11 #Bagian 10 : Stag.

Sebuah pembunuhan terjadi lagi di minggu kedua saat tim khusus merasa mereka telah semakin dekat dengan pelaku pembunuhan.

Terjadi pada malam hari, ketika setiap orang telah bersiap untuk tidur. Padahal Haikal dan Huda sedang memata-matai tepat di depan rumah orang yang mereka curigai, Arjuna Zeroun. Mereka tidak mengalihkan pandangan sama sekali dari jendela lantai dua tempat kamar si target berada.

Mendapat telepon bahwa korban kedua belas baru saja ditemukan, Haikal tanpa pikir panjang menerobos masuk ke rumah target yang sedang mereka awasi.

Haikal memanjat pagar dan mencari-cari celah jendela yang bisa dibuka paksa. Huda ingin melarang, namun gerakannya kalah cepat dibanding seniornya. Tahu-tahu Huda ikut masuk dan sudah berada di dalam rumah tanpa seizin penghuninya.

Haikal langsung menuju kamar Arjun yang tidak dikunci dan membuka pintunya lebar-lebar. Suara brak keras terdengar saat gagang pintu membentur dinding.

Arjun tinggal sendiri. Satu-satunya keluarga yang dipunya, yang merawatnya setelah kedua orang tuanya meninggal adalah sang nenek. Nenek telah meninggal lima tahun lalu karena penyakit.

Tiba-tiba disergap di kamarnya tentu saja membuat Arjun terkejut, langsung terlonjak bangun. Tidak peduli bahwa tuan rumah jelas tidak suka dengan sikap Haikal, ia tetap memeriksa seisi ruangan. Jendela, kamar mandi. Juga sepatu yang dipakai Arjun untuk meninggalkan rumahnya diam-diam.

Seteliti apapun tidak ada tanda-tanda Arjun baru saja meninggalkan kamarnya. Sepatunya bersih, sama sekali tidak terlihat jejak telah digunakan. Arjun masih mengenakan kaus lengan pendek dan celana kain sebagai setelannya tidurnya. Matanya juga merah menandakan ia baru saja diganggu dari tidur nyeyaknya.

Huda yang berusaha menghentikan dan membawa Haikal keluar, justru terkena amuk.

"Jangan ganggu!"

"Senior..."

"Minggir!!"

Selanjutnya tidak ada lagi yang bisa Huda lakukan selain mengawasi. Berjaga-jaga jika Haikal melakukan sesuatu yang lebih buruk dari ini. Barangkali Haikal akan menarik kerah baju Arjun untuk memaksanya mengaku.

"Pak polisi, apa Anda sudah puas melihat-lihat?" Arjun yang masih berada di atas ranjangnya duduk bersandar dengan tangan dilipat di depan dada. Arogan.

Merasa bahwa Arjun sedang menahan senyum, Haikal mengepal erat kedua tangannya. Senyum puas, senyum mengejek. Sama seperti beberapa orang yang sebelumnya pernah dicurigai. Selagi polisi menjadi saksi dari alibi mereka yang tak terbantahkan, pembunuhan tetap terjadi. Haikal menggertakkan giginya, menahan amarah. Ditariknya nafas dalam-dalam.

"Maaf mengganggu, terima kasih atas kerja samanya." Haikal mencoba melebarkan senyumnya. Getir.

Huda melangkah ke luar kamar lebih dulu. Merasa lega seniornya masih bisa mengendalikan diri, tidak melakukan sesuatu seperti yang ia takutkan. Mungkin kekhawatirannya terhadap Haikal terlalu berlebihan.

"Tunggu!" Haikal tidak jadi keluar, teringat sesuatu yang ingin ia tanyakan dan kembali berbalik. "Mengenai menciptakan kebohongan menjadi kebenaran. Bisa beri saya tipsnya?"

Arjun tersenyum tipis. "Selipkan sebuah kebenaran. Karena cerita fiksi tidak mungkin semuanya hanya mengenai fantasi," jawabnya singkat.

