webnovel

Ciuman Untuk Satu Gelas Kopi

"Nikahi aku dulu!" Arisha membalas tantangan Erland dengan tantangannya yang jauh lebih menantang.

Erland tertawa kecil. Tak disangka Arisha begitu berani meminta agar Erland menikahinya.

"Apa kau gila Nona Arisha?"

"Tidak, syarat anda tadi bisa ku penuhi setelah anda menikahi saya." Wajah Arisha tampak serius. Perkataannya bukan sebuah lelucon atau kebohongan.

"Jadi kau ingin memaksaku menikahimu dengan cara jadi sekretarisku?"

"Tidak, tapi syarat yang anda ajukan tadi harus ku penuhi dengan menjadi istri anda." Meskipun lelaki di depannya bukan tipe Arisha tapi dia tidak boleh kalah dengan lelaki yang ingin mempermainkannya. Tak rugi juga bila Arisha jadi istrinya dari pada harus bersentuhan sebelum menikah dan menanggalkan hijabnya di depan yang bukan mahromnya.

Erland bertepuk tangan. Semua syaratnya terbantahkan dengan satu kalimat dari Arisha. Neneknya memang hebat sudah mengutus wanita pintar seperti Arisha yang bisa membuatnya tak berkutik.

"Bagaimana? Mari kita menikah Bos!" Arisha menantang Erland. Meski jantungnya berdebar tak karuan. Dia takut Erland akan mengatakan iya.

"Oke, aku menyerah. Mana mungkin menikahi wanita yang bukan tipeku sama sekali. Dan itu kau!"

Arisha tersenyum tipis. Lelaki menyebalkan itu sudah dijinakkan untuk langkah awalnya. Setidaknya dia bisa bernafas lega untuk saat ini.

"Tapi ingat! syarat keempat dan kelima harus kau lakukan!"

Arisha mengangguk. Syarat itu masih bisa ditolerir olehnya. Yang terpenting tiga syarat yang tidak sesuai dengan nuraninya sudah bisa disingkirkan.

"Sekarang apa tugasku Bos?" tanya Arisha.

"Aku ingin kopi, tidak boleh manis dan jangan pahit, apalagi hambar," ujar Erland.

"Siap Bos!" sahut Arisha.

"Aku memberimu waktu lima belas menit, kau sudah harus ada di sini," ancam Erland. Ini perintah untuk yang pertama. Dia ingin tahu apakah Arisha bisa mengerjakan apa yang diperintahkan padanya.

"Oke," jawab Arisha. Bangun dari kursi. Berjalan meninggalkan lelaki tampan yang duduk dengan arogan.

"Jika kau belum kembali, cium aku dengan bibir merah delimamu!" ancam Erland.

Arisha yang hendak memutar gagang pintu langsung terhenti. Tersenyum tipis. Rupanya Erland masih ingin bermain-main dengannya.

"Baik Bos, aku akan menciummu dengan buas jika terlambat sedetikpun," jawab Arisha yang masih berdiri membelakangi Erland. Kemudian dia memutar gagang pintu itu. Ke luar dari ruangan bosnya.

"Di mana pantry?" Arisha belum sempat mempelajari denah perusahaan itu. Dia tidak tahu letak pantry ada di sebelah mana. Arisha berlari seperti dikejar massa.

"Tanya Arisha!" Ide di otaknya mulai muncul dengan cepat. Dia mencari orang yang bisa ditanyai olehnya.

"OB." Arisha berlari ke arah OB yang sedang mengepel di lantai 25 itu.

"Kak maaf, pantry ada di mana?" Arisha bertanya dengan terburu-buru.

"Di lantai 24 Kak." OB itu menjawab santai. Dia menatap Arisha yang belum pernah ditemuinya.

Erland memang sengaja meniadakan pantry di lantai 25, karena lantai itu dikhususkan untuk ruangan CEO, ruangan akunting dan ruang sekretaris. Dia ingin lantai 25 lebih indah dan sedap di pandang mata.

"Makasih ya." Arisha langsung berlari menuju lift. Sayangnya lift masih ada di lantai 35. Sedangkan lift yang satunya ada di lantai 2. Arisha melihat jam di tangannya.

"Astaga, sudah 4 menit." Arisha tidak mungkin menunggu lift turun dan naik. Dia kembali berlari menuju tangga. Menuruninya dengan cepat. Dia berlari secepat mungkin, waktu yang dia punya tak banyak, terlambat sedikit saja, dia harus siap mencium bosnya dengan ganas.

"Aku harus cepat!" ucap Arisha berlari menuju pantry. Beberapa orang karyawan melihat Arisha, mereka merasa aneh. Ada seorang wanita berhijab lari terbirit-birit seperti orang yang dikejar maling.

Arisha terus berlari sampai kakinya tergelincir. Itu membuat Arisha tersungkur ke lantai.

Bluuug ...

"Aw ..." Tubuhnya tengkurep di lantai. Arisha berusaha bangun. Rasa sakit tidak membuat Arisha berputus asa, dia langsung duduk dan memeriksa kakinya.

