webnovel

CHAPTER 25

Seul Gi yang tidak dapat menutup matanya kembali saat sekarang Jimin sedang mengecup bibirnya dengan lembut. Ia belum pernah merasakan desiran ini sebelumnya. Kakinya otomatis bergerak kebelakang dan kini wajahnya benar-benar dekat dengan Jimin.

"Apa yang kau lakukan?", Seul Gi memutar badannya dan berlari dengan cepat.

Berani-beraninya Jimin mengambil ciuman pertamanya yang berharga. Bahkan Kang Seul Gi yang sekarang sudah berada disamping mobil Jimin, menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya dilututnya, ia tidak pernah memikirkan mengenai ciuman pertamanya karena ia belum siap akan hal itu.

Dadanya terasa mencelos saat ia ingat kehangatan itu mengalir merambati seluruh tubuhnya. Punggung tangannya mengecek suhu tubuhnya. Ia merasakan panas.

Suara langkah terdengar, Seul Gi tahu bahwa itu pasti Jimin. Ia melangkah pelan-pelan, ia tahu bahwa pasti Seul Gi terkejut dengan perlakuannya namun ia pun jauh lebih terkejut daripada Kang Seul Gi. Jimin menyadari perbuatannya saat Seul Gi berlari menjauh darinya.

Emosi benar-benar membuat Jimin melakukan hal yang tidak dapat ia prediksi. Walaupun ia menyetujui kata-kata yang mengalir begitu dari bibirnya.

Seul Gi sedang jongkok disisi mobil dan memeluk lututnya. Pemandangan itu membuat jemari tangan Jimin bergetar, ia tidak pernah menyangka dapat memperlakukan perempuan seperti itu.

Mencium Seul Gi tanpa tau bagaimana perasaan perempuan itu. Jimin merutuk dirinya sendiri didalam hati.

"berdirilah", suara Jimin terdengar dan membuat Seul Gi semakin menundukkan kepalanya didalam dekapan tangannya.

Seul Gi hanya menggeleng. Wajahnya terasa semakin panas. Ia sangat malu saat ini. Bisa tidak ia menghilang seperti debu terbawa angin saja? Eommaaa.....

Jimin bersimpuh dihadapan Seul Gi. Ia mengusap pucuk kepala Seul Gi dengan penuh afeksi.

"Maafkan aku... Aku tidak bermaksud membuatmu sedih", tutur Jimin dengan hati-hati.

"ayo kita pergi dari sini".

Tidak ada respon lagi.

"baiklah... aku akan menunggumu didalam mobil. Jika kau sudah siap, masuklah. Jangan pergi", Jimin tidak suka melihat Seul Gi berlahir menghindarinya seperti sesaat tadi.

Lelaki dengan seragam sudah mencuat keluar karena berlari mengejar Seul Gi itu akhirnya masuk kedalam mobil dan terdengar suara pintu mobil tertutup.

Seketika Seul Gi bersandar. Otot-ototnya melemas karena suara Jimin yang benar-benar lembut dan penuh penyesalan. Seul Gi tidak pernah merasakan kebimbangan seperti ini sebelumnya. Tapi ia akui bahwa mendengar suara Jimin menyesal membuatnya semakin kesal.

Ia menguatkan kakinya, berdiri lalu membuka pintu mobil. Seul Gi menaruh bokongnya dengan gusar dan menutup pintu mobil sedikit kencang.

Manik Jimin membulat sempurna. Aura menyedihkan yang tadi mengelilingi Seul Gi tiba-tiba sudah tidak terlihat seiring dengan tatapan menusuk Seul Gi. Ia melipat kedua tangannya didada. Wajahnya sangat judes.

"gwanchana? eoh?", Jimin terbata saat harus menatap Seul Gi.

"apa maksudmu? ha?!!!!".

Jimin beruntung bahwa Shinhwa memiliki gedung parkir sendiri. Jimin beruntung bahwa ia memiliki mobil dengan kaca film yang baik dan tentunya mobil ini kedap suara dari luar. Sehingga suara kencang Seul Gi tidak mungkin terbagi diluar mobil.

"Kau boleh memukulku sekarang juga. Maafkan aku", pasrahnya sembari menutup matanya, takut-takut Seul Gi menghajarnya.