Haikal mengangguk mengerti. Ia mohon diri, mengucapkan kata maaf untuk kedua kalinya, dan keluar dengan menutup pintu kamar Arjun. Ia telah dikalahkan. Kepercayaan dirinya, sikap angkuhnya, semua dihancurkan dalam semalam.

***

Alhasil ke esokan harinya Haikal mendapat teguran terkait kesewenang-sewenangannya menerobos masuk rumah orang. Haikal mendapat peringatan keras untuk tidak mengulangi lagi tingkah berdasarkan emosional sesaatnya.

Mereka kecolongan.

Lagi.

Pada akhirnya penyelidikan harus dimulai dari awal. Kembali melakukan rapat evaluasi dan memeriksa ulang semua laporan yang sudah masuk, yang sudah setengah mati mereka kumpulkan.

Apa ada yang salah, apa ada yang telewatkan. Jika memang ada yang salah dimana letaknya, jika tidak kenapa penyelidikan bisa tersesat. Kenapa bisa meletakkan kecurigaan pada orang yang salah untuk kesekian kalinya.

"Tidak ada yang salah, tapi kenapa kita selalu bisa kecolongan," Huda mendesis kesal.

Iwata mengela nafas. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa di tengah tekanan besar dan cibiran yang berdatangan karena beberapa minggu ini mereka terlalu percaya diri namun pada akhirnya tidak ada hasil yang bisa dicapai.

Iwata berusaha menghibur diri dengan membaca. Menyelesaikan novel yang sebelumnya telah ia beli. Jalan cerita sedang seru-serunya karena telah memasuki bab yang menggambarkan klimaks si tokoh utama.

"Kalau kesalahan tidak ada di pihak kita lalu pihak siapa?" Huda mendesis lagi.

Haikal duduk di kursinya tak acuh dengan semua keluhan-keluhan Huda. Ia menjajar foto-foto mayat para korban di mejanya.

Ketua tim baru saja keluar. Ada desas-desus mengenai tim khusus yang akan segera dibubarkan. Meski sudah berhasil memecahkan beberapa teka-teki dari pembunuhan berantai yang menggunakan racun dari tanaman Wolfsbane, tetap saja titik terang mengenai pelaku belum terlihat. Kecewa. Hasil yang diharapkan tidak lekas tercapai.

Selain media, lingkungan kerja tim khusus juga terus menggembar-gemborkan desas-desus yang sama. Pembubaran. Huda sudah bertanya memastikan dua kali, Haikal juga mulai bertanya dengan wajah kesal pagi tadi.

Ketua tim tahu yang harus dilakukan hanya menyelidik sembari menunggu hasil keputusan resmi turun. Mereka tidak perlu bersibuk-sibuk ria menanggapi desas-desus. Yang harus terjadi, maka terjadilah.

Tapi, bagaimana nasib timnya, ia seharusnya menjadi orang yang lebih tahu sejak awal. Melebihi siapa pun.

Untuk mengkonfirmasi secara langsung desas-desus yang telah beredar dan semakin membuat panas telinga, ketua tim menemui pimpinan pengawas yang bertanggung jawab langsung untuk tim khusus.

***

Sakhi pergi bekerja seperti biasanya. Keluar dari rumah lebih cepat juga seperti biasa, dan tempat yang rutin ia kunjungi juga seperti biasa.

Bedanya, Sakhi hanya bertahan selama 10 menit. Ia tidak melakukan seperti yang sebelum-sebelumnya. Menunggu dan berdiam selama 30 menit lebih. Membuang terlalu banyak waktu.

Di trotoar, Sakhi berdiri mengamati taman. Tempat dimana ia pernah ditinggalkan. Bedanya lagi, ia berdiri sedikit lebih jauh. Sedang mempersiapkan diri. Menata perasaannya.

Pandangan Sakhi menyapu ke segala tempat yang masih bisa dijangkau penglihatannya. Lamat-lamat.

Siang menjelang sore. Meski matahari belum juga meredakan teriknya, beberapa orang sudah berkumpul.

Semakin sore taman akan semakin ramai. Didominasi oleh orang-orang yang ingin membuang keringat di joging trak dan anak-anak muda yang berkumpul di wifi korner untuk mendapat koneksi internet gratis, beberapa keluarga, juga orang-orang yang hanya mampir untuk menyeruput es dawet atau es kelapa yang rutin membuka lapak di bagian depan.

