"Kamu nginep di sini aja, temani aku malam ini," ucap Dirga kepada Furqan, mereka sedang berada di teras, setelah akad nikah Dirga meminta untuk mengajak mereka sekeluarga keluar untuk makan malam, sebagai acara syukuran kecil-kecilan.
Keluarga Kiyai Ridwan pun setuju, mereka semua sedang bersiap-siap, makanya Dirga dan Furqan menuggu di teras, sambil berbincang-bincang.
"Ih, ogah. Ngapain aku di sini, kamu enak-enakan belah duren, aku tidur sendirian, mending aku pulang, peluk istriku di rumah, siapa tau aku di kasih jatah, walaupun bukan malam Jum'at."
Dirga memukul bahu temannya itu. "Aku nggak belah duren malam ini, Aisyah mintanya setelah dia acara kelulusan katanya."
"Apa? Hahahaha, berarti kamu di gantung dong." Furqan memegang perutnya yang sakit karena spontan tertawa, dia tidak tau apakah harus senang atau sedih dengan apa yang sedang di alami oleh sahabatnya itu.
"Kalau begitu yang sabar, begitu memang kalau sesuatu yang enak, akan susah mendapatkannya," lanjut Furqan dengan logat Makassar yang kental.
Dirga termenung, tak menanggapi perkataan Furqan. Awalnya dia ingin menikah karena tuntutan hasratnya yang sedang menggebu-gebu, dia takut akan terjerumus kedalam lembah hitam, dia pria normal, dengan usia yang masih terbilang produktif, bahkan banyak yang berkata umur 40 tahun keatas adalah masa puber kedua, dia takut akan mengalami itu dan menyalurkan ke orang yang salah.
Setelah menikah, hasrat tersebut itu hilang, berganti rasa takut dan rasa tidak pede, dia takut akan menyakiti Amel, ketika dia tau kenyataan yang sebenarnya, dia tidak pede karena perbedaan umurnya dengan Aisyah yang cukup jauh.
Dirga menarik napas panjang, tiba-tiba saja dadanya sesak, seperti di himpit batu besar. Beberapa kali dia menarik napas dan menghembuskannya, agar meredakan sesak napasnya itu.
"Kamu sakit? Egh, jangan mati dulu, kamu baru nikah!" Furqan kembali mengerjai Dirga, membuat lelaki itu kesal.
Tak berselang lama, semua sudah selesai, nampak pak Imran, Kiyai Ridwan dan Bu Hafidzah sudah keluar, tapi Aisyah belum.
"Aisyah mana Um?" tanya Pan Imran.
"Masih dandan kayaknya Bi," jawab Bu Hafidzah.
"Kalau begitu, kita duluan aja yah, nanti Dirga dan Aisyah menyusul, Nak Furqan ikut kita aja, tempat makannya di mana Dirga?" Kiyai Ridwan mengambil inisiatif.
"Oh, di Hotel Harris, saya sudah reservasi dari tadi, jadi nanti langsung bilang aja sama resepsionis nya," jawab Dirga.
"Baiklah, mari kita duluan, biar pengantin barunya menyusul,"ulang Kiyai Ridwan.
Mereka akhirnya pergi terlebih dahulu. "Bisa tuh, ambil jatah tipis-tipis, mumpung berdua," bisik Furqan sebelum berlari menyusul keluarga Kiyai Ridwan. Dirga hanya menggeleng, melihat Kelakuan absurd temannya itu.
Sepuluh menit berselang setelah kepergian mereka, Aisyah belum juga terlihat keluar dari kamar, Dirga sudah berkali-kali menengok kedalam, namun gadis yang di tunggunya tak juga datang.
Karena takut mereka menunggu terlalu lama, akhirnya Dirga memberanikan diri mendatangi kamar Aisyah, dia tadi sempat melihat gadis itu masuk ke dalam kamarnya.
