webnovel

SEIN KIRI, BELOK KANAN

Hallo, terima kasih buat yang tetap setia baca meski udah digembok... insyaallah cerita ini kuupadate 3 bab sehari. ------------ Kisah cinta Nada, yang akhirnya berbelok arah. Ia menjalin hubungan selama bertahun-tahun dengan Aldo, tapi, tak kunjung dinikahi, sementara kedua orangtuanya sudah sangat resah mengingat usia yang semakin matang. Di perjalanan, ia malah dijodohkan dengan Alan, sosok yang dibenci. Pertemuan mereka diawali insiden menyebalkan, yang membuat Nada tak pernah bisa ikhlas menerima perjodohan dengannya. Pada akhirnya, Nada tidak mampu membantah orangtua, terutama Ayahnya sendiri. Menikah dengan orang yang dibenci, lantas meninggalkan sosok yang dicintai. Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Mampukah Alan menaklukkan hati Nada, atau malah melepas Nada di tengah jalan demi bersama Aldo.

da_pink · Teen
Not enough ratings
219 Chs

TIBA-TIBA SUDAH LAMARAN

l

Aldo minta maaf ke aku, karena udah bikin nangis. Dia bilang janji, dalam waktu dekat akan menemui Ayah lagi. Tapi, nggak sekarang. Dan selama itu, dia minta aku buat sabar menanti. 

Namanya cewek, kalau sudah kena bujuk rayu, langsung deh luluh lagi. Kemarahan yang tadi jadi ambyar seketika. Akhirnya kami pergi makan sore itu. 

------------

Selang seminggu lebih kemudian, bertepatan juga dengan hari minggu, aku udah rapi, pakai baju buat pergi-pergi. Kali ini kebetulan pake gamis, karena mau kondangan. Meskipun tengah pandemi, tapi, larangan untuk mengadakan acara pesta pernikahan sudah dicabut, selama si pemilik acara, memastikan tamu yang hadir tetap memerhatikan protokol kesehatan. 

Dari rumah aku pake motor, nanti dijemput di rumah Ina sama Aldo, rencananya sih begitu. 

Tapi, belum lagi melangkah keluar, baru juga mau pamitan, Ayah melarang aku pergi. 

"Lho, Yah. Tapi kan Nada mau pergi acara nikahan temen."

Ayah makin ke sini jadi terkesan otoriter, nggak asik ah. Mana demokrasinya? Pak Lurah ke anaknya sendiri masa gitu. Aku merungut sambil duduk di ruang tamu. 

"Mending kamu bantuin Ibu beres-beres!" 

Beres-beres? Kulihat Ibu memang dari tadi sibuk di dapur, tapi, nggak tahu ngapain?

Ayah dandanannya juga rapi banget, udah kayak mau pergi kondangan aja, pake baju batik segala.

"Ibu ngapain, Yah? Di dapur aja perasaan."

Ayah melirikku dari balik koran yang baru saja terkembang.

"Makanya kamu lihat sana. Dari tadi Ibunya sibuk bukannya dibantuin, malah ngadem saja di kamar."

"Kan Nada mau pergi, Yah." 

Aku lalu menaruh tas di sofa tamu, dan melangkah ke dapur. Ada kue-kue segala. Ibu masak banyak amat. 

"Kok masak sebanyak ini, Bu? Kayak mau ada lamaran aja? Pake kue-kue segala," ucapku santai sambil mengambil pisau dan memotong puding jagung untuk kumakan. 

"Ya, memang ada acara lamaran."

Darahku berdesir hebat. Ibu bilang memang ada lamaran?

"Lamaran siapa, Bu?" 

Puding yang udah masuk ke mulut, langsung kutelan bulat-bulat, tercekat rasanya. 

Ibu tampak masih sibuk mengaduk-ngaduk sirup di dalam wadah.

"Bu...." panggilku frustasi. 

Perasaanku tidak enak.

"Ya kamulah, siapa lagi yang belum nilah di rumah ini, masa iya tetangga numpang lamaran dimari. Pertanyaanmu itu lho!"

