webnovel

Pertemuan

Senja tak terasa begitu cepat menyapa. Arumi dan Charlie tengah berada di halaman resort mereka untuk mengadakan pesta barbeque bersama dengan sahabat dan rekan bisnis Tuan Charles sambil menikmati indahnya pemandangan matahari terbenam. Charlie terlihat sesekali menyapa dan bertukar cerita dengan beberapa anak dari rekan ayahnya sementara Arumi hanya sibuk bermain dengan dua bocah kembar yang berusia sekitar 5 tahun, anak dari salah satu pejabat tinggi dari Rusia.

Sebuah notifikasi membuat ponsel yang di pegang Arumi bergetar. Di liriknya layar ponsel yang menampilkan sebuah artikel tentang pernikahan besar-besaran seorang pengusaha muda asal Indonesia dan seorang model cantik yang tak lain adalah Irgi dan Beverly.

Arumi segera menyeka air mata yang keluar sebelum ada yang menyadari. Perempuan itu memutuskan sedikit menjauh dari kerumunan untuk menumpahkan sakit hati akibat perbuatan dua orang yang paling Arumi percaya. Bahkan belum cukup dua minggu dirinya dan Irgi bercerai, namun sekarang pria itu sudah menikah lagi dengan wanita lain. Mirisnya, istri baru dari mantan suaminya adalah kakak tirinya sendiri. Arumi tidak bisa menampik bahwa meski dia sudah berusaha melupakan Irgi, nyatanya rasa itu belum bisa terhapus dalam waktu yang sebentar.

"Mau kemana Aru ?" Panggil Charlie dari belakang.

"Aku mau jalan-jalan sebentar. Kamu di situ saja, aku gak akan lama kok." Jawabnya tanpa berbalik.

Perempuan tinggi semampai itu segera berjalan tergesa-gesa meninggalkan Charlie sebelum sahabat baiknya itu menyadari bahwa dia sedang bersedih. Arumi tidak mau mengacaukan pesta ini hanya karena sakit hatinya.

"Jangan jauh-jauh !" Teriak Charlie mengingatkan.

Arumi terus berjalan tanpa arah hingga pada akhirnya dia menemukan tempat terbaik untuk bersembunyi di balik bebatuan yang nampak seperti goa kecil. Perempuan cantik itu duduk di sana sambil menekuk kedua lututnya dan menangis tersedu-sedu. Semua beban yang selama ini ia pikul, di tumpahkan dalam tangis yang akan membuat semua yang mendengar merasa ikut pilu.

Dari tempatnya duduk sekarang, Arumi bisa melihat betapa indahnya matahari terbenam yang sama sekali tidak cukup untuk menghiburnya. Kilasan kejadian tentang betapa teganya seluruh orang yang ia sayangi sepenuh hati mengkhianati dirinya berputar terus menerus di otak Arumi. Membuat rasa sakit di dalam hatinya seolah-olah di taburi garam yang membuatnya semakin perih. Lantas, kemana lagi dia harus bergantung ? Tidak mungkin kepada keluarga Aldric. Arumi cukup tahu diri untuk tidak terus-terusan membebani keluarga teman baiknya itu dengan masalah pribadi semacam ini.

Sebuah kepala tiba-tiba saja muncul dari atas Arumi dan sukses membuatnya menjerit histeris. Pemilik kepala itu kemudian tertawa terbahak-bahak lalu melompat turun ke tempat Arumi berada.

"Ekspresimu lucu sekali." Ujar Leon seraya terbahak.

Arumi berdecak kesal lantas mengusap air mata yang tadi bercucuran. Tidak baik memperlihatkan kerapuhan di depan orang asing apalagi itu adalah seorang pria. Setidaknya itu amanat ibu kandungnya sewaktu ia kecil dulu yang masih ia ingat meski sampai sekarang Arumi belum mengerti apa maksudnya.

"Kenapa kau di sini ?" Tanya Arumi heran. Dirinya jelas tahu siapa pria itu. Lelaki yang sama yang tadi siang mengenai kepala sahabat baiknya, Charlie dengan bola. Leon Wyatt Wellington.

Sebelum menjawab pertanyaan perempuan di hadapannya, Leon melangkah lebih dulu dan duduk di samping Arumi. Kedua tangannya memainkan sebuah cangkang kerang yang lumayan besar.

"Ini tempat umum, Nona ! Tidak ada alasan khusus kenapa aku bisa ada di sini."

