12 RASA YANG BERBEDA

Ashar tadi, aku masih sempat lihat dia sholat. Susah banget ngendaliin hati kalau kayak gini. Sampai kutepuk-tepuk pipi saking pengen sadarnya. 

Mereka udah nggak ada sih, maksudku, para teknisi. Tapi, si Alan itu masih ada di sini, lagi ngobrol sama si Bengis di dalam ruangannya. Dia sendiri aja deh kayaknya, soalnya si Zylan nggak kelihatan. 

Entah kena sihir apa, dari tadi aku malah ngeliatin aja ke arah ruangan yang pintunya ditutup itu, sampai-sampai Cici menyentakku. 

"Astaghfirullahalazim!" seruku kaget banget.

Dia kurang kerjaan memang. Bukannya minta maaf, malah ketawa ngakak. 

"Wei, kenapa sih lo?" teriakku kesal. 

Orang-orang yang udah pada serius kerja di sebelah kami, jadi ikutan kaget. 

"Maap-maap, si Cici nich, jahanam." 

Aku nyegir kuda ke arah mereka. 

"Lo liatin ke sono mulu, ada niat busuk lo ya?" 

Aku nggak tahu, Cici ini nebak apa nanya? Ekspresi dia itu lho.

"Niat busuk apaan, udah ah. Gue pulang dulu."

Aku jadi meracau nggak jelas, liatin jam masih belum. Sepuluh menit lagi jadwal pulang. Huft!

"Pulang! orang kerja lembur ini hari!" 

Aku tahu, Cici cuma lagi manggoda. 

"Lo aja sono, gue nggak."

Aku mendorong kepalanya pelan. 

"Eh, Nad. Lo sama Aldo, emang nggak ada niat nikah apa gimana? Umur lo shay, udah berapa?"

"Apa maksudnya nich nanya-nanya beginian?"

Tumben-tumbenan Cici nanya soal ini, biasanya juga nggak mau ngerecokin kisah asmaraku. 

"Gue udah dilamar soalnya." 

Aku terkejut dengar kabar ini. Cici udah dilamar aja, padahal setahuku, mereka pacaran baru enam bulan ini. Miris sekali hidupku ini! 

"Hebat banget, enam bulan udah dilamar aja."

Sungguh aku nggak bisa nyembunyiin rasa iri di dalam hati. Seharusnya aku bahagia dengar kabar ini, tapi kenapa malah terasa menyedihkan kalau disandingkan dengan kisah cintaku. Empat tahun, nggak jelas mau dibawa kemana?

"Ortu gue langsung nanya ke dia. Kan sering antar jemput, ya udah, minggu lalu, Papa nanyain, dia langsung sanggupin. Jadi deh, semalem gue dilamar secara resmi."

Cici tersenyum lebar sambil liatin cincin tunangannya ke aku. Melihat cincin emas bermata berlian itu  melingkar di jari manis Cici, membuat dadaku semakin sesak. 

Kenapa Aldo nggak seperti pacar Cici? Jantan. DItanya soal keseriusan, langsung siap melamar.

Harus kutegasin lagi kayaknya ke Aldo. Kalau nggak, pisah aja. Ngomongin soal pisah, sedih banget, emangnya aku sanggup.

"Selamat ya, Ci. Beruntung banget lo dapet cowok kaya Refan."

Rasanya intonasi suara gue mulai melemah. 

"Nad."

Cici memegang pundakku. "Mungkin Aldo bukan laki-laki yang tepat buat lo. Mana tahu ada cowok lain yang bahkan siap buat langsung ngelamar lo. Dan kalo ada yang kayak gitu, lo mau nggak?" 

Aku jadi heran liat Cici, kenapa rasanya aneh aja ya? Biasanya Cici masa bodo sama kehidupanku, ya, dia nggak pernah kepo atau aneh-aneh kayak gini. Kalau aku curhatin, dia ngasih solusi sebisanya aja. Sekarang, lebih ke ... kayak pengen rubah mindsetku gitu. 

Aku nggak ngejawab, soalnya udah pas jam pulang. 

"Gue balik dulu. Aldo udah di bawah kayaknya."

Buru-buru kuambil tas, dan segera meluncur ke bawah, buat check lock. Di saat yang bersamaan, pintu ruangan si Bengis kebuka. Mereka bersalaman di ambang pintu. 

Sebelum terjadi sesuatu, si Bengis manggil buat nanya macam-macam, aku turun aja tanpa peduli apa dan siapapun. Orang-orang di lantai dua juga kelihatan banyak yang siap-siap. Aku sapa-sapa mereka yang pada sibuk beberes. 

Belum setengah jalan, menuju lantai satu, terdengar kehebohan di lantai dua. 

"Mas Alan, sering-sering ke sini, ya." 

Apa? Aku nggak salah denger, kehebohan di atas karena di Alan. Berhenti dulu deh, dengerin baik-baik. 

"Iya, Bu. Makasih banyak lho, semua udah pada baik sama saya. Saya pamit dulu, Bu, Pak." 

Ih, sok ramah dia sama orang-orang. Ingat cara bicaranya ke aku waktu itu. Huh! 

"Eh, Mbak Nada." 

Etdah, aku ketahuan nguping nggak sih. Kok dia udah ada aja di tangga ini?

Nggak mau noleh, aku langsung melipir ke bawah, tempelin jari ke mesin absen, dan keluar.

Entahlah apa yang terjadi di dalam, bodo!

Aldo belum datang. Pas mau ambil HP buat nelpon dia, ada yang negur dari belakang.

"Mbak."

Kenapa sih selalu manggil Mbak? Hist. Aku berbalik menghadap ke asal suara.