Aku tersandar di dinding dapur. Kenapa Ayah dan Ibu tega sama aku?

"Kok nggak ada yang nanya ke Nada dulu, mau nggak dijodohin?"

Aku ingin protes dengan suara lantang, tapi rasanya masih tercekat. Hanya terdengar bagai gumaman saja. 

"Kamu tadi ngomong?" tanya Ibu sambil berlalu membawa piring-piring berisi kue dan puding ke atas meja panjang, yang di tarok dekat ruang tamu.

Aku bergeming. 

"Nada, bantu Ibumu itu!"

Ayah setengah berteriak menyuruhku. 

"Danu sama Ira belum datang ya, Nab?" 

Ayah bertanya soal Pamanku, adik Ibu. Nab itu, Jaenab, nama Ibuku.

"Sebentar lagi, Mas. Kata Danu, Ira mau bawa opor ayam, makanya saya nggak bikin."

Kulihat Ayah mengangguk, "Soto betawi itu udah cukup sebetulnya jadi menu, buat nyambut mereka."

Mereka siapa?

"Ayah mau jodohin Nada sama siapa? Kenapa nggak nanya dulu? Mana tahu Nada nggak mau!"

Aku protes sambil bawa mangkuk-mangkuk untuk makan soto.

"Ayah sudah bilang toh, kalau Ayah akan pilihkan yang terbaik, lebih ganteng juga dari pacar kamu itu."

Entah kenapa ucapan Ayah barusan bagaikan sabetan pedang yang langsung menebas leherku hingga putus. 

Lebih baik Ayah bunuh saja aku, daripada dinikahkan dengan orang yang nggak aku kenal. Entah bagaimana sikap dan prilakunya padaku setelah resmi menikah nanti?

"Setelah lamaran, masih ada waktu untuk mengenal lebih dekat."

"Tapi kalau nggak cocok, emang bisa dibatalkan, Yah?"

Ayah mengangkat wajah, melipat koran yang masih dibacanya.

"Nada, Ayah dan Ibu sudah selidiki betul laki-laki ini. Dia sholeh dan insya Allah bisa membimbingmu kelak di dalam rumah tangga kalian. Dia juga sudah memiliki pekerjaan yang mapan. Jadi, tidak perlu khawatir."

"Ini urusan hati, Yah. Kalau Nada nggak cinta percuma aja kan. Nada pasti nggak bisa patuh sama dia."

Aku terus membantah Ayah, sambil menahan air mata. Wajahnya juga sudah memerah tentunya. 

"Cinta bisa datang belakangan. Lagi pula apa yang kamu rasakan ke pacarmu itu belum tentu akan bertahan lama. Ingat, Nak  ada andil setan yang mempermanis iming-imingmu untuk terus bersamanya, sedangkan membaca Alfatihah saja dia bisa salah-salah. Apa kamu yakin selama ini dia sudah sholat dengan benar?"

Aku nggak bisa nahan airmata, menetes gitu aja. Apa yang Ayah bilang soal Aldo, lagi-lagi betul. Aku nggak yakin sama sekali selama ini dia sudah sholat dengan benar atau tidak. Entahlah.

Di luar sana kulihat Paman Danu, Bibi Ira dan sepupuku Shena udah datang. Mereka bawa kue dan opor ayam seperti yang dibilang Ibu tadi. 

Aku masuk ke dalam kamar. Rasanya nggak mau menghadapi hari ini. 

Beberapa menit kemudian, Ibu juga masuk ke dalam kamar, dan memegang pundakku lembut.

"Coba jalani dulu. Ayah sama Ibu pasti akan memberikan yang terbaik buat kamu. Kami melihat, laki-laki ini memang tepat buat jadi pemimpin kamu, Nak."

"Siapa dia, Bu?" tanyaku kembali berurai air mata. 

"Nanti kamu juga akan tahu. Ayo, jangan nangis lagi. Bersihkan wajahmu."

