webnovel

Dada Terbuka

Eland terdiam. Masih memegang cangkir kopi di tangannya. Lidahnya masih menikmati rasa kopi yang baru saja diteguk. Sedangkan Arisha tampak resah.

"Kopinya enak, tapi ..." Satu pujian diawal hanya saja diakhiri dengan kata tapi. Membuat Arisha yang baru mengelus dadanya kembali dibuat tegang.

"Tapi apa Bos?" tanya Arisha. Lelaki menyebalkan itu pasti tidak akan melepaskannya begitu saja. Melenggang dengan tenang sebagai sekretarisnya.

"Tapi kenapa dengan dadamu?" tanya Erland menatap ke depan. Ke arah dada Arisha. Seketika jantung Arisha berdebar kencang saat Erland menatap dadanya. Dia berpikir Erland memikirkan hal jorok yang biasa dipikirkan lelaki saat melihat wanita.

"Dada? Anda tidak sedang memikirkan ukuran dada sayakan?" tanya Arisha. Otaknya yang justru jalan-jalan entah ke mana.

Erland tersenyum tipis. Dia tak menyangka Arisha sudah kepedean duluan padanya.

"Ukuran dadamu kecil mana mungkin aku memikirkannya," jawab Erland.

"Astaga, memalukan sekali ucapanku tadi," batin Arisha. Dia hanya tersenyum meringis.

"Kau sengaja menggodaku?" tanya Erland. Dia menatap ke arah depan tepat ke dada Arisha.

"Menggoda?" Arisha masih belum mengerti maksud perkataan Erland. Dia tidak mungkin menggoda lelaki mesum di depannya.

"Lihat dadamu! Apa seperti itu penampilan seorang sekretaris?" tanya Erland sambil menunjukkan ke arah dada Arisha.

"Dada?" Arisha menengok ke bawah. Kancing kemejanya terbuka. Ada tiga kancing yang terlepas. Kaos dalam bergambar hello kitty terlihat jelas dan masih ada label-nya yang memanjang ke bawah.

Arisha langsung berbalik. Malu sekali untungnya bagian belahan dadanya tidak terlihat. Tertutup oleh hijab. Hanya kaos dalam yang terlihat sebagian.

"Hari pertamaku, memalukan sekali, pasti sudah terbuka sejak tadi. Atau jangan-jangan sejak terjatuh di lantai tadi," batin Arisha. Hari ini seharusnya dia memberi kesan memukau malah kacau balau. Arisha kembali mengancingkan kemejanya.

"Sampai kapan kau akan berdiri di situ?" tanya Erland menatap Arisha yang membelakanginya.

"Iya Bos," sahut Arisha kembali berbalik. Menatap Erland.

"Siang ini ada meeting, kau harus menyiapkan semua keperluanku untuk meeting!" titah Erland.

"Siap Bos!" jawab Arisha. Akhirnya dia bisa bernafas dengan lega. Erland sudah bisa menerimanya sebagai sekretaris pribadinya.

***

Sore itu Arisha ke luar dari perusahaan. Dia berjalan di tepi jalan. Kedua netranya melihat jalanan yang mulai ramai dipadati berbagai kendaraan pribadi maupun kendaraan umum.

"Sebaiknya aku naik bus, berhemat. Gajian masih lama belum tentu aku mampu menaklukan dinosaurus itu," ucap Arisha. Hari ini baru hari pertamanya bekerja. Belum tentu dia bisa bertahan menghadapi Erland yang sepertinya sengaja memberinya perintah yang menyulitkannya.

Arisha berdiri di halte. Setelah bus datang, dia bergegas naik ke dalam bus. Duduk bersandar ke kursi. Hari ini sangat lelah. Dia butuh tempat bersandar untuk menghilangkan penatnya.

"Aku harus bisa menaklukan dinosaurus itu, buktikan kalau aku mampu. Demi ibu! Erland lihat saja! Kau akan mengemis cintaku," ujar Arisha. Dia tersenyum. Mungkin lucu jika Erland mengejar-ngejar cintanya apalagi mengemis cintanya. Dia menutup bibirnya yang sempat melengkung bagai bulan sabit.