Seul Gi melepas lipatan tangannya. Ia pun tidak tahu apa maksud dirinya harus marah saat mendengar Jimin berbicara dengan nada menyesal seperti tadi.

Jimin menunggu pukulan dari Seul Gi namun saat ia membuka matanya perempuan itu malah melamun. Aura itu kembali lagi. Sungguh aneh.

Reflek, Jimin membawa tangannya untuk menarik dagu Seul Gi dengan lembut.

"Kang Seul Gi... Aku menyukaimu. Semua yang ku lakukan karena aku menyukaimu".

Sorot mata Jimin kali ini berbeda dengan sorot matanya saat mereka berada dikoridor. Manik coklat itu membelai Seul Gi dengan penuh perhatian dan ditambah suaranya sangatlah lembut. Mengatakan perasaannya dengan tegas.

Kerongkongan Seul Gi benar-benar kering sehingga tidak dapat mengeluarkan kata-kata apapun selain menatap Jimin dengan lekat.

Jimin menyunggingkan senyum dan membenarkan posisi duduknya.

"sudahlah, bisa selesai besok. Aku sudah mengatakan perasaanku padamu hari ini. Aku lelah dan lapar. Lebih baik kita cari makan dan kau", Jimin menoleh kembali, "fikirkanlah apa yang mau kau katakan karena aku menunggu kata-kata keluar dari bibirmu".

Seul Gi hanya mengangguk. Ia benar-benar terkejut dengan hal ini. Deru halus mobil terasa dan mereka meninggalkan gedung parkir perlahan-lahan dengan suasana awkward karena Seul Gi tetap saja tidak ingin membuka suaranya. Namun lain dengan Jimin, ia merasa batu didadanya sudah pergi sehingga ia sedikit bernafas lega.

Jujur memanglah hal yang menyenangkan walaupun mengkhawatirkan namun Jimin bertekad untuk membuat Seul Gi menerima perasaannya kali ini.

-

-

-

-

-

(sehari sebelumnya)

Jung Kook menyesap kopi hitamnya. Wajahnya terlihat menikmati rasa pahit kopi dicangkirnya. Walaupun ia lebih muda dari Jimin namun kerpibadian Jung Kook bisa sesuai dengan suasana.

Kali ini ia tida bisa memperlihatkan senyum kelincinya karena Jimin menceritakan suatu hal yang menyangkut dengan perasaannya. Seorang Park Ji Min yang bleum pernah melirik satupun perempuan akhirnya menceritakan sosok perempyan yang bernama Kang Seul Gi.

"Hyung... Kau tidak boleh memaksanya seperti itu", desah Jung Kook, "kau tidak punya hak untuk marah hyung".

Jimin mengerutkan dahi kembali, "mana mungkin. Apa aku lelucon untuknya?".

"Kau harus berbicara baik-baik".

"Sulit. Dia sangat keras kepala sebagai perempuan. Aku memintanya menjadi partnerku bukan seminggu dua minggu Kook", Jimin ingat betul sepanjang apa usahanya waktu itu hingga tidak sengaja ia semakin jauh mengenal Seul Gi.

Jung Kook memiliki perasaan yang kuat sehingga ia tidak akan menyerah begitu saja pada perdebatan ini.

"Kalau begitu. Aku sangat yakin dia bukan perempuan sembarangan yang menerima tawaran Hyung".

Jimin mengangguk menyetujui Jimin, "memang. Maka dari itu aku sangat kecewa".

Jung Kook mendapati kegelsihan tersirat jelas diwajah mochi didepannya, "kau masih bisa lomba sendiri dengan lagu yang berbeda. Menghafal koreo dengan cepat bukan hal yang sulit untukmu eoh?".

Jimin menyunggingkan senyum dan berfikir sebentar, "aku baru menyadari sesuatu", wajahnya berubah menjadi cerah namun gugur dalam seketika.

"waeee?", Jung Kook merasa gemas.

Jimin menggeleng.

"pasti kau jatuh cinta padanya bukan?", tembak Jung Kook, maniknya menangkap bahwa tuduhannya memang benar.

Tuturan Jung Kook membuat Jimin seperti tertangkap basah. Otak kirinya sedang merutuknya karena baru memyadari hal itu sekarang setelah mereka bertengkar. Namun hatinya berdebar tidak karuan.