Tatapan Sakhi lekat, lurus tertuju pada sebuah keluarga kecil yang terlihat bahagia. Ada ayah, ibu, dan anak perempuan. Ia tidak sedang mengiri, justru ikut berbahagia.

Sakhi menarik nafas panjang. Ada kalimat selamat tinggal yang tidak bisa ia ucapkan. Ia memutuskan untuk berhenti. Tidak akan datang, tidak akan menunggu lagi. Berjalan terus dengan kepala tegak. Mungkin masih akan menoleh ke belakang sesekali. Tapi itu hanya untuk memastikan sudah sejauh apa jaraknya dengan masa lalu.

Setelah mantap dengan keputusannya, Sakhi melanjutkan langkahnya.

Beberapa hari setelah ia dibebaskan dari penjara dan kembali bekerja, Sakhi selalu melewati jalan-jalan yang sama. Ia bahkan mampir ke swalayan yang sama meski hanya dengan alasan membeli air mineral.

Jejak-jejak sama yang Sakhi lewati adalah untuk menemukan alasan bagaimana tangannya bisa terkena racun. Dari mana, dari siapa.

Berusaha memecahkan misteri itu seorang diri.

Jalan sama yang dilewati, tempat sama yang didatangi, orang-orang berbeda yang ditemui, Sakhi tidak dapat mengendus jejak aneh yang ingin ditemukannya. Ia tidak lagi menyenggol kantong belanjaan seorang ibu-ibu rumah tangga, tidak lagi menjatuhkan barang-barangnya ke troli belanjaan orang lain, tidak juga berpapasan dengan pemuda dengan lidah topi di putar ke belakang.

Tidak ada satu pun petunjuk yang bisa membuatnya mencurigai sesuatu. Ingatannya sudah dipaksa berpikir berkali-kali, mengingat. Berulang kali mengikuti jejak-jejak yang tinggalkannya hari itu. Tapi, semua yang dilakukannya masih tanpa hasil. Nihil.

Tidak, tidak sepenuhnya!

Sakhi masih selalu melihat pemuda itu setiap ia mencoba menelusuri kembali jejaknya. Jika saat itu Sakhi berpapasan di tempat penyeberangan, beberapa hari ini ia melihatnya di sebuah swalayan sebagai pegawai.

'Apa ini petunjuknya?' Sakhi membatin.

"Kembaliannya Rp2000." Pemuda itu mengulurkan tangannya.

Sakhi memperhatikan sesaat. Tangannya yang panjang dengan jari-jarinya kurus namum terlihat kuat. Tatapan Sakhi kemudian terfokus pada jam tangan yang dikenakan pria itu. Bukan jam yang sama dengan hari itu. Yang tertepis tangannya.

Mungkin pemuda di depannya ini juga mengoleksi beberapa jam tangan sebagai hobinya.

Sakhi menerima kembaliannya, pemuda itu mengucapkan terima kasih dan tersenyum. Sakhi membalas senyumnya dan berlalu.

Beberapa hari lalu Iwata datang ke kafe. Ia bercerita mengenai kasus pembunuhan berantai Wolfsbane yang diam di tempat. Tidak ada petunjuk baru, tidak ada kemajuan. Iwata bahkan bercerita bahwa tim khusus akan dibubarkan dalam waktu sebulan jika tetap tidak mendapat kemajuan yang berarti.

Iwata terlihat sangat kesal. Saat mengira mereka sudah semakin dekat dengan tersangka utamanya, di hari lain mereka masih saja bisa kecolongan. Kesalahan yang sama, tidak hanya sekali.

Pemuda di swalan itu, Sakhi mengingatnya. Dia adalah salah satu orang yang sempat dicurigai. Hazim 21 tahun. Iwata bahkan mengatakan penilaian pribadinya mengenai Hazim.

Saat tersenyum biasanya seseorang akan terlihat ramah, namun Hazim justru sebaliknya, dingin. Sementara seseorang yang disenyumi akan merasa senang, merasa diperlakukan baik karena disenangi, tapi Iwata justru tidak merasakan apa-apa.