Arumi memperhatikan pria asing di sebelahnya. Seseorang dengan alis tegas dan mata yang tajam. Cukup tampan bahkan bisa di bilang sangat tampan untuk ukuran seseorang yang cukup mengesalkan bagi Arumi.

"Baiklah, silahkan anda di sini saja. Saya yang akan pergi duluan." Pamit Arumi hendak berdiri. Tetapi, belum sempat ia melakukan hal itu, tangannya di tahan oleh pria tampan yang sudah dua kali membuat Arumi kesal.

"Nanti dulu. Aku masih mau bicara." Tahannya.

"Apa yang ingin anda bicarakan Mr. Wellington ?" Tanya Arumi dengan menahan kesal sembari berusaha melepaskan cengkraman tangan Leon. Sejak tahu siapa pria yang kini tengah memegang pergelangan tangannya, ia hanya ingin berusaha sebaik mungkin menghindari pria itu tanpa membuat masalah. Aru masih cukup waras untuk tidak bermain-main dengan putra penguasa seperti Leon.

Leon melepas pergelangan tangan Arumi dan menampilkan senyum terbaiknya pada wanita Asia yang menurutnya sangat unik itu.

"Panggil saja Leon. Tidak usah terlalu formal padaku. Duduklah sebentar saja." Mata Leon memandang penuh arti pada Arumi. Sebuah pandangan yang tidak bisa di mengerti oleh perempuan cantik itu.

Entah terkena angin apa, Arumi menurut ketika Leon menyuruhnya duduk kembali. Mata indahnya menatap wajah pria itu sekali lagi yang menurut Arumi memancarkan aura kebebasan tanpa ada beban. Seolah-olah senyum yang terpatri di wajah tampan itu mampu menepis segala persoalan hidup yang dia punya.

"Kenapa melihatku begitu ?" Tanya Leon menggoda Arumi.

Wajah memerah Arumi karena kepergok mencuri pandang pada pria di sebelahnya segera ia palingkan ke arah lain. Matanya berkedip beberapa kali mengusir rasa malu yang hinggap pada dirinya karena terciduk.

"Tidak apa-apa" Kilahnya. Mata indah itu memandang lekat pada matahari terbenam yang mungkin sebentar lagi akan benar-benar lenyap berganti bulan.

"Siapa namamu ?" Tanya Leon dengan senyum memikatnya.

"Arumi Liem." Jawab Aru singkat.

Leon mengangguk-anggukkan kepalanya seraya menggumamkan nama Arumi berulang kali.

"Kenapa kamu menyebut namaku terus ?" Protes Aru.

"Agar aku tidak lupa jika suatu saat kita bertemu lagi di lain tempat."

Merasa geli dengan jawaban berlebihan dari Leon, Arumi tanpa sadar tertawa sendiri. Ternyata pria yang berada di sampingnya ini tidak semenyebalkan yang ia pikir.

"Kamu cantik jika tertawa." Puji Leon kemudian.

Perempuan di sampingnya langsung menoleh heran dan menghentikan tawa manis itu. Membuat seorang Leon merasa sedikit kecewa.

"Jangan merayuku, Mr. Wellington !"

"Terserah kamu menganggapnya apa. Tapi aku serius. Kamu sangat cantik saat tertawa di banding menangis seperti tadi."

Mata Aru membulat tak percaya ketika kalimat itu terlontar dari mulut pria di sampingnya. Jadi, Leon tadi sudah melihat semuanya kan ? Bagaimana jika dia memberitahu Charlie dan keluarganya ?

"Aku mohon ! Jangan beritahu siapa pun tentang hal tadi."

"Kenapa ?" Tanya Leon dengan alis terangkat.

"Aku hanya tidak mau keluarga Charlie memgkhawatirkan aku lagi."

"Tapi ada syaratnya."

"Apa ?"

"Jadilah temanku !" Ucap Leon dengan tangan terulur.

Tanpa pikir panjang, Arumi menerima uluran tangan Leon. Perempuan itu menyatakan sepakat pada syarat yang Leon ajukan asal Leon bisa memenuhi janjinya. Meskipun ada sedikit ragu dalam hatinya mengingat Leon adalah orang asing yang baru saja ia kenal. Tapi tidak apa-apa bukan ? Tidak mungkin Leon orang jahat sedangkan keluarganya adalah bangsawan terhormat yang di segani. Seharusnya, Arumi tidak perlu merasa was-was akan hal itu. Kan hanya teman.