"Jung Kook-ahhh apa yang harus aku lakukan?", Jimin menutup kepalanya yang ia taruh dimeja dengan kedua tangannya. Wajahnya memerah seiring dengan meledaknya tawa Jung Kook.

"JIMIN HYUNG, AKHIRNYA SETELAH BANYAK HATI YANG PATAH hahahaha", Jung Kook merasa benar-benar puas.

Jung Kook ingat bahwa pria tampan yang luat biasa berbakat didepannya adalah lelaki judes yang akan menolak mentah-mentah siapapun yang berani mengajaknya menonton film, hangout dihari minggu atau apapun itu. Jimin juga terkenal tidak peduli dengan paras perempuan. Ketika mereka sedang hang out dan Jung Kook maupun teman-teman yang lain sibuk mengomentari penampilan perempuan. Jimin hanya akan diam, ia malas untuk melirik perempuan-perempuan, terlebih jika perempuan itu sengaja menarik perhatian.

"kau harus bilang. Ini perempuan pertamamu, jangan sampai kau menyesal. Tidak mungkin dia menolak dirimu Hyung. Ayolah, kau pasti bisa".

Semenjak celotehan itu keluar dari mulut Jeon Jung Kook. Sedari pagi ia menerror Jimin lewat handphone. Hingga akhirnya Jimin termakan ucapan Jung Kook. Namun ia gagal mengikuti saran sahabatnya.

Tidak bisa dihindari bahwa Jimin masih merasa sebal dengan Seul Gi sehingga ia memutuskan untuk memberitahu bahwa tujuan utamanya mengikuti lomba tari ini bukanlah dirinya sendiri melainksn karena Kang Seul Gi.

Jimin yang begitu gengsi terlalu berfikir berat untuk mendekati Seul Gi sehingga ia mengajak perempuan ini untuk ikut lomba. Untuk sementara hal itu berhasil sebelum Seul Gi membatalkannya secara sepihak.

-

-

-

-

Wajah kekenyangan terlihat jelas didepan mata Jimin. Seul Gi benar-benar tidak membuka mulutnya sedikitpun selain untuk memasukkan makanan kedalamnya. Matanya juga selalu menghindari tatapan Jimin.

Jimin menopang dagunya menatap ke arah Seul Gi.

"kau tidak ada keinginan untuk berbicara apapun?", bisiknya.

Seul Gi mendekatkan gelasnya ke bibirnya dan ia mendesah karena terbesit dalam benaknya akan ciuman pertamanya yang direnggut oleh lelaki didepannya. Perasaannya masih berkecamuk didalam relungnya. Pernyataan Jimin pun masih ia tidak percaya.

"ah sudahlah", Jimin mengambilkan sebuah kepala ikan yang Seul Gi singkirkan ke piring kosong Seul Gi, "mungkin bagimu kepala ikan ini tidak terlihat lezat tapi banyak orang yang menyukainya karena sensasinya saat menghisap bagian kepala. Bayangkan saja aku adalah kepala ikan. Walau kau tidak menyukainya tapi saat kau mencoba sensai seperti yang orang lain lakukan, kau akan menyukaiku",

Jimin mendekatkan wajahnya ke wajah Seul Gi yang sekarang melihat sekeliling dari sudut matanya. Orang-orang mencuri-curi pandang. Posisi yang dihasilkan Jimin sungguh menarik perhatian banyak orang, terlebih mereka masih memakai seragam sekolah. Semburat dipipi Seul Gi muncul lagi.

"Jadi, jangan menghindariku. Aku juga tidak akan menghindarimu", Jimin kembali duduk lagi, ia puas dengan mendapatkan wajah Seul Gi yang sudah memerah.

"Kau sudah selesai?".

Seul Gi mengangguk lemah. Hari ini belum sepenuhnya habis tapi sudah melelahkan karena diperlakukan seperti tadi oleh Jimin.

.

.

Tidak akan yang dapat menolak pesona Jimin tapi ia tidak mengerti mengapa harus dirinyalah yang membuat Jimin bisa berperilaku seperti ini. Ia hanya perempuan biasa yang bahkan dibenci di sekolah karena reputasinya yang tidak baik. Bahkan Jimin melihat sendiri ia menari di club malam, ia pula melihat keadaan keluarganya,

Pikiran-pikiran itu tidak henti menusuk-nusuk kepala Seul Gi. Matanya memerah karena sudah dua jam berusaha untuk tertidur tetapi ia tetap tidak dapat masuk ke alam mimpi dengan nyaman. Kakinya menendang-nendang udara.