Sakhi tidak bisa melihat seperti yang Iwata lihat atau memiliki perasaan sesensitif Iwata. Ia juga tidak memiliki kemampuan untuk mencurigai orang lain. Jadi yang bisa Sakhi lakukan hanya memeriksa kembali jejak-jejaknya.

"Tumben datang cepat," Rin menyindir. Sakhi langsung menuju lokernya, menyimpan tas dan membuka sweternya. "Di luar ada yang nyariin tuh."

"Aku? Siapa?"

"Berondong."

"Eh?"

Bukannya menjelaskan, Rin justru berlalu sambil tersenyum jahil. Ia menuju tempat penyimpan, menyiapkan peralatan untuk berdih-bersih.

Sakhi tidak selalu bekerja di dapur. Ia hanya akan ke dapur sesekali saat tukang masak tidak masuk atau saat ia menemukan menu baru.

Sakhi memang suka memasak, tapi ia sangat sadar bahwa ia sedang masuk dalam lingkungan bisnis seseorang. Dengan penyakitnya, Sakhi tidak yakin tidak akan membuat kesalahan sama sekali.

Analgesia memang membuat indra perasa Sakhi tidak bekerja dengan baik. Ia tidak tahu seperti apa asin, pedas, atau terlalu manis. Sudah terlalu lama, ingatannya mengenai rasa pun sudah terblokir dari kepalanya. Bukan hanya rasa, tubuhnya juga tidak bisa mendeteksi suhu dengan baik.

Di awal-awal bekerja di dapur, ia selalu mendapati beberapa bagian kulitnya yang melepuh tanpa tahu sebabnya. Akhir-akhir ini, untuk menghindari dirinya terluka ia sudah semakin berhati-hati.

Saat di sekolah Sakhi juga pernah dikerjai teman-temannya. Bakso yang dipesan diberi terlalu banya cuka dan sambal. Sebenarnya Sakhi curiga. Ia tidak pernah menambah apapun dalam makanannya. Tidak saus, kecap, ataupun sambal. Bagi Sakhi semua rasa sama, jadi menambahkan sambal tidak akan membuatnya terasa lebih pedas.

Melihat temannya senyum-senyum saat mulai mencicip, Sakhi sudah bisa menyadari situasi seperti apa yang sedang terjadi.

"Em... Asin!" Sakhi berpura-pura mengernyitkan keningnya.

Ketiga temannya seketika terbahak. Menyangka kejahilan mereka mengerjai Sakhi berhasil dengan sukses.

"Eh, asin?" Satu di antara ketiganya menyela, yang berambut pendek. "Memangnya tadi kita tambahin garam?"

Kedua sekutu yang sama-sama baru sadar menggeleng. Mereka tidak ingat pernah menambahkan garam. Bukan tidak ingat, mereka yakin tidak menambahkan garam sedikit pun.

"Apa mungkin campuran cuka dan sambal bisa bikin asin, ya." Yang bersuara cempreng berkomentar.

Penasaran, yang bersuara cempreng mencicip kuah dari sendok Sakhi namun seketika itu juga ia mengeluarkan lagi apa yang baru dikecapnya. Teman-teman yang lain puas menertawai. Sakhi sukses melancarkan serangan balasan.

"Ini bukan asin tapi abstrak!!"

Mereka tertawa lagi.

Untuk menciptakan masakan yang enak dan layak dimakan tidak hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki indra pengecap yang baik. Itulah yang sudah Sakhi pelajari sejak lama. Ilmu yang diterimanya dari kak Hania. Hasilnya, ia bisa memasak lebih baik dari teman baiknya, Rin.

"Siapa, ya?" Sakhi bertanya setelah berdiri di depan seorang pria yang lebih muda darinya. Rin benar, berondong.

Sekilas wajahnya terlihat tidak asing. Tatapan mata tanpa binar-binar semangat. Sakhi yakin tidak mengenal pria di depannya, ia juga yakin kalau mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Tapi wajahnya tampak familier.

"Bisa bicara sebentar?"

