webnovel

25. Chapter 25: Memendam Rasa

Terima kasih banyak kalian sudah datang dan mendoakan yang terbaik untuk Ale dan Lynn." Ungkap Mama sangat senang dengan kehadiran Bu Dewanti dan anaknya, Hana. "Maaf, ya, kita nggak bisa undang, karena acara lamaran memang hanya keluarga inti saja yang menghadiri."

"Aku juga ngerti, Mbak. Acara lamaran memang sangat sakral." balas Dewanti sembari terus membubuhi gula di atas senyumannya. Sementara Hana hanya tersenyum tipis. Bibirnya rekat sekali.

Hana masih ingat betul wajah Lynn yang baginya sangat menyebalkan. Polos dan tak sepadan jika dijadikan pendamping keluarga terpandang seperti Ale.

"Tante.." Hana mengambil suara, "Apa Ale dan calonnya itu udah kenal sejak lama? Kok kayanya mereka cukup serasi."

Alih-alih langsung menjawab, Mama Maryam tergelak. Tawanya sangat khas, "Mereka bukan hanya cukup serasi. Tapi sangat serasi. Jodoh memang misteri, siapa sangka kalau perempuan incaran Ale itu emang Lynn!"

Bu Dewanti tertawa heboh seolah masuk ke dalam obrolan tersebut sambil menutup mulutnya agar tetap anggun, "Kayanya Ale tipe-tipe setia, ya, Mbak."

Hana sempat memandangi sang Ibu yang justru melebur dalam suasana sambil menahan dadanya yang sudah naik turun penuh emosi. Hampir saja mencuat, alih-alih memberikan pembelaan atau penghiburan untuknya yang patah.

Mama mengangguk antusias, "Pantesan. Setiap kali aku kenalin sama perempuan-perempuan, dia nggak niat. Ternyata emang sosok Lynn itu masih abadi." Wanita berhijab yang masih menawan di usia tua itu seolah terbawa suasana, "Jadi gini analoginya..."

Bu Dewanti seolah semangat menanti kelanjutan kalimatnya.

Mama mendekat ke arah pintu, "Anggap aja nih ruang tamu 'hati', nah... selama ini Lynn itu ada di tengah-tengah. Antara pintu ama taman luar. Logikanya kalau Lynn di tengah-tengah pintu, orang lain nggak bisa masuk, kan?"

Mama memberikan pertanyaan retorika yang disambut anggukan paham Bu Dewantii.

"Yah.. pokoknya analoginya gitu, deh." Mama kembali duduk ke atas sofa, "Alhamdulillahnya, takdir mempertemukan mereka lagi."

"Kayanya cewek itu.. " kalimat Hana terputus seketika saat Sang Ibu menginjak satu kakinya. "oh, maksud aku.. calonnya Al—"

"Lynn! Namanya Lynn! L-Y-N-N" tegas Mama.

"A-ah~" Hana sempat melirik mata Bu Dewanti yang sedang melotot, "Kayanya Lynn emang menantu idaman Tante, ya?" pancingnya. Hanya igin memastikan.

"Uhmm..." Mama Maryam memandangi langit-langit sambil membayangkan sesuatu, "Tante nggak pernah punya bayangan menantu idaman, sih. Karena kita semua manusia yang nggak sempurna. Yang penting dasarnya anak baik dan sayang keluarga. Jadi, sama aja."

Mama kembali menatap tetamunya, "Tapi, ketika melihat anak kandung Tante satu-satunya begitu bahagia dengan pilihannya, entah kenapa Tante ikut senang. Apalagi saat lamaran kemarin, Ale tampak sangat tulus. Dia hanya mencintai semua keunikan dan kesederhanaan Lynn yang ternyata sudah memperngaruhi hidupnya menjadi lebih baik. Bahkan Tante baru tau."

Mendengar penuturan itu, hati Hana semakin tercabik-cabik. Rupanya Ale yang diinginkannya sejak lama justru mengincar perempuan lain sejak lama pula. Ini bukan sekedar patah hati biasa.

"Wah!" Hana pura-pura takjub, "Padahal dia belum lama kenal. Bahkan Aku yang selalu barengan sama Ale, nggak bisa mempengaruhi hidupnya untuk lebih baik."

"Dalam hidup, semesta kerap menghadirkan berbagai macam orang di sekitar kita. Ada yang berakhir sebagai pasangan, bahkan musuh dan juga teman baik seperti kamu, Hana. Ale dan Lynn sendiri udah cukup lama kenal, walaupun tidak selama kamu." Kata Mama tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya, "Sejak SMA."