"Park Ji Min!!!!", kesalnya.

Seul Gi membangunkan dirinya dan duduk. Ia memutuskan untuk menuruti keinginan matanya, entahlah toh ia sudah lama tidak terlambat ke sekolah. Tangannya meraih handphone yang berada entah dikasur belahan mana.

Ia mendapati Jimin memberikan pesan padanya. Seul Gi berjengit.

"tidak., tidak tidak. Aku tidak boleh tertipu padanya", namun matanya tidak dapat melepas layar handphonenya.

' Apa kau dapat tidur? '

"aniyo, dan itu semua karenamu", jawab Seul Gi mengoceh sendiri.

Pesannya beruntun.

' Aku tidak dapat tidur '

' Aku merasa lega bisa jujur padamu walaupun aku khawatir '

Seul Gi menggigit bibirnya. Pesannya begitu nyata dan membuat dirinya gugup.

' Aku takut kau menolakku '

' Tapi asal kau tahu. Aku tidak akan menyerah walaupun kau menolakku sekarang '

' Tadi adalah ciuman pertamaku. Jagalah baik-baik. Jaljjayeo! '.

Mata Seul Gi membulat dan ia melempar handphonenya otomatis. Suara erangan karena malu membaca pesan terakhir dari Park Ji Min. Ia menutup wajahnya dengan bantal. Kepalanya diserang rasa nyut-nyuttan. Mungkin malam ini tekanan darahnya naik.

Bayangannya terbang pada saat ia bahkan tidak dapat melihat wajah Jimin selain kedua matanya yang terpejam. Seul Gi mengusap bibirnya. Ia merasa debaran dalam dadanya. Namun ia berusaha untuk mengusir hal itu jauh-jauh. Membayangkan Jimin seperti seorang pangeran dari negeri dongeng dan ia hanya seorang upik abu yang selalu sibuk mencari pekerjaan paruh waktu. Mana mungkin Jimin akan tahan menahan malu bersamanya.

Seul Gi berbaring dan menutup wajahnya dengan bantal. Ia akan memaksa matanya untuk tidur. Ia harus membebaskan otaknya dari khayalan-khayalan gila mengenai Park Ji Min dan ciumannya.

***

Pantulan sempurna nampak dari cermin yang membuat Park Ji Min merasa puas dengan pagi ini. Rambut hitam membuat wajahnya semakin terlihat glowing. Ia menyemprotkan parfum disisi bawah telinganya. Membiarkan rambutnya yang sudah agak panjang sedikit acak-acakkan karena ia tidak ingin terlihat seperti murid teladan. Jimin memastikan tampilannya dapat ia banggakan didepan mata perempuan yang masih memiliki keraguan padanya. Ia menjilat bibir bawahnya.

Jimin meraih tasnya lalu pergi keluar dari kamarnya. Kali ini ia akan langsung berangkat. Jimin tidak ingin merusak moodnya yang indah ini dengan melihat ternyata Ayahnya berada di meja makan.

.

.

Semua tatapan tidak henti-hentinya menatap kemana langkah kaki Jimin berada. Ia berjalan dengan rasa percaya diri yang tinggi. Jimin berhenti dibangku yang menghadap ke arah gerbang sekolah. Ia menaruh bokongnya dengan rapih, menyilangkan sebelah kakinya dan menatap lurus ke arah gerbang.

Moodnya yang baik membuatnya lebih mudah tersenyum kepada yang menyapa atau melambaikan tangan padanya. Tidak terkecuali Lee Sung Kyu yang terjingkat melihat Park Ji Min sedang duduk dengan begitu memukau. Sung Kyu mengerjapkan matanya karena saat ia ingin melangkah, Jimin berdiri dan tersenyum ke arahnya.

"Good....", kepala Sung Kyu memutar mengikuti kemana Jimin melewatinya begitu saja. Ia hanya meliriknya sedikit bahkan tidak menatap dengan benar.

Jimin menghentikan langkahnya didepan Seul Gi yang baru memasuki area sekolah.

