webnovel

Selembar Surat Kontrak

Rara sangat putus asa mengenai masalah keuangannya. Demi kelangsungan hidupnya, Rara bersedia menjual Ginjalnya kepada Seorang Kakek yang kaya raya. Namun, bagaimana jika kakek tersebut meminta Rara untuk menikahi cucunya? Rey yang putus asa mencarikan donor ginjal untuk kakek mendapatkan sebuah harapan dari seorang wanita yang mau memberikan ginjalnya. Namun kakek meminta Rey untuk menikahi wanita itu sebagai permintaan terakhir dari kakek. Rey dan Rara pun setuju untuk menikah namun Rey sudah menggaris bawahi pernikahan ini. Bahwa pernikahan ini hanya Sebuah Kontrak. Mereka sepakat untuk tidak saling jatuh cinta. Namun jauh dalam hati, Rey sudah memiliki cinta untuk Rara.

An_Autumn · Urban
Not enough ratings
311 Chs

Kebetulan atau Takdir?

Rey masih tak percaya pada apa yang didengarnya. Alex mengatakan bahwa ada seorang wanita yang bersedia memberikan ginjalnya kepada kakek. Kenyataan ini masih sulit untuk dimengerti. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak Rey. Rey bertanya-tanya darimana wanita itu tau tentang hal ini. Apakah wanita itu sudah siap dengan segala resikonya. Apakah wanita itu sangat membutuhkan uang sampai berani melakukan semua ini. Semua pertanyaan itu sangat mengganggunya. Merasa frustasi, Rey mengacak-ngacak rambutnya. Berjalan mondar-mandir di kamar apartemennya dan terus mendecakkan lidah. Dengan cepat Rey mengambil ponsel di meja kerjanya dan langsung menghubungi seseorang. Betapa sabarnya Rey harus menunggu panggilan telepon ini tersambung. Panggilan pertama tidak diangkat, Rey kembali melakukan panggilan. Akhirnya telepon disebrangnya sudah tersambung.

"Kenapa lama kali sekali kau mengangkat telepon dariku. Kau dimana. Aku tunggu sekarang di Cafe biasa." Tandas Rey langsung menutup sambungan telepon. Rey tidak memberikan kesempatan bicara untuk telepon disebrangnya. Meraih kunci mobil dan bergegas pergi ke Cafe.

Kei tak lagi habis pikir tindakan Rey barusan. Langsung menutup sambungan telepon tanpa memberikan kesempatan bicara kepada orang disebrangnya. Tak ingin membuang waktu dengan pikiran sia-sia, karena memang begitulah Reygan Samudra. Kei pun mengambil kunci mobil di atas meja kerjanya dan berangkat menemui Rey di tempat mereka biasa bertemu. Cafe My Taste.

****

Terdengar bunyi pintu digedor-gedor, semakin kuat terdengar tanda tak sabaran dari sang penggedor pintu kepada sang pemilik rumah untuk membukakan pintunya.

"Lola, sepertinya ada yang menggedor pintu, cobalah kau lihat siapa yang datang sepagi ini." Rara menggoyang-goyangkan tubuh Lola agar Lola terjaga dari tidurnya.

"Kau sajalah, aku masih sangat mengantuk ini. Aku baru dapat libur setelah 2 minggu aku bekerja terus-menerus." Jawab Lola enggan untuk bangun dari kasurnya.

Rara melihat jam diatas meja yang menunjukkan pukul 11.00 wib. Masih pagi. Tak mengerti mengapa ada saja orang yang mengganggu di pagi hari seperti ini, membuat orang jadi terjaga dari tidur lelapnya. Terdengar pintu yang semakin keras digedor-gedor mungkin jika mereka tidak keluar juga dalam waktu beberapa menit saja, sang penggedor pintu pasti akan mendobrak pintunya. Rara segera bangkit dari membangunkan Lola yang tak ada hasilnya dan terhuyung-huyung berjalan menuju pintu. Rara memutar kenop pintu. Dan terlihatlah siapa yang sedari tadi menggedor pintu seperti orang yang sedang meluapkan kemarahan. Ibu pemilik kontrakan. Ibu Mirna. Memang sepertinya sedang marah. Pikir Rara.

"Selamat pagi bu. Ada apa ya bu, ibu sampai membangunkan Rara dari tidur lelap loh" ucap Rara sambil tersenyum manis.

"Apa ini masih terlihat pagi, sudah jam berapa ini. Padahal ini sudah siang, memang anak muda sukanya membuang waktu percuma" kata Ibu Mirna sinis sambil menatap Rara dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rara merasa seperti dikuliti oleh tatapan Bu Mirna. Seenaknya mengatakan anak muda suka membuang waktu percuma. Sungguh terlihat betapa masa mudanya sangat membosankan. Pikir Rara jengkel. Tapi Rara harus bermanis-manis dan bersikap kooperatif. Bu Mirna datang pasti untuk meminta uang sewa kontrakan. Rara sudah yakin itu.