Ibu mengelap airmataku dengan tisu, karena mendengar suara kendaraan lain yang datang. Itu pasti keluarga laki-laki yang akan dijodohkan denganku. 

"Kamu keluar ya nanti. Jangan buat Ayah dan Ibu malu."

Aku mengangguk pelan. Ya sudahlah, mungkin dengan ini bisa sedikit balas jasa Ayah dan Ibu yang udah besarin aku.

Tak lama Ibu keluar. Terdengar suara sambutan hangat dari Ayah, Paman, Bi Ira, dan Ibu. Shena paling cuma duduk aja, dia masih kecil gitu, kelas lima SD, apa yang dia mengerti. 

"Silahkan masuk Bapak, Ibu, Nak Alan, ayo-ayo, Nak."

Mendengar nama itu disebut, jantungku jadi berpacu kencang. Aku nggak salah dengarkan? Itu Alan.

Segera kubersihkan wajah, dan perlahan ikut keluar. Iya, benar, dia. 

Kenapa tingkat ketampanannya tiap hari makin bertambah aja? Ada yang salah sama mataku nich. 

"Ini lho, Bu, Pak, Nada, anak kami."

Ibu memperkenalkanku, yang sudah terlihat nimbrung di ruangan itu. 

"Geulis pisan atuh."

Ibu Alan memuji, aku tahu itu. Sedikit banyak paham juga kok bahasa Sunda.

Aku lalu menyalami mereka, yang memandang tak lepas dariku. Juga Alan dan satu sosok di atas kursi roda yang tersenyum lebar ke arahku. 

"Hai Kakak, aku Reyna, adik A' Alan." 

Dia memperkenalkan diri sambil mencondongkan badan dan meregangkan kedua tangan untuk memelukku. 

"Hai Reyna, aku Nada."

Aku memeluknya. Gadis remaja ini manis sekali. Ia mudah berkawan. Shena juga dipanggilnya untuk main. Mungkin mereka nggak mau terlibat pembahasan ini terlalu jauh.

Aku hanya diam membisu di antara mereka. Alan juga begitu.

"Jadi, saya sampai terkejut lho, Pak, begitu Nak Alan bilang, mau menerima pinangan saya untuk Nada."

Kulirik Ayah dalam tundukkan. Nggak nyangka, ternyata Ayah sampai sejauh ini melakukan sesuatu untuk menjodohkanku dengan Alan, memang udah terniat banget kayaknya. Padahalkan Ayah sendiri tahu, masalah yang kuhadapi dengan cowok itu. Apa mungkin dia bisa bertanggung jawab untuk hidupku?

Tubuhku terasa lunglai.

"Saya juga sempat kaget, tiba-tiba bilang minggu siang datang buat lamaran. Tapi, karena rasanya nggak sabar mau ketemu calon besan dan calon mantu, jadi kami iya-iya saja."

Ayahnya Alan yang ngomong itu. Terdengar banget roman-roman kebahagiaan dari suara orang-orang yang ada di sini. 

Aku nggak nyimak, mereka selanjutnya ngomong apa, pikiranku udah nerawang kemana-mana. Nggak bisa kubayangkan berumah tangga dengan cowok kayak Alan. 

"Bu, Pak, saya boleh bicara empat mata nggak sama Nada?"

Apa? kenapa dia tiba-tiba mau bicara sama aku? 

Kuangkat wajah menatapnya sambil menautkan alis, bingung. Dia malah mengangguk ke arahku. Apaan? 

"Kalau bicara berdua saja, nanti yang ke tiga setan lho."

Aku tahu Ayah hanya lagi bergurau. Terbukti, yang hadir di sini tertawa mendengar kelakar Pak Lurah itu.

"Insya Allah, setannya bisa diatasi, Pak."

Mau balas gurauan Ayah, kok terdengar garing sich!

"Gimana, Pak, boleh?"

Alan memastikan. Kulirik Ayah masih tersenyum aja ke arah orangtua Alan. 

Nggak usah aja izinin, Yah. Ngapain? Mau nomong apa dia? Nanti anak Ayah diapa-apain lho. Huft!

------------