"Hahahaha, tenang aku pasti datang di acara prom night yang di adakan sekolah, Abi sama Ummi sudah nggak bisa melarang ku." Dirga mengurungkan niatnya mengetuk pintu, ketika mendengar suara Aisyah yang sedang menelpon. Ternyata pintu kamar gadis itu tidak tertutup rapat, sehingga Dirga bisa melihat Aisyah dari celah pintu.
Nampak gadis itu sedang duduk di tepi tempat tidur, dia sedang menelpon dengan seseorang yang Dirga tak tau apakah dia laki-laki atau perempuan.
Dia penasaran, ingin mendengar lebih jauh percakapan Aisyah dengan lawan bicaranya.
"Tenang aja, aku sudah bilang urusan Abi sama Ummi ku sudah beres, tinggal kamunya aja yang bantuin aku nyampein ke Kevin kalau aku mau pergi ke acara promnight bersamanya."
"... ."
"Ish, nggak mungkin lah, kan dia ngasih tau kamu, jadi kamu yang ngasih jawaban, kalau dia mau jemput aku, nanti dia jemput aku di rumah kamu, gitu aja, nggak usah repot banget."
"... ."
"Iya, pokonya besok kita pergi belanja bareng untuk acara malam Minggu, tenang aja, Abi sama Ummi pasti ngijinin."
"... ."
Dirga mengetuk pintu, dia sudah tak tahan mendengar obrolan istri keduanya dengan orang lain.
"Eh, udah dulu yah, Assalamualaikum."
Aisyah nampak panik, dia segera bangkit, hampir saja dirinya terjatuh karena menginjak ujung gamisnya sendiri.
"Astaghfirullah!" pekiknya.
Dirga mengigit bibir, menahan tawanya, entah mengapa dia senang melihat istrinya itu hampir celaka.
Setelah bisa menyeimbangkan diri, Aisyah segera berjalan ke pintu. Sesaat keduanya saling terpana. Dan Dirga terkesima menatap istrinya sedekat itu, dia baru menyadari kalau istri keduanya sangat cantik, apalagi kalau memakai make-up tipis.
"Ada apa, Om?" tanya Aisyah, seolah merasa tak bersalah. Dirga tak ingin mempermasalahkan dulu apa yang dia dengar barusan, baginya dia harus mencari tahu lebih banyak, supaya bisa mengambil keputusan. Dia juga harus memahami, bahwa istri keduanya adalah gadis delapan belas tahun yang juga punya kehidupan pribadi seperti anak pada umumnya, walaupun dia adalah cucu seorang Kiyai.
"Om, ada apa?" Aisyah kembali mengulangi pertanyaannya. Dirga tergagap, dia baru tersadar dari lamunannya.
"Oh, masih lama? Semua orang sudah menunggu."
"Ini sudah selesai." Aisyah masuk kembali kedalam kamarnya, mengambil tas selempang, lalu kembali keluar menemui Dirga. "Aku sudah siap!" ucapnya santai.
Dirga mengangguk, dia melangkah terlebih dahulu, karena Aisyah mengunci pintu kamarnya.
"Om, di mana Abi sama Ummi, juga Kakek?" tanya Aisyah, dia heran melihat ruang tamu sudah kosong.
"Mereka sudah lebih dulu kesana, tinggal kita yang akan menyusul, karena kamu terlalu lama di dalam kamar."
"Apa? Kita pergi berdua?" tanya Aisyah, dia sepertinya sedikit kaget.
"Iya, kenapa?" tanya Dirga, dia mengangkat alis.
"Ta— pi."
"Ayo, mereka sudah menuggu dari tadi." Dirga menarik tangan Aisyah, tak memberi waktu gadis itu untuk menolak.
Keduanya menaiki mobil dan segera melaju ke hotel Harris, tempat yang lainnya sedang menunggu.
Jalanan cukup lenggang, membuat mereka lebih cepat sampai, Aisyah masuk bersama-sama. "Maaf, menuggu lama, tadi Aisyah lagi di kamar mandi," ucap Dirga, sesaat setelah dia duduk. Aisyah hanya menunduk, tak berani menatap kedua