webnovel

Chapter 4

Pagi hari yang cerah tiba-tiba menjadi hujan lebat. Bukankah ini musim panas? Tapi mengapa hujan?

"Amel... bagaimana? Apa terasa nyaman? Kau senang?" ucap Anjani sambil memutar-mutar botol Vodka kosong. Semburat pink terlihat di kedua pipinya, menandankan bahwa wanita itu tengah mabuk.

Foto seorang wanita berambut orange ada di hadapanya, di berinya bingkai kayu berwarna hitam kelam dan saat terkena cahaya menjadi merah tua seperti giok.

Amel terfoto disana, sebuah foto yang diambil saat ia tengah mengenakan kostum putri yang mengigit mawar merah 10 tahun yang lalu.

Anjani terus memandangi foto putrinya itu dalam keheningan, mengingat-ingat salam terakhir yang di berikan oleh workshop The Wizard yang di bina oleh putrinya itu. Salam terakhir untuk dia yang telah meninggalkan dunia ini...

"Bu Guru Amel... maafkan kami karena membentakmu semalam. Tapi kami begitu karena ucapan Bu Guru juga" ucap Michael yang menaruh sebuah lilin yang menyala di samping jenazah Amel. Wajah wanita itu begitu tenang. Tak tersirat sedikitpun bahwa itu hanyalah tubuh tanpa tuan.

"Istirahatlah dengan tenang" ucap Jis saat gilirannya. Dilanjutkan oleh Sam yang hanya menunduk hormat dan pergi begitu saja.

"Mba Amel... terimakasih sudah menjadi guru pembina kami. Walau singkat tapi menyenangkan, banyak kenangan darimu" ucap Puput. Lilin milik gadis itu di letakkan oleh Daniel yang memasang tampang tenang tanpa mau memperlihatkan kesedihan walau ia ingin menangis di dalam hatinya.

"Bu Guru... terimakasih" ucap Anna dan Pandu bersamaan.

Angel, Markum dan Teguh maju bersamaan dan mengeluarkan sebuah surat yang di letakkan di genggaman tangan kanan yang telah kaku milik Amel.

"Itu tagihan utangmu! Kalau ketemu jangan lupa di bayar!" ucap Teguh menyeringai lebar. Angel dan Markum langsung pergi dan sibuk dengan urusanya, membuat para juniornya bingung dengan tingkah ketiganya.

Ini kan upacara pemakaman guru pembina mereka sendiri.

Yang terakhir maju adalah Sere.

Semua mata tertuju padanya, padahal seluruh murid maupun guru yang berkumpul di aula mengenakan seragam mereka. Tapi tidak dengan Sere, ia gunakan sebuah gaun dengan model abad pertengahan di eropa berwarna hitam kelam. Topi dengan cadar menutupi wajah manisnya dan sepasang sarung tangan berenda warna hitam membungkus ke dua tangannya yang lentik.

Sebuah buket bunga mawar hitam yang di lapisi kertas alumunium hitam di bawanya. Lengkaplah sudah, semua hitam tanpa celah.

Ia berjalan lurus tanpa ragu menuju tubuh Amel berbaring. Di taruhnya karangan bunga mawar hitam itu, sesaat gadis itu terdiam memandangi wajah mantan guru pembinanya itu sampai akhirnya mengucapkan suatu hal sesaat sebelum anak kucing hitam bermata emas datang.

"Amel... sampai nanti ya. Akhir libur musim panas tinggal 3 minggu kok" ucap Sere yang sontak membuat para pelayat berbisik dan membuat suasana menjadi riuh rendah.

"Miaw..." ucap anak kucing hitam itu. Sere berbalik dan langsung membuat wajahnya menunjukkan keterkejutan yang tak dapat disembunyikan lagi.

Tubuh anak kucing itu bercahaya dan mulai berubah menjadi seorang gadis berambut putih panjang dengan warna mata emas

Sere. Keduanya terlihat begitu mirip, perbedaanya hanyalah penampilan.

Sere berwarna hitam, sedangkan gadis itu berwarna putih. Ruangan terasa begitu mencekat. Tak ada seorangpun yang mengucapkan sepatah kata.

Hanya tatapan bingung dengan apa yang terjadi, termasuk Sere. Orang yang secara kebetulan memberi salam terakhir pada jenazah Amel.

"Kau... gadis yang di ruang kesehatan!?" teriak Denis tiba-tiba dan membuat pandangan yang sebelumnya tertuju ke arah podium berbalik ke arah pemuda itu.

Denis teringat akan gadis yang membuatnya lari saat tengah malam itu...

"Senangnya kau mengingatku... kenalkan, aku Kaskiou" ucap si putih itu. Sementara si hitam hanya terdiam terkejut di tempatnya tanpa bergeming sedikitpun.

"Dia Kaskiou?"

"Hantu Kaskiou!"

