2 #Bagian 1 : Apa yang terjadi ?

Sakhi Fitriya, seorang wanita berusia 25 tahun, berambut hitam, ikal sepunggung, diikat ekor kuda sedikit tinggi, menuju tempat kerja yang tidak jauh dari tempatnya tinggal. Langkahnya riang dan ringan. Ia mengenakan seragam merah hitam yang dilapisi sweter abu-abu.

Bekerja sebuah kafe yang terkenal dengan beragam minumannya yang unik adalah keseharian yang paling disukainya selain bermalas-malasan.

Perpaduan manis dan asam yang digabungkan dengan baik dalam gelas dan cangkir tinggi adalah cita rasa khas yang berbeda dari kafe-kafe lain yang lebih menonjolkan kopinya. Camilan dan menu lain yang disediakan juga memiliki cita rasa yang baik di lidah. Membuat pengunjungnya tidak berhenti untuk datang, dan datang lagi di hari berikutnya.

Letak kafe memang tidak tepat di pinggir jalan, namun tidak sulit ditemukan. Di simpang tiga jalan MT. Haryono, seberang sebuah penggadaian. Masuk 100 meter. Di sebelah kanan akan terlihat bangunan bata merah dengan grafiti berbagai bentuk dan beragam warna. Bagunanannya sangat mencolok dibanding bangunan lain di sekitarnya. Lapangan parkirnya luas dengan banyak tanaman di bagian depan.

Siang yang padat. Jalan raya dan trotoar dilalui berbagai macam manusia dengan kesibukan masing-masing. Ada yang membawa kantung-kantung belanjaan, yang tidak sengaja bersenggolan dengan Sakhi. Ada yang hanya berjalan-jalan saja sembari menghabiskan waktu. Ada yang kebetulan lewat. Ada yang sedang mengejar waktu karena telah memiliki janji temu. Ada juga kuli-kuli panggul yang sibuk keluar-masuk pasar.

Sebelum sampai di tempatnya bekerja, Sakhi mampir ke swalayan untuk membeli beberapa barang yang dititipkan dan keperluannya sendiri.

Dibanding berbelok ke pasar yang padat dan sesak, ia lebih memilih ke tempat yang tidak berimpitan dengan banyak orang. Toh harganya tidak berbeda karena di suplai dari tempat yang sama.

Dibanding membeli semua keperluan sepulang kerja, Sakhi lebih memilih melakukannya saat pergi. Selain bisa mengurangi risiko melewatkan barang penting dalam daftar karena badan sudah terlalu lelah, ketika jam pulang ia jadi bisa langsung pulang.

Dalam swalayan tidak hanya ada 1, 2 orang yang berbelanja. Ada lebih dari lima orang. Mungkin karena masih tanggal muda, jadi waktunya menguras gaji untuk memenuhi lemari-lemari dengan kebutuhan bulanan. Menyiapkan keperluan mandi dan perut yang nyaris habis.

Beberapa orang yang sudah selesai berbelanja, berdiri mengantri di kasir. Karena meja kasir yang beroperasi hanya satu, antrian yang menumpuk menjadi lebih panjang.

Saat beranjak dari rak bahan-bahan dapur, Sakhi tidak sengaja menabrak troli belanjaan pengunjung lain. Beberapa barang yang dibawa digendongannya pun jatuh, masuk ke dalam troli belanjaan orang yang ditabraknya.

Karena keteledorannya, Sakhi meminta maaf kemudian meminta izin untuk mengambil belanjaannya yang tercampur. Si pengunjung yang trolinya ditabrak, tersenyum ramah dan mempersilahkan. Penampilannya santai dengan kaus kecokelatan, terlihat seperti seorang pria pekerja yang masih lajang.

Setelah meminta maaf lagi, Sakhi beralih ke daftar belanjaannya yang terakhir. Pembalut untuk tamu yang rutin datang setiap bulan.

Berbelanja telah selesai, barang-barang telah dibayar. Sakhi beralih tempat.

Dengan membawa satu kantong hitam besar, penuh, Sakhi berdiri bersama beberapa orang di area penyeberangan. Menunggu lampu jalan berwarna merah.

Setelah lampu menyeberang menyala, Sakhi bersama beberapa orang yang telah menunggu, menyeberang bersama-sama. Begitu pun dua orang dari arah berlawanan.

Tangan Sakhi menepis sesuatu tanpa sengaja ketika selesai menyelipkan ke telinga rambutnya yang menghalangi penglihatan karena tertiup angin.

Sakhi menoleh. Tatapannya tertuju pada jam stainless steel yang ada di pergelangan tangan seseorang.