Tapi pukul 11.00 wib masih termasuk pagi bukan. Oke sepertinya bagi Rara memang masih termasuk pagi. Tapi bagi Bu Mirna jam 11.00 wib sudah menunjukkan waktu siang sehingga dia beranggapan anak muda yang baru bangun jam segitu suka membuang waktu percuma dan tidak ada kerjaan. Memang pikiran orang tua sangat bertolak belakang dengan anak muda.

"Ah bagi saya ini masih pagi bu. Bagaimana kita bicara di dalam saja?" tawar Rara agar kekesalan diwajah Bu Mirna agak menghilang.

"Tidak perlu berbasa basi. Saya tau kamu pasti tau kalau saya datang karena apa. Tentu karena ingin menagih uang sewa kontrakan. Jangan banyak alasan lagi. Saya sudah cukup memberikan waktu untuk kalian. Sudah 3 bulan terakhir kalian belum membayarnya. Padahal saya sudah kasih potongan untuk kalian. Masih saja menunggak. Kurang baik apalagi saya. Banyak yang menginginkan rumah ini. Sudah berapa orang yang menghubungi saya untuk mengontrak disini" tandas Bu Mirna dengan berapi-api menyebabkan napasnya naik turun karena terengah-engah.

Memang benar sudah dikasih potongan tapi setelah dipotong masih sangatlah banyak yang harus dibayar. Rumah kontrakan yang terdiri dari 2 kamar tidur. Yang satu kamar dengan kamar mandi dalam, 1 kamar mandi luar, ruang tamu, dapur, teras dan tempat untuk parkir. Namun tempat ini sangat strategis, dekat dengan tempat kerja Lola serta terjangkau jika ingin kepasar, kesekolah, dan halte bus yang dekat sehingga sangat memudahkan jika ingin berpergian. Wajar jika harus membayar agak mahal. Namun sekarang ini semuanya terasa berat. Sewaktu Rara masih bekerja, Rara lah yang membayar uang sewa kontrakan. Lola membantu untuk membeli keperluan dapur. Sudah 3 bulan Rara menganggur dan selama itu pula Rara belum membayar uang sewa.

"Bu, tolong kasih kami waktu lagi ya bu. Saya mohon bu, saya pasti akan bayar lunas bu. Saya janji kali ini pasti saya akan bayar. Asalkan ibu kasih saya waktu lagi. Cukup seminggu aja bu, ibu kan tau saya kemarin menganggur. Tapi kali ini saya sudah mendapatkan pekerjaan bu. Untuk terakhir kalinya saja bu. Kasih kami waktu lagi" Rara memohon sambil memelas-melas berharap Bu Mirna luluh dengan kemelasan Rara. Rara katakan dirinya sudah dapat pekerjaan padahal pekerjaan yang dimaksud Rara adalah menjual ginjalnya. "Ah sudahlah, aku tak peduli" batin Rara. Sangat lama bu Mirna berpikir akhirnya ia pun setuju

"Baik, saya akan kasih kalian waktu seminggu lagi. Kalau sampai saat itu belum bayar juga. Silahkan angkat kaki dari rumah ini." jawab Bu Mirna seraya meninggalkan Rara yang meletakkan tangan kanannya ke dada menandakan dirinya sangat lega. Jika saja mereka diusir hari ini, maka Rara tidak tau lagi kemana mereka harus pergi.

Rara sudah tak peduli lagi akan resiko yang ia terima ketika transplantasi ginjal. Hari ini ia akan melakukan pemeriksaan, Rara hanya berharap semoga hasilnya cocok.

"Aku sudah mendengar semuanya. Aku akan membayarnya untuk satu bulan dulu bagaimana?" kata Lola cemas melihat Rara yang habis dimarahi Bu Mirna.

"Tidak apa, uang mu itu kirimkanlah ke ibumu. Pasti ibumu lebih butuh. Apa ayah mu masih sering memukuli ibumu?" Rara tak habis pikir pada ayahnya Lola. Memang bukan Ayah kandung tapi apakah pantas memukuli istrinya, setiap Lola pulang kerumah orangtuanya, Lola pun akan ikut terkena pukulan ayah tirinya itu.