"anyeong Seul Gi-ah", sapa Jimin dengan senyumnya yang membuat matanya berbentuk bulan sabit.

Pemandangan itu baru pertama kali didapatkan oleh perempuan-perempuan yang benar-benar merasa iri setengah mati pada Seul Gi.

Seul Gi merasa silau dengan semua tatapan-tatapan menusuk ini. Dengan cekatan ia menarik tangan Jimin yang mengikutinya dengan antusias.

Mereka sekarang berada dibelakang sekolah.

"Ada apa sih denganmu? Kenapa kau ada digerbang seperti itu?", sembur Seul Gi.

"Aku hanya ingin menyapamu".

Seul Gi tidak berani menatap wajah Jimin, Takut pipinya akan seperti tomat, "kita bisa bertemu di kelas".

Jimin berdeham dan membenarkan posisinya berdiri, "lalu mengapa kau membawaku kesini? Apa kau ingin berduaan denganku saat pagi hari? ide yang bagus".

"Park Ji Min!".

Jimin membalikkan Seul Gi, membuat Seul Gi berdiri dengan bersandar tembok.

"Sudah ku bilang Kang Seul Gi, jangan membuatku semakin gila dengan sikapmu", Jimin menilik setiap sudut wajah Seul Gi, ia pun berdiri tegak lagi.

Seul Gi akhirnya bisa bernafas saat Jimin memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Keputusan yang salah bagi Seul Gi untuk masuk hari ini.

.

.

Seperti yang Seul Gi terka. Saat makan siang, banyak sekali bisik-bisik dengan menyebut namanya. Park Ji Min juga memilih untuk menghilang. Sehingga Seul Gi harus makan siang sendirian. Seul Gi kira karena mereka sudah tidak bertengkar, atau lebih tepatnya setelah kejadian ciuman itu, Jimin akan bersamanya seperti biasa. Bukan seperti membuatnya mengajak perang perempuan satu sekolah karena tingkahnya.

Lee Sung Kyu menghampiri Seul Gi yang duduk sendirian.

"hai Kang Seul Gi. sudah lama tidak berjumpa", ujarnya lalu ia duduk tepat didepan Seul Gi yang tersenyum.

"iya sudah lama".

"Kau sendirian?", Sung Kyu menusukkan sedotannya ke yoghurt miliknya.

"seperti yang kau lihat", jawab Seul Gi tidak semangat.

"kemana Park Ji Min?".

Seul Gi menggedikkan bahunya, seandainya dia tahu pun Seul Gi pasti tidak sendirian.

Sung Kyu menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat Seul Gi artikan.

"Ada apa?", tanya Seul Gi penasaran.

"Tidak ada", Sung Kyu berdiri dengan yoghurt yang masih ada ditangannya, "kalau kau sudah selesai. tolong sekalian ya".

Seul Gi terkejut dengan ucapan Sung Kyu namun perempuan itu sudah pergi dengan lenggokan badan yang menyiratkan bahwa ia begitu ceria. Seul Gi tidak ingin mengundang lebih banyak perhatian jika ia harus berteriak memanggil nama perempuan itu yang bahkan Seul Gi sendiri tidak mengingat namanya.

.

.

Jimin tersenyum sendiri saat semilir angin membelai lembut wajahnya. Ia terkekeh saat mengingat kejadian pagi tadi. Seul Gi benar-benar memasang tembok tinggi namun bodohnya tembok itu terlihat transparan karena ekspresi Seul Gi yang tidak dapat ia tahan-tahan lagi.

Pipinya yang merah, matanya yang tidak dapat melihat wajah Jimin, maupun kakinya yang sibuk mengusap-usap kaki satunya lagi saat ia berbicara. Sedari malam Jimin diserang oleh pikiran-pikiran yang membuat saraf wajahnya berkembang selalu.

Jimin menghabiskan makan siangnya dibawah pohon besar tempat biasa ia tidur siang akhir-akhir ini. Ia tidak ingin terlalu sering menemui Seul Gi dulu. Jimin benar-benar tidak dapat menahan perasaannya lagi. Jimin tidak pernah membayangkan bahwa menyukai seseorang bisa membuatnya senang seperti ini. Jimin benar-benar dibawah kuasa perasaannya kali ini. Dan ia senang akan hal itu.

***