Bus terus melaju ke tempat tujuan. Matahari mulai terbenam. Sore berganti malam. Arisha berjalan di gang-gang sempit. Masuk ke dalam kontrakkan-kontrakan yang berjejer. Arisha tinggal di sebuah rumah kecil yang disewanya. Rumah itu hanya ada dua kamar, ruang tamu, dapur dan toilet. Rumah yang disewa Arisha menempel dengan beberapa kontrakkan di sampingnya. Dia tinggal bersama ibunya sejak meninggalkan rumah besar ayahnya. Kedua orangtuanya sudah bercerai sejak Arisha masih bayi. Namun saat Arisha duduk di bangku SMA, dia memilih ikut bersama ibunya. Meskipun kondisi ekonomi ibunya sangat berbeda dengan ayahnya. Arisha sudah terbiasa bekerja sejak tinggal bersama ibunya. Semua itu untuk biaya kuliah dan membantu ibunya. Sebelum mendapatkan pekerjaan sebagai sekretaris Erland, Arisha bekerja serabutan dari cuci gosok, loper koran, jualan nasi bungkus, part time, dan jadi badut beruang di acara ulang tahun. Apa saja asal tidak menjual diri. Arisha sangat menjaga kehormatannya. Karena wanita yang terhormat dimatanya seperti sebuah barang yang masih terbungkus rapi. Bahkan barang-barang branded saja dibungkus berlapis, sangat rapi dan indah.

Arisha masuk ke kontrakkannya. Tak lupa mengucapkan salam seperti biasanya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsallam." Wanita tua yang sedang duduk membuat tas rajut itupun bangun. Menghampiri Arisha. Bergegas Arisha meraih tangan wanita paruh baya itu dan mencium tangannya. Ibu Arisha bernama Safira Maulida. Dia seorang pengrajin tas rajut. Setiap hari pekerjaannya membuat tas rajut untuk dijual di pasar. Tak jarang Arisha membantu menjualkan tas rajut buatan Safira.

"Kau sudah pulang Nak?"

"Alhamdulillah sudah Bu." Arisha tersenyum. Dia begitu menyayangi ibunya. Meskipun dari bayi hingga remaja tak pernah bersamanya. Perceraian antara ayah dan ibunya membuat hak asuh anak jatuh ke tangan ayahnya sampai Arisha remaja. Semua itu dikarenakan kondisi ekonomi Safira yang tidak mampu mencukupi kebutuhan Arisha jika ikut dengannya.

"Ibu masak telor doang. Tas rajutnya belum laku. Gak papakan Nak?" Mata wanita tua itu tampak berkaca-kaca saat berbicara.

"Alhamdulillah, telor juga enak. Ayo makan Bu! Laper." Gadis berhijab itu memegang perutnya menunjukkan pada ibunya kalau dia sudah lapar.

"Iya, ayo Nak! Ibu juga laper."

Ibu dan anak itu makan bersama. Lesehan di atas tikar. Walau hanya makan nasi putih, telor mata sapi dan sambal mentah tapi rasanya begitu nikmat karena rasa bersyukur yang selalu dipanjatkan.

"Bu, sambalnya mantap. Nambah terus nih." Arisha tak pernah lupa memuji masakan ibunya. Menghargai apa yang sudah dilakukan ibunya adalah hal kecil untuk membahagiakannya.

"Ya udah nambah lagi. Besok kalau harga cabe murah, ibu nyambel yang banyak." Safira berkata sambil menahan air matanya. Padahal Arisha bisa saja tinggal bersama ayahnya. Di sana dia tidak harus bersusah payah. Tinggal duduk manis semua fasilitas akan memanjakannya.

"Amin. Nanti Arisha jual deh di kantor. Mana tahu banyak yang pesen. Sambel ibu enak loh." Selalu ada ide bisnis yang muncul di otaknya. Itulah yang membuat Arisha bisa hidup dan bertahan dalam kesulitan.

"Kamu ini, semuanya dibisnisin. Ibu bangga. Calon orang sukses memang harus begitu." Safira memang mengacungi jempol otak bisnis putrinya. Dia selalu mencari peluang dan bekerja apa saja asalkan halal.

Arisha kembali menikmati makanan di piringnya. Tak lupa nambah nasi dan sambal. Apapun makanan yang dimasak ibunya pasti dimakan tanpa mengeluh.

"Oya Nak, hari ini pakaianmu rapi. Kerja apa?" Safira belum tahu pekerjaan apa yang dilakukan Arisha. Dari pagi dia sudah pergi ke kontrakkan Maya sahabatnya untuk meminjam kemeja.