"Ya begitulah, dia tak pernah berubah. Aku ingin segera membawa ibu pergi. Kau tak perlu khawatir aku yakin ibuku akan baik-baik saja." Lola tersenyum pedih. Saat ini dikeluarganya hanya ada dirinya, ibu dan ayah tirinya. Lola juga sama seperti Rara tidak memiliki saudara. Ayah tirinya masih sering berjudi, ketika tidak bisa membayar uang yang jadi taruhan maka akan dianggap sebagai hutang. Hutang itulah yang Ibu Lola berjuang untuk melunasinya. Begitupun Lola. Jika mereka tidak membayar maka para rentenir itu akan datang. Tetapi ayah tirinya Lola juga tak berubah, masih sering berjudi dan minum-minuman keras.

"Aku akan melakukan tes pemeriksaan hari ini. Aku harap hasilnya cocok, jadi kita bisa atasi masalah keuangan kita. Semoga aku bisa mendapatkan banyak uang dari mereka, sehingga aku bisa membantu mu melunasi hutang ayah tiri mu. Aku hanya tak ingin Ibumu di pukul terus-menerus." Rara menggenggam tangan Lola untuk memastikan semuanya baik-baik saja.

"Kau tak perlu melakukannya. Tapi aku juga tak bisa terus mencegah mu melakukan yang kau ingin lakukan. Kuharap semuanya baik-baik saja" ucap Lola sambil menatap kedua mata Rara. Melalui tatapan mata Rara, Rara meyakinkan Lola bahwa semuanya akan baik saja, dan Lola tak perlu khawatir.

"Aku akan siap-siap untuk pergi kerumah sakit. Kau istirahatlah, ini hari liburmu kan. Gunakan waktu ini untuk tidur seharian, tidak perlu melakukan apapun." tawa Rara sambil berjalan menuju kamarnya.

****

"Jadi apa yang ingin kau katakan. Aku tidak punya banyak waktu." kata Kei seraya menyeduh kopinya.

"Alex bilang kalau ada seorang wanita yang akan mendonorkan ginjalnya untuk kakek. Dan hari ini dia akan melakukan tes pemeriksaan apakah cocok atau tidak. Aku hanya bingung kenapa dia mau melakukan hal ini, aku bertanya-tanya apakah alasan dia melakukan semua ini karena uang atau karena hal yang lain. Aku hanya tak mengerti." Jawab Rey yang sedari tadi hanya melihat gelas kopinya.

"Kurasa kau tak punya hak untuk tau apa alasan dia mau melakukan ini. Jika memang benar karena uang, lebih baik kau berpura-pura tidak tau. Karena kau tidak tau apa yang dia lewati sehingga berani mengambil keputusan ini. Jangan melewati batas Rey, kau cukup memberikan apa yang dia minta dan kau pun akan mendapatkan yang kau inginkan." Kei mengatakannya dengan sangat tenang. Kei melanjutkan pembicaraannya, dia mengatakan bahwa apapun alasan wanita itu mau melakukannya, itu bukanlah urusan Rey, karena bisa jadi wanita itu memiliki alasan yang tak ingin dikatakannya pada orang lain.

"Jadi begitu ya. Mungkin kau benar, aku sebaiknya tidak memikirkan apa alasan wanita itu melakukan ini." Rey memandang kosong pada gelas kopinya. Semua kemungkinan-kemungkinan berkecamuk dalam pikirannya.

"Kau hanya perlu fokus untuk kesembuhan kakek. Lalu kapan wanita itu akan melakukan tes pemeriksaan?" Kei langsung meneguk habis cappucino miliknya.

"Alex mengatakan hari ini akan melakukan pemeriksaannya. Aku akan datang juga untuk melihat wanita itu." Rey pun segera menyesap kopi hitamnya. Entah mengapa diantara Rey, Beno dan Kei. Hanya Rey sendiri yang menyukai kopi hitam

"Baguslah. Semoga hasilnya cocok. Aku akan pergi sekarang, pekerjaan ku banyak sekali Rey. Aku tidak seperti mu yang tinggal menyuruh-nyuruh orang saja. Dan juga aku akan membayar untuk ini." Kei terkekeh-kekeh seraya pergi menuju meja kasir.

****

Rara sudah sampai di rumah sakit, dan segera menghubungi Dokter Alex. Kemarin Dokter Alex menghubunginya untuk mengatakan bahwa Rara bisa melakukan tes pemeriksaan hari ini. Degup jantung Rara tak karuan, takut-takut ia melakukan tes itu. Selama ini Rara merasa sehat-sehat saja, tidak ada masalah fisik namun hanya masalah psikologis. Semoga saat tes nanti, PTSD Rara tidak kambuh, karena jika sampai itu terjadi, Rara tidak akan memaafkan dirinya. Ini pasti akan berjalan dengan mudah. Pikir Rara menguatkan diri.

"Kau sudah sampai. Ayo kita bicara diruangan saya. Karena ada yang ingin bertemu dengan mu" kata Dokter Alex menghampiri Rara. Mungkin itu keluarga kakek ini. Pikir Rara acuh tak acuh.

