi untuk mengajak Doyoung minum bersama. Walau itu bukan alkohol seperti yang kakaknya sering nikmati di luar saat melepas penat, tetapi kebersamaan hangat tentu bisa memperbaiki suasana hati mereka.

"Dia yang memulai."

Walau Doyoung hanya terdiam, tetapi Jeno tahu jika kakaknya sedang marah saat ini. Maka dari itu, ia mencoba untuk membela diri dan memang demikianlah kenyataannya. Haechan yang memulai pertengkaran lebih dulu.

"Haechan yang me–"

"Aku lihat dan dengar semuanya. Jadi, tidak perlu menjelaskan," kata Doyoung sambil menyerahkan handuk kepada Jeno, sementara dirinya beralih membuka kotak obat.

Kedua kakak-beradik itu memang sangat sensitif jika menyangkut orang tua. Ibu meninggal karena sakit, sementara ayah pergi dengan istri barunya dan tak pernah memperdulikan mereka. Doyoung telah hidup berdua dengan Jeno sejak detektif muda itu berusia tujuh belas tahun.

Membesarkan Jeno yang kala itu masih sepuluh tahun seorang diri cukup menguras tenaga. Fokus pada sekolah dan pekerjaan paruh waktu secara bersamaan itu tidak mudah. Namun, ia berhasil melakukannya.

"Namanya Lee Haechan, sikapnya sama seperti Hana. Mereka merupakan monster sekolah."

Selanjutnya, Jeno terus bercerita banyak tentang situasi di sekolah. Haechan yang sok berkuasa, sementara Hana yang seenaknya kepada murid-murid lain.

Tindakan bullying memang kerap terjadi di kalangan remaja seperti Jeno. 80 persen terjadi di sekolah-sekolah menengah, sementara dua puluh persennya kerap kali ditemukan dalam bentuk unggahan sosial media di mana sering kali disebut sebagai 'Ketikan Pembunuh'.

Doyoung jadi memikirkan perihal kasus dialami Hana yang mana dari penjelasan Jeno merupakan pelaku utama bullying di sekolah. Banyak spekulasi bermunculan tentang gadis itu. Juga terhadap pelaku penganiayaan. Mungkin saja pelaku merupakan seseorang yang memiliki dendam pribadi kepada Hana atas sikap tak terpujinya itu.

Lingkungan pertemanan dan asmara tentu saja masuk dalam kategori yang patut untuk dicurigai. Tak terkecuali Haechan. Walau mereka satu kelompok, dalam hati lelaki itu tidak ada yang tahu bukan?

Sempat terbesit dalam benak Doyoung untuk tak melibatkan Jeno dalam kasus Hana, pun akhirnya mulai menginterogasi sang adik dengan pertanyaan-pertanyaan seputar lingkup pertemanan korban.

Rupanya, orang tua Hana juga merupakan salah satu donatur terbesar pada sekolah Jeno–Gungdong High School–sama seperti Haechan. Ia merasa maklum dengan sikap berkuasa keduanya.

Setelah selesai mengobati luka di wajah Jeno, Doyoung beranjak ke kamar untuk mengambil laptop serta flashdisk pemberian Renjun dan memperlihatkan rekaman CCTV kepada Jeno.

Sepasang mata sipit lelaki remaja itu fokus pada layar, mengamati dengan baik gestur tubuh lelaki dengan hoodie putih yang menutupi kepala. Ada sekelebat bayangan yang terlintas dalam kepala Jeno, tetapi dirinya tak ingin disebut menuduh jika saja orang yang ia pikirkan tak terbukti bersalah.

Di tengah keseriusan mereka, suara bel membuat suasana seketika hening saat keduanya menatap ke arah yang sama.