"Alhamdulillah Bu, Arisha jadi sekretaris Bos besar," jawabnya dengan riang.

"Alhamdulillah. Tapi kau tidak disuruh yang macam-macamkan Nak?" Safira khawatir. Kesan sekretaris di matanya sedikit negatif. Mungkin karena sinetron yang ditonton olehnya.

Arisha tersenyum. Dia teringat Erland yang memintanya berciuman panas.

"Arisha jangan buat ibu cemas, gak ada yang anehkan?" tanya Safira yang mengkhawatirkan putri semata wayangnya.

"Gak Bu. Insya Allah." Arisha tidak bisa menceritakan semuanya pada ibunya. Apalagi tingkah Erland yang selalu mengancamnya dengan ciuman.

"Syukurlah kalau begitu, tapi di sinetron-sinetron kesan sekretaris negatif Nak. Suka dibawa Bosnya nginep belum lagi jadi simpanannya." Safita menyamakan sekretaris di dunia nyata dengan sinetron sama.

Arisha tertawa kecil. Tak disangka ibunya berpikir sejauh itu. Mungkin karena sekretaris yang ada di sinetron selalu jadi selingkuhan, simpanan hingga istri kedua.

"Kok kamu malah ketawa."

"Habis ibu lucu, pasti karena terbawa alur sinetronkan Bu?" Arisha sudah tahu ibunya pasti berpikir negatif dengan pekerjaan barunya.

Safira tersenyum. Benar juga kata Arisha. Dia terlalu terbawa suasana sinetron yang setiap hari ditontonnya.

"Oya Nak, kok bisa kamu jadi sekretaris?" Safira ingin tahu bagaimana ceritanya Arisha bisa jadi sekretaris. Padahal melamar posisi itu saja tidak. Biasanya Arisha selalu cerita pada ibunya saat dia melamar kerja ataupun ingin bekerja. Tapi pagi itu Arisha hanya pamit untuk pergi ke sebuah perusahaan. Tanpa menjelaskan apapun.

"Gak tahu Bu. Tiba-tiba ada dua orang lelaki kekar menangkapku dan membawaku bertemu nenek misterius. Dari penampilannya berkelas. Dia menawariku untuk menjadi sekretaris cucunya. Dengan gaji yang cukup besar." Arisha juga belum tahu apa yang membuat nenek misterius itu menyuruhnya jadi sekretaris cucunya.

"Aneh." Safira ikut bingung.

"Jangankan ibu, aku juga merasa aneh. Awalnya ragu tapi saat aku datang ke perusahaan itu. Beneran, aku jadi sekretaris Bos."

"Ya udah mungkin rejekimu. Yang penting kau harus terus hati-hati. Jaga kehormatanmu, inget itu!" Safira selalu berpesan agar Arisha selalu menjaga kehormatannya. Miskin bukan berarti murahan. Kehormatan adalah harga diri yang tidak bisa diperjual belikan. Hanya sang pemilik kehormatan yang berhak memilikinya.

"Iya Bu," jawab Arisha. Dia selalu ingat nasehat ibunya.

Arisha tersenyum. Hari esok mungkin akan lebih baik. Dia berharap bisa membahagiakan ibunya.

Setelah makan Arisha mandi, berganti pakaian dan sholat. Barulah Arisha bersantai sambil memeriksa luka lebam di lututnya. Tadi pagi dia jatuh tersungkur ke lantai. Arisha menekan luka lebamnya.

"Aw ..., sakit juga ya," keluh Arisha. Luka itu kenang-kenangan di hari pertamanya bekerja.

"Ibu tidak boleh tahu soal ini." Arisha tidak ingin menambah beban ibunya. Selama memutuskan tinggal bersama ibunya, Arisha tidak ingin menyusahkannya. Dia berusaha mandiri dan membantunya.

Arisha mengobati luka lebamnya dengan obat oles untuk luka lebam.

"Aku harus kuat menjadi sekretarisnya Erland. Biar aku bisa membeli rumah kecil untuk ibu dan membahagiakannya. Amin." Besar harapan Arisha agar bisa memberi kehidupan layak untuk ibunya. Walaupun Arisha tahu pasti tak mudah jadi sekretaris Erland. Lelaki itu tidak menyukainya dan berusaha membuatnya tidak betah.