Rara sudah berada di ruangan Dokter Alex. Terlihat seorang pria kelihatan berumur pertengahan tiga puluhan sedang duduk membelakangi Rara. Seketika pria itu menoleh kearahnya. Betapa terkejutnya Rara, karena pria itu adalah pria yang sama dengan yang ia temui di pinggir sungai malam itu. Pria-yang-hampir-membuatnya-terjungkal. Begitulah Rara menyebutnya

Hal yang sama juga dirasakan Rey. Bingung bercampur senang, karena wanita yang dimaksud adalah wanita yang pernah ia temui malam itu di Banjir Kanal Barat.

"Jadi wanita yang dimaksud itu adalah kau. Aku tidak menyangka." Rey membuka percakapan terlebih dahulu, masih terlihat jelas keterkejutan dalam nada bicaranya.

"Ya, kau benar. Aku juga tidak menyangka. Ternyata kakek ini adalah kakek mu." Rara menjawab seadanya. Lalu tanpa disadari Rara, Rey sudah menggenggam tangannya seraya keluar dari ruangan Dokter Alex. Dokter Alex yang melihat itu sangat terkejut dengan tindakan Rey. Bukan hanya terkejut tentang fakta bahwa mereka telah mengenal melainkan karena ini pertama kalinya dokter Alex melihat Rey dekat dengan seorang wanita. Rara pun mencoba untuk menyadarkan diri, dengan menghentakkan tangannya agar lepas dari genggaman Rey. Namun genggaman Rey sangat kuat sampai Rara tak sanggup melepaskannya.

"Kau mau membawaku kemana. Lepaskan aku. Jika ada yang ingin kau bicarakan. Bicarakan saja. Jangan membawa ku seperti ini." Rara mencoba lagi melepaskan tangannya namun tak bisa.

Barulah Rara sadari jika Rey membawanya ke taman rumah sakit. Rey pun melepaskan genggamannya.

"Jadi maksud pertanyaan yang kau katakan malam itu adalah tentang ini. Apakah kau terpengaruh dengan apa yang ku katakan malam itu. Aku tak mengerti, ku kira pertanyaan itu hanya perumpamaan saja." kata Rey sambil mendecakkan lidah dan mengusap wajahnya dengan kasar. Rey terlihat sangat marah.

"Kau mengatakan pada ku, tak perlu alasan untuk melakukan sesuatu. Jika kau ingin melakukannya lakukan saja, jika kau ingin melakukan donor itu lakukan saja. Kau yang bilang begitu padaku. Dan berkat itu aku bisa memutuskan untuk melakukannya. Lalu kenapa kau sangat marah." tanpa sadar Rara meninggikan suaranya, dia pun ikut tersulut emosi melihat Rey yang seperti ini. Rara tidak tahu kalau kakek yang akan Rara berikan ginjalnya adalah kakek Rey.

"Aku hanya tak tau harus bahagia atau sedih. Apa kau tau, setelah melakukan operasi transplantasi ginjal, bisa saja terjadi hal yang tidak diinginkan. Apa kau tidak memikirkan resiko apa yang akan kau terima. Atau kau sudah memutuskan untuk menerima semua resikonya." Rey berkata dengan nada tinggi. Terlihat jelas bahwa dia saat ini sedang kalut dengan perasaannya sendiri. Rey menyadari bahwa seorang wanita yang memutuskan untuk mendonorkan ginjalnya ketika dia sedang mengandung bisa terjadi pre-eklampsia. Dan Rey tak ingin hal itu terjadi pada wanita ini. Karena pre-eklampsia bisa berakibat fatal pada ibu dan bayinya.

"Aku sudah memutuskan untuk menerima semua resikonya. Kau jangan membuat ku berubah pikiran lagi." Rara ingin menangis, jika boleh berkata jujur dia sendiri tak benar-benar siap dengan segala resikonya namun ini adalah keputusannya. Dia tak ingin menyesali apapun.

"Aku tak tau apa ini hanya sekedar kebetulan atau takdir. Tapi aku percaya tentang keajaiban." gumam Rey sambil menatap Rara yang seperti ingin menangis.

"Apa maksudmu? Aku tak mengerti." Sebelum sempat Rara melanjutkan kata-katanya, dirinya sudah berada dalam pelukan Rey. Rara tak mengerti mengapa Rey melakukan ini, karena bisa saja membuat Rara jadi salah paham. Namun dirinya sudah tak tahan lagi, dan menumpahkan tangisannya. Rara menangis dalam pelukan Rey. Dibawah kerindangan pohon-pohon di taman rumah sakit, angin yang berhembus sepoi-sepoi, dan keheningan sekitar. Hanya satu yang bisa Rara dengar. Suara detak jantung Rey. Dan itu semakin membuat Rara menangis.