Hana mengedipkan matanya berulang kali. Bulu mata tambahannya yang tebal dan lentik itu turut bergetar saking terkejutnya, "S-SMA?"

"Iya."

Bu Dewanti mengerjap, "Kamu kan satu sekolah juga sama Ale."

"Oh, iya!" Mama Maryam baru ingat. "Kamu nggak pernah ketemu sama Lynn?"

Perempuan berhijab yang selalu berpenampilan mewah itu menyipitkan mata. menekuri lantai sembari mengingat-ingat memori lama.

***

"Assalamualaikum, Pa."

Ale masih mengenakan setelan jas setelah rapat serta kaca mata hitam dan meletakkan satu bucket bunga di atas pemakaman.

"Ale datang lagi. Tapi nggak sendiri." Ale menoleh ke arah gadis yang jauh lebih pendek di sampingnya. "Kita nggak tau apa yang sedang terjadi di alam sana. Apa Papa dengar atau enggak.. lo boleh memperkenalkan diri." Lalu memposisikan dirinya setengah duduk.

"Assalamualaikum, Om." Lynn turut berjongkok di samping Ale, "A-aku nggak tau harus manggil Om atau Papa.."

Kalimat itu menyita perhatian Ale. Dari balik kaca mata hitamnya, pria itu menatap Lynn risau. Merasakan sesuatu yang cukup menyayat.

"—yang jelas Saya akan mendampingi Ale selama setahun. Menjadi anak Papa setahun pula." Sambung Lynn, lalu terkekeh, "Lucu, ya, Pa? Aku juga nggak tau kenapa hanya setahun. Aku juga nggak tau kenapa seperti ini? kenapa aku menerimanya juga. Jadi, saya akan menjadi anak Papa yang baik selama itu."

Dan dibalik kaca mata hitam gelap, Ale sedang menahan air matanya agar tak menetes. Membiarkannya tersangkut di pelupuk mata. Pikiran dan hatinya berjalan tak selaras. Semua tak berarah. Kemudian menatap Lynn lagi dan makam Papa secara bergantian. Itu semakin membuat hatinya sakit tak berdarah.

Tragedi dan Ironi terus-terusan menyerang pria rupawan itu secara bertubi.

Jemari Lynn yang lentik terlihat putih disorot matahari sore yang menelusup di antara rimbun daun-daun kamboja. Dengan lembut, ia mengusap nissan milik Rion Ardi Muhammad—Ayah Ale. Kemudian menaburi bunga-bunga di atasnya.

"Pasti Papa bangga banget punya anak hebat kaya Ale." tutur Lynn sempat membuat Ale tersentuh.

"Sekarang kita doakan Papa." tambah Ale.

Pria itu bahkan memimpin doa dengan sangat khusyu menggunakan bahasa Arab yang seketika membuat Lynn takjub. Sebagai orang awam, Lynn melihat sosok Ale yang merupakan anak orang kaya raya di Ibu Kota, tapi dia sangat memahami agama dengan baik. Itu semakin membuat Lynn tersanjung.

***

"Lo pikir, bokap akan bangga sama gue?"

"Uhmm?" Lynn terkejut dengan pertanyaan tak terduga itu saat mereka berjalan melewati anak tangga besar yang menjulang menuju pintu utama rumah Mama Maryam.

"Tadi, yang lo bilang di makam."

"Iya, lah!"

"Kenapa lo punya pikiran kaya gitu? Lo tau kan kekayaan gue ini juga warisan. Gue tinggal nerusin, meskipun banyak yang sukses berkat kinerja gue."

Masih sambil terus melangkah, Lynn menjawab santai, "Orang kaya gue paling bisa meliai sesuatu di luar materi."

"Trus?"

"Bahkan nggak heran laha kalau Hana itu ngejar lo mati-matian."

Tepat di depan pintu utama, Ale menghentikan langkahnya sambil agak emosi, "Kenapa Hana?"

"Ale?"

Suara panggilan Mama membuat keduanya yang sempat saling bersitatap itu mendadak menoleh bersamaan. Menemukan Mama yang tak sendiri. Ia bersama dengan Tante Dewanti dan juga... Hana?

Ale dan Lynn kompak tercengang. Apa celetukan Lynn menjadi kenyataan. Dan lucunya, kedua calon pengantin itu sama-sama mengusap kedua matanya serempak—memastikan apa yang dilihat tidaklah salah.