"Pantas saja aku jatuh, heels-ku patah," gerutunya. Ternyata heels di bagian hak tingginya patah satu, untuk mengakalinya Arisha mematahkan hak pada heels yang satunya.

"Masih bisa dipakai." Arisha bukan wanita cengeng. Selalu ada solusi dikala sulit. Mengeluh tidak akan menyelesaikan masalahnya.

Arisha bangun. Membersihkan bajunya dari debu kemudian berlari kembali menuju pantry.

Braaak ...

Pintu pantry dibuka dengan kencang. Arisha berdiri di depan pintu dengan nafas yang tersengal-sengal. Matanya menatap ke depan dengan tajam. Beberapa OB yang ada di dalam pantry terbelalak melihat Arisha. Seperti melihat jombie yang ada di film-film horor.

Arisha segera mengatur nafasnya. Dia berjalan dengan cepat ke dalam. Tanpa berkata apapun Arisha langsung menuju kitchen set yang ada di pantry. Dengan cepat tangannya bergerak. Membuat kopi untuk bosnya. Dia ingat betul permintaan lelaki menyebalkan itu.

"Huh!" Arisha menghela nafasnya. Kembali berjalan ke luar pantry dengan membawa nampan berisi kopi pesanan bosnya.

Tak lupa Arisha melihat jam di tangannya sambil berjalan di lorong lantai 24.

"Masih 6 menit lagi, aku harus segera sampai di lantai 25." Arisha berjalan menuju lift. Untung nasib berpihak padanya kali ini. Dia masuk ke dalam lift kosong.

Arisha membuang nafas leganya. Seakan mendapatkan oase di padang pasir. Lift kosong itu menjadi tiket untuk menyelamatkan dirinya dari ciuman buas yang dijanjikannya.

Arisha ke luar dari lift. Melihat jam di tangannya.

"Masih satu menit lagi. Aku harus cepat!" Arisha berjalan dengan cepat. Secepat yang dia mampu. Kakinya tidak lagi mengenakan heels yang ada haknya. Dia bisa berjalan lebih cepat. Sayangnya ada seorang karyawan yang menubruk Arisha dari belakang. Nampan jatuh ke lantai beserta cangkir di atasnya.

"Maaf." Orang yang menubruk Arisha langsung pergi begitu saja setelah dia mengucapkan permintaan maafnya.

"Astagfirullah," ucap Arisha melihat nampan dan cangkir jatuh ke lantai. Padahal tinggal selangkah lagi dia bisa membawa kopi itu ke tangan lelaki yang menyebalkan.

Arisha melihat jam di tangannya. Tinggal lima satu menit lagi. Dia menggeleng tak mungkin kembali ke lantai 24.

Arisha berjalan dengan lesu menuju ruangan CEO. Namun matanya tak sengaja melihat seorang OB membawa nampan yang berisi kopi. Arisha langsung mengambil kopi itu. Mencicipinya dengan menuang air kopi itu ke telapak tangannya.

"Kurang sedikit manis." Arisha berpikir lelaki menyebalkan itu akan komplain jika tidak sesuai keinginannya. Untung saja otaknya encer. Baju yang dikenakannya itu belum sempat dicuci sejak interview minggu kemarin. Masih ada gula sachet kecil di dalam kantung celananya. Gula yang didapat dari kantor tempatnya interview.

"Lumayan." Arisha memasukkan gula itu ke dalam cangkir sesuai takaran yang diinginkan Erland. Tangannya dengan terampil mengaduk dengan cepat. Kemudian dia buru-buru membawa kopi itu masuk ke dalam ruangan CEO.

"Bos kopinya sudah siap." Arisha membawa kopi itu dengan senang hati. Setidaknya tiba pada tepat waktu.

"Letakkan di meja!" Erland menatap Arisha dengan tajam. Tak disangka sekretaris barunya berhasil membawa kopi itu dengan tepat waktu.

Arisha meletakkan kopi di atas meja. Dia berdiri di samping meja, menunggu Erland meminum kopinya.

"Silahkan diminum Bos!" Arisha tersenyum. Padahal dia sangat lelah. Kakinya juga sakit karena jatuh tersungkur di lantai.

"Kalau tidak sesuai ekspektasiku, kau siap menciumku dengan buaskan?" Erland menatap dengan licik wajah cantik yang tampak tegang.

"Habis aku kalau gak enak. Mana belum pernah ciuman lagi," batin Arisha ketakutan. Lebih baik disuruh push up tiga puluh kali dari pada mencium Erland dengan buas.

Erland menatap dingin wanita berhijab itu. Tangannya mengambil cangkir berwarna putih di atas meja. Mengangkat ke udara dan menyeruput kopi hangat itu dengan perlahan.

Arisha terlihat gugup. Dia takut rasa kopinya tidak sesuai dengan permintaan Erland. Meskipun dia sudah mencicipinya.

"Semoga kopinya sesuai keinginannya, kalau tidak masa iya aku berciuman panas dengannya, mana ini ciuman pertamaku. Haruskah aku berciuman dengannya?" batin Arisha yang tak tenang. Dia sudah membayangkan jika terpaksa berciuman panas dengan Erland.