"Tapi tidak mirip ah"

"Tapi lihat tadi, tadi kan dia cuma seekor anak kucing"

"Apa mungkin hantu benar-benar ada?"

"Itu buktinya"

Ruangan menjadi riuh rendah oleh tanya jawab dari murid kelas 1. Sementara kelas 2 dan 3 hanya diam, menatap lurus ke arah gadis berambut putih yang mengaku bernama Kaskiou itu. Begitu juga dengan para staf pengajar, mereka hanya diam.

"Huf, jahatnya. Padahal aku bersedia datang ke sini karena mau menyampaikan suatu hal" desah Kaskiou sambil memainkan ujung rambutnya yang bergelombang itu. Seulas senyum terlukis di bibirnya yang kemerahan secara alami.

"Apa yang ingin kau sampaikan?" tanya Sere datar setelah berhasil menghilangkan ketakutan yang telah mencengkam nya tadi.

"Cuma mau bilang kalau yang berikutnya mati adalah Pak Chandra"

"APAAA!?"

.

.

"Hehe, apa dia yang membunuhmu Amel?" tanya Anjani begitu ia kembali menuju dunia nyata. Menuang Vodka ke dalam gelasnya yang masih terisi penuh, membuatnya tumpah ke segala arah.

"Bu Anjani... sebaiknya anda istirahat. Sudah jam 12 malam" pinta Rima sembari membawa sebuah selimut bulu berwarna coklat muda. Anjani memandang ke arah gadis berambut hitam pendek yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah sekaligus tangan kanannya itu.

Anjani mengangguk pelan, diambilnya selimut itu dan dengan langkah gontai ia berjalan menuju ruangan disebelah yang merupakan tempat tidurnya.

Rima hanya memandang lirih ke arah Anjani melihat sikapnya itu. Beberapa saat kemudian ia berbalik memandangi foto milik Amel.

"Selamat malam" ucapnya. Tangan kanannya meraih bingkai foto itu dan membaliknya. Seulas senyum menghias wajahnya, "Malam ini siapa yang kau jadikan korban, Kaskiou?"

Anna berjalan di koridor asrama. Pikirannya masih melayang, mengingat kejadian tadi siang. Ia masih tidak sadar bahwa ia berjalan menuju perpustakaan tua tempatnya dimana ia dan yang lain mengadakan cerita hantu. Saat tersadar gadis itu telah berada di ruangan terdalam dari tempat itu dan sorotan lampu senter yang diarahkan kepadanya membuat mata biru langitnya terasa begitu silau.

"Anna?" panggil sang pemilik lampu senter itu.

Sorotan cahaya berpindah ke tempat lain, memudahkan Anna untuk melihat siapa pemilik suara lembut yang terdengar tidak asing.

Dilihatnya seorang gadis berambut biru dengan bunga kertas yang disematkan di rambutnya.

"Kak Angel" sapa Anna. Angel tersenyum simpul dan melambai...

"Sedang apa malam-malam begini?" tanya Angel lembut. Anna hanya menggeleng, ia tak tahu apa yang membuat kedua kakinya melangkah menuju gedung ini. Angel mendengus lembut, berusaha menahan tawanya.

"Begitu ya"

"Kakak sendiri sedang apa?" tanya Anna balik. Angel sedikit berfikir mendengar pertanyaan Anna itu. Kepalanya menjulur menuju gadis berambut pirang di depannya, saat mulutnya berada tepat di dekat telinga Anna, ia berbisik, "Rahasia membuat wanita menjadi wanita".

Anna memandang bingung dengan maksudnya, benar-benar bingung hingga rasa bingungnya beralih ke tempat lain. Tempat dimana ia melihat tengkorak yang berdiri di pintu masuk satu-satunya diruangan itu.

Tengkorak itu melambai pada Anna, Angel tidak menyadari ekspresi ketakutan dari Anna. Gadis itu berjalan menuju sebuah rak buku dan membawa buku tanpa memperdulikan yang lain. Anna terus mematung disana, tak tahu harus apa. Berteriak? Atau berlari? Entah yang mana yang terbaik.

Tengkorak itu terus berjalan menuju arah Anna.

Sedikit demi sedikit tengkorak itu mulai tertutup.

Awalnya hanya sebuah titik merah yang bertambah banyak, membentuk organ, lalu jaringan darah dan akhirnya menjadi manusia sempurna berambut orange panjang. Tapi tidak seperti manusia normal, lebih tepat disebut zombie.

Kedua matanya tak berisi dengan berbagai macam serangga keluar dari sana, terus menerus tanpa henti. Selangkah zombie itu berjalan... semakin banyak luka yang muncul di tubuh zombie itu. Dan saat zombie itu menjulurkan tangannya pada Anna, sebuah tombak menghunus jantungnya. Membuat zombie itu hilang jadi abu dan Anna terjatuh dengan wajah pucat pasi. Angel hanya diam, tersenyum sambil menatap buku di depannya. Buku bergambar seseorang yang di kenalnya, Serenada.