Sakhi melirik jam dinding. Masih ada waktu sebelum jam kerjanya. Sakhi mengangguk kemudian duduk di depannya.

Pertama-pertama pria itu memperkenalkan diri, menyebut namanya. Bagas. Sakhi berencana memperkenalkan dirinya juga, tapi di luar dugaan...

"Aku sudah tahu," kata Bagas. Sakhi meyipitkan matanya, menyelidik. "Bukan, bukan," tepisnya cepat, tidak ingin Sakhi memikirkan yang bukan-bukan. "Aku tertarik karena kasus salah tangkapmu."

"Oh. Padahal, 'kan tidak diberitakan besar-besaran, mukaku juga disensorkan."

"Karena penasaran aku mencaritahu." Bagas mengambil jeda. "Aku ingin tahu bagaimana nasib orang lain yang pernah mengalami kasus salah tangkap yang serupa sepertiku."

"Serupa?" Sakhi mengulang.

Bagas menceritakan mengenai dirinya dengan singkat. Bahwa ia dicurigai telah membunuh pacarnya. Karena tidak memiliki alibi dan dengan kesaksian beberapa orang mengenai pertengkarannya, ia akhirnya dijadikan tersangka dan mendekam dalam penjara.

Memang tidak sampai bertahun-tahun, tapi itu cukup untuk membuatnya kehilangan banyak hal.

"Ah!" Sakhi berseru tiba-tiba.

"Apa? Kenapa?" Terkejut karena seruan Sakhi yang tiba-tiba, Bagas celingukan ke sana-kemari. Mencari penyebabnya.

"Enggak, enggak. Maaf."

Mendengar cerita Bagas membuat Sakhi seketika mengingat dimana ia pernah melihat orang ini. Foto. Bagas menjadi salah satu yang dicurigai namun bukan mengenai pembunuhan yang baru saja diceritakannya. Melainkan kasus pembunuhan lain. Kasus pembunuhan berantai yang menggunakan racun dari tanaman Wolfsbane.

"A-mm... jarang ada orang yang bisa bercerita tentang bagian menyedihkan di hidupnya ke orang yang baru pertama kali dikenal," komentar Sakhi setelah Bagas menyelesaikan ceritanya.

"Seperti yang tadi kubilang, karena aku ingin tahu bagaimana nasib orang yang mengalami kasus yang sama denganku," kata Bagas. "Kelihatannya jauh berbeda. Enak, ya di sisimu enggak ada yang berubah."

"Eh?"

Sakhi tidak tahu lagi harus menanggapi bagaimana atau berkomentar seperti apa. Kalimat Bagas terdengar tidak enak didengar. Ia memang tidak kehilangan sebanyak Bagas, tapi hukan berarti ada di posisinya enak.

"Mmm... mau kubuatkan sesuatu yang manis? Kata orang makanan manis bisa membuat perasaan lebih baik," Sakhi menawarkan.

Bagas tersenyum. "Apa itu kalimat untuk menghibur orang?"

"Mm... mungkin."

Bagas mengangguk dan meminta sesuatu yang manis yang Sakhi tawarkan untuk dibungkus. Ia harus segera pergi, jadi akan memakannya setelah sampai di rumah.

"Sepertinya kamu punya banyak teman baru ya, selain tiga polisi yang itu."

Rin menyebut Haikal, Iwata, dan Huda dengan nama tiga polisi yang itu. Ia bersebelahan dengan tempat Sakhi berdiri, sama-sama membersihkan meja yang baru saja ditinggal pelanggan.

Sakhi tidak menanggapi.

Tempo hari ketiga polisi itu datang. Mereka bukan datang untuk masalah pekerjaan, melainkan untuk menikmati istirahat siang. Eskpresi ketiganya benar-benar buruk. Wajah kusut, kurang tidur, guratan lelah yang tergambar dimana-mana, seolah-olah beban seluruh kepolisian ditimpakan di bahu mereka.

"Ck, ck, ck." Sakhi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Sebagai warga negara yang baik, yang harus membantu petugas penegak hukum, yang merangkap sebagai waitres yang harus menjajakan menu, Sakhi membantu dengan merekomendasikan sesuatu yang ada di kafe.

Sakhi menawarkan minuman asam-manis yang terdiri dari buah melon, kiwi, dan rasa asam dari belimbing wuluh. Asam dan manis yang dipadukan dengan baik dapat melahirkan rasa segar saat dikecap. Rasa yang Sakhi tidak tahu seperti apa, tapi begitulah yang tertulis di buku panduan yang pernah ia baca.

Sesuatu yang asam bisa mengurangi rasa lelah sebab asam mengandung riboflavindengan jumlah kira-kira sekitar 9% yang dapat membantu memproduksi energi. Mengembalikan semangat.

"Ada sesuatu yang menggangguku," Rin berkata dengan suara nyaris berbisik. Ia menyejajari langkah Sakhi, membawa piring dan gelas kotor ke tempat pencucian.

"Apa?"

"Waktu itu, si polisi ganteng bilang kalau kamu punya penyakit. Apa... itu benar? Penyakit apa?" tanya Rin.

Rin menyebut Iwata dengan nama polisi ganteng, Haikal si polisi keren, dan Huda si polisi imut saat ketiganya datang ke kafe. Rin memang sangat suka memberi julukan ke orang-orang yang belum dikenalnya agar lebih mudah diingat.

Sakhi tentu saja tidak sepenuhnya setuju dengan julukan-julukan itu. Haikal tidak benar-benar keren. Karena pernah masuk ruang introgasi dan berhadapan dengan Haikal, Sakhi tahu bahwa Haikal sebenarnya tipe yang galak, dan keras.

Mungkin galak dan keras memang sudah menjadi karakter yang melekat pada kebanyakan polisi. Tapi tetap saja pengalaman itu tidak akan dengan mudahnya bisa Sakhi lupakan.

Meski Haikal sudah tidak pernah lagi bersikap galak dan meneriakinya, pandangan Sakhi tetap tidak berubah. Mungkin itu yang disebut trauma. Pertemuan pertama, dan kesan pertama yang buruk.

Kalau Iwata, wajahnya memang lumayan, tapi jika dia mulai bersikap polos, Iwata akan terlihat konyol, terkadang justru sangat manis –wajah Sakhi memerah saat membayangkannya.

Huda, karena tidak pernah berinteraksi secara langsung dengan Huda, Sakhi tidak memiliki komentar apapun tentangnya selain tidak mirip dengan kebanyakan polisi pada umumnya. Terlalu imut. Lebih imut dari teman-teman perempuan yang pernah Sakhi kenal.

Mendengar Rin menyebut kata penyakit, langkah Sakhi terhenti sebentar. "Akan kusebutkan istilah kedokterannya dan kamu cari tahu sendiri artinya, oke?"

"Oke." Rin setuju tanpa berpikir. "Jadi, apa itu penyakit menular? Tidak berbahaya, 'kan?" Wajah Rin dipenuhi ekspresi khawatir bercampur dengan keingin tahuan yang sama besarnya.

Sakhi tidak langsung menjawab. Bibirnya terbuka namun mengatup kembali, ragu-ragu. Sakhi melakukannya dengan sengaja. Mengulur-ulur waktu, mempermainkan perasaan temannya, membiarkan imajinasi Rin menerka-menerka sesukanya.

"Analgesia," ucap Sakhi akhirnya.

"Anal... apa?" Rin mengulang terbata, menyebut nama penyakit yang terdengar asing di telinganya.

"Congenital Analgesia."

Ketika kafe cukup sepi dan para karyawan bisa menikmati waktu kosong mereka, Rin yang sejak tadi menahan penasaran segera mengambil ponselnya.

Googling. Mencari penjelasan mengenai nama penyakit yang Sakhi sebutkan. Yang meski Sakhi sebut berulang-ulang tetap masih belum bisa ia ucapkan dengan kata yang benar.

Congenital Analgesia. Ketika sadar penyakit apa yang menyerang teman baiknya, Rin sudah memecahkan satu buah gelas kaca.

"Ini... bohong, 'kan?" Rin dan Sakhi bertemu mata.

avataravatar
Next chapter