"Umur saya  itu masih dua lima, jadi jangan panggil Mbak. Perasaan tuaan kamu deh!"

Tiba-tiba menyesal udah jutek barusan. Dia ngebuka maskernya, dan kasih aku senyuman manis, trus terkejut dengar aku nyamber kayak gledek.

"Saya mau minta maaf, soal waktu itu dan tentang kesalahan saya yang lainnya."

Dia menatapku masih dengan senyuman seperti tadi.   Bikin dada jadi dag dig dug aja. Aku nggak mau kelihatan kikuk.

"Oke." 

Langsung kubalik lagi tubuhku membelakanginya. 

Tak lama, Aldo datang. 

"Maaf telat," katanya sambil menurunkan kaca mobil.

Nggak mau nunggu lama, aku masuk ke dalam. Sempat lihat Alan, yang udah duduk di atas sepeda motornya, lagi lihat ke arah mobil yang kunaiki. 

Apa yang dia pikirin ya? 

Merasa rendah kali, sebab Aldo pake mobil, dia cuma motoran.

"Berasa kenal?"

Aldo membuyarkan lamunanku. 

"Siapa?" 

Aku tahu yang dia maksud siapa? Alan. Tapi, lebih baik pura-pura nggak tahu aja. 

"Cowok diparkiran motor tadi."

Kulirik Aldo, dia senyum-senyum aja jawab pertanyaanku. 

"Dia cowok yang udah nabrak kamu kan?" tanyanya lagi. 

Aku mengangguk. "Iya."

"Ada urusan apa dia di kantor kamu?" 

"Masangin komputer baru." 

Aku jawab sekenanya aja. Pikiran lagi menerawang, ingat yang dikatakan sama Cici tadi. 

"Al." 

Ragu-ragu mau mulai untuk membicarakannya. 

"Ya? Eh kita makan di mana kali ini?" 

Aldo udah muter-muter nggak jelas. Nggak tahu mau kemana, aku lagi fokus sama apa yang akan aku bicarakan.

"Ke rumah aja langsung, bisa nggak?"

Aldo memutar wajahnya, melihat ke arahku sebentar. Dia sadar mungkin, kalau saat ini aku aneh. Ya. Menurutku juga gitu. 

Ucapan Cici tadi pengaruhnya besar banget ke aku. Dan dia memang benar. Sebab, Refan aja, cuma butuh waktu enam bulan untuk mengenal Cici. Sedangkan kami, kenal sudah lama sekali. Dari semester awal sampai akhir, sekelas terus. 

Menjalani hubungan pacaran aja yang baru empat tahun. Apa itu nggak cukup waktu buat Aldo meyakinkan diri dalam mengambil keputusan? Toh, akhir dari kedekatan ini menikah juga kan.

Apa jangan-jangan? Dia emang nggak ada niat buat melangkah ke arah sana.

"Kamu kenapa? nggak kayak biasanya?" tanya Aldo curiga. 

Aku menghela nafas. Kepengen banget ngomong soal keseriusan dia lagi. 

"Al. Cici udah tunangan?" 

Aduh, kepeleset kemana-mana  Bukannya fokus sama diri sendiri, malah mgomongin Cici.

"Wah, bagus dong."

Dia terlihat semringah. W-O-W. Amazing sekali pemuda ini. Sama sekali nggak merasa tersindir atau tertantang kelelakiannya. Aku sampai dibuat menggeleng nggak percaya. 

"Kamu nggak ngerasa gimana-gimana gitu?"

"Gimana, gimana?" 

Dia malah nanya balik. Kenapa dia sangat tidak peka gini ya?

"Kamu nggak mau hubungan kita naik level?"

Sisi emosionalku udah terpancing, jadi maklumin aja kalau aku mulai nyolot. 

"Lho, ya mau dong, Nad. Tujuan kita deket kan juga buat ke sana juga."

"Ya, kapan Aldo? Ini udah empat tahun, sedangkan Cici aja, baru enam bulan udah dilamar." 

Darahku menggelegar rasanya, terlebih melihat sikap Aldo seperti acuh tak acuh aja. Seolah dia nggak mikirin gimana nasib hubungan ini ke depannya. 

"Kamu sabar dulu dong, aku baru kena shock therapy gitu sama Ayah kamu. Tunggu waktu yang tepat, aku persiapkan dulu keberanianku lagi."

"Modal buat ngadap ke Ayah itu cuma sholat sama ngaji kamu. Udah benerin itu belum? Harusnya setelah hari kemaren itu, kamu udah siap dengan gebrakan berikutnya. Ayah cuma mau, orang yang ngerti agama buat jadi imam aku."

Lega banget abis ngomongin ini ke dia. 

Aldo menatapku sekilas, kemudian beralih lagi ke arah jalan. 

"Kamu kenapa? Kok jadi emosional gitu?" 

Aku nggak habis pikir. Dia masih nanya soal ini? 

"Aku itu mau kita berjelas-jelas soal hubungan ini. Umur aku udah dua lima, Al. Dan ini jadi keresahan tersendiri buat Ayah sama Ibu. Aku nggak mau dijodohin, karena cuma maunya sama kamu, ngerti nggak sih!"

Mataku sampai menghangat ngomongin ini ke dia. 

"Kenapa sih kamu seolah nggak peduli? Aku kayak gini karena berjuang demi kamu, biar bisa terus sama kamu, nikah sama kamu!"

Ah kan, mewek!

Aku segera menghapus bulir-bulir bening yang jatuh ke pipi.

Aldo menoleh lagi ke arahku, dia terkejut melihatku menangis dan langsung mengetepikan kendaraan.

------------

avataravatar
Next chapter