Jam tangan yang unik.

Pemiliknya adalah seorang pria muda tinggi yang datang dari arah berlawanan. Mengenakan jaket denim dan topi yang lidahnya diputar ke belakang. Pria itu seperti tidak sadar karena hanya berlalu begitu saja. Mungkin sedang mengejar waktu karena memiliki janji atau harus memenuhi jadwal kerjanya.

Langkah Sakhi kembali menapaki jalan dengan mantap. Kali ini lebih memburu, bergerak lebih cepat. Ia sudah hampir terlambat.

Deg.

Beberapa saat sebelum sampai di kafe tempatnya bekerja, langkah Sakhi terhenti. Padahal tempat yang dituju sudah tidak jauh. Tinggal masuk ke dalam gang yang tidak sempit dan berjalan kira-kira 7 menit.

Deg.

Terasa lagi. Ada yang salah. Dadanya berdebar aneh. Seperti ada cara kerjanya yang tidak normal. Sakhi menarik nafas perlahan, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tidak beraturan. Sekali, dua kali. Tidak ada perubahan.

Sakhi meletakkan tangannya di depan dada. Ketika sadar, ada sesuatu yang terjadi pada punggung telapak tangannya. Sebuah luka memerah.

Mungkin karena benturan dengan jam tangan pemuda saat menyeberangan tadi. Padahal hanya benturan kecil, seharusnya tidak begitu menimbulkan bekas. Atau mungkin terkena sesuatu di tempat lain tanpa Sakhi sadari.

Ah, entahlah.

Deg.

Benar-benar ada yang aneh dengan dirinya. Ada sesuatu yang salah entah dimana. Mulai kehilangan keseimbangan, Sakhi nyaris ambruk. Untung dengan cepat tangannya bisa meraih tiang lampu jalan, menjadikannya pegangan, membantu menopang berat badannya.

"Aku kenapa? Apa yang terjadi?"

***

"Keracunan?! Makanan?"

Seorang teman yang bertemu di depan jalan memaksanya pergi ke klinik untuk memeriksakan keluhan aneh yang tiba-tiba Sakhi alami. Rin.

Klinik berada di jarak lima bangunan dari pertigaan jalan utama tempatnya tadi nyaris roboh.

Rin adalah tipe orang yang sangat cerewet jika mengenai kesehatan.

Adik Rin meninggal tahun lalu karena kanker. Terlambat menyadari keluhan-keluhan yang dialami, menyebabkan sel kanker lambat dideteksi. Lantas telah menjadi ganas saat mulai coba ditangani. Akhirnya tidak lagi bisa ditolong.

Bagi Rin, penyakit adalah mengenai pendeteksian sedini mungkin. Semakin cepat terdeteksi, akan semakin cepat tindakan pengobatan dilakukan, dan semakin besar peluang sembuh didapatkan. Tidak ada penyakit yang tidak bisa disembuhkan jika cepat ditangani.

Harusnya juga sama untuk penyakit adiknya yang terlambat Rin ketahui. Yang menjadi penyesalan terbesarnya.

Karena prinsip yang baru Rin pegang teguh setelah adiknya meninggal itulah ia selalu menjadi yang paling ribut jika mendengar keluhan-keluhan yang tidak biasa. Bahkan tentang keluhan yang dianggap sepele oleh teman-temannya seperti gejala mag sekali pun.

"Aneh. Saya enggak makan yang macam-macam kok, Dok."

Dokter yang memeriksa menggeleng. "Kelihatannya bukan dari makanan. Jika dari makanan efeknya sudah pasti lebih fatal."

"Fatal?"

"Dapat menyebabkan kematian," jelas dokter.

Sakhi dan Rin yang mendengarkan saling melempar pandangan dengan tatapan terbelalak.

"Jika ini racun yang sama, seharusnya ada tanda-tanda lain seperti sensasi terbakar, kesemutan, atau kebas sebelum terasa sampai ke jantung. Racunnya tipe yang dapat dengan mudah terserap melalui kulit," jelas dokter lagi.

Sakhi mengepal dan membuka telapak tangannya yang telah diperban. Mencoba merasakan. Dokter memberinya Atropin untuk mengurangi dan mengikat racunnya. Juga mengobati luka memerah di tangannya. Beruntung racunnya tidak dalam jumlah mematikan.

"Tapi dari mana..." dokter yang seorang wanita berusia 35 tahun bertanya hati-hati. Sifatnya keibuan dan sangat ramah.

"Kenapa, Dok? Apa ini jenis racun yang langka? Apa enggak mungkin dibeli di apotek atau toko-toko obat?" Rin balik bertanya, Sakhi ikut mengangguk ingin tahu.

Rin tidak bermaksud menyela kalimat yang belum selesai diucapkan dokter. Ia hanya merasa ingin tahu, bertanya-tanya, tidak mengerti. Rasa penasarannya bahkan lebih besar dari Sakhi.

"Jika ini racun yang sama…" dokter mengulang dengan kata yang sama untuk kedua kalinya. Dokter sangat berhati-hati dalam membuat kesimpulan, untuk mendiagnosa penyebabnya.

Dokter yang kini menangani keluhan aneh Sakhi bukan seorang ahli toksikologi dan hanya melakukan pemeriksaan luar saja. Pengetahuannya mengenai racun jenis ini hanya pengetahuan umum.

Karena tanda-tanda yang dokter lihat begitu familier dengan jenis racun yang akhir-akhir ini menggemparkan, ia jadi yakin kalau racun yang menginfeksi Sakhi adalah jenis racun yang sama. Jenis racun yang sedang mendapat perhatian serius dari kepolisian. Yang harus segera dilaporkan jika ada pasien mencurigakan yang mengalami gejala-gela keracunan serupa.

"Jika ini racun yang sama, seharusnya tidak banyak racun jenis ini bisa ditemukan," tambah dokter menyelesaikan keterangannya.

"Jadi..."

Kalimat Rin terputus saat pintu terdengar diketuk.

"Dokter, ada polisi." Seseorang berkata setelah membuka pintu.

Seorang polisi kemudian menyerobot masuk sebelum dipersilakan.

Polisi yang datang berjumlah tiga orang. Dua orang berseragam, sementara seorang lagi tidak. Yang paling depan, yang tidak mengenakan seragam terlihat memiliki pangkat yang lebih tinggi. Sikapnya terlihat tidak sabaran, ia masuk ke dalam ruang konsultasi lebih dulu.

"Apa Anda yang terkena racun?" tanya si petugas setelah melihat tangan siapa yang diperban.

"Ke…kenapa? Ada apa ini?" Rin bertanya terbata, kaget, tidak mengerti.

"Iya, saya. Boleh tahu ada apa?" Sakhi juga bertanya.

"Kami akan membawa Anda ke kantor polisi untuk meminta beberapa keterangan. Ini mungkin akan memakan waktu lama karena berhubungan dengan kasus pembunuhan. Dan… Mbak yang satunya, kami juga membutuhkan keterangan Anda."

"Pem...pembunuhan?" Sakhi dan Rin terbata bersamaan.

Untuk kesekian kalinya keduanya melempar pandangan satu sama lain. Terbelalak, terkejut, tidak mengerti. Ini lebih membuat mereka terperangah dari keterangan yang dokter berikan mengenai betapa fatalnya racun yang tiba-tiba menginfeksi Sakhi.

Pembunuhan?

Bagaimana mungkin…

Tiba-tiba terkena racun yang sangat mematikan, dibawa dengan paksa ke kantor polisi dengan kemungkinan terburuk dianggap terlibat dalam pembunuhan. Sakhi tidak mengerti.

Sakhi benar-benar tidak mengerti apa yang sedang menimpanya, apa yang salah, dimana ia telah menyinggung orang lain.

Lebih dari semua itu, yang terjadi bukan sekadar kesalahan, melainkan kejahatan. Pembunuhan!

Sebelumnya semua baik-baik saja. Pagi tadi Sakhi bahkan bermimpi indah. Dua jam sebelum ini masih membaca novel di atas pohon mangga. Tapi kenapa mendadak semuanya berubah berantakan.

Hanya satu yang bisa menjelaskan semua kejadian yang begitu tiba-tiba ini. Mimpi. Mimpi buruk.

Benar, pasti mimpi. Seperti sebuah tidur siang yang menggelisahkan. Sakhi ingin dibangunkan sekarang juga. Ia harus pergi bekerja. Ia tidak ingin terlambat. Harus segera bangun. Meski itu dengan mengguyurkan seember air.

'Bangunkan aku, tolong!' pekik Sakhi dalam hati, memohon.

"Pak, ini salah! Ini pasti salah!"

Sementara Rin berusaha keras menghalang-halangi, Sakhi hanya terdiam lemas. Membiarkan dirinya digelandang begitu saja ke kantor polisi. Masih tidak percaya dengan apa yang menimpanya. Masih ingin percaya bahwa semua hanya mimpi.

Untuk kedua kalinya Sakhi bertanya pada dirinya sendiri.

Apa yang terjadi?

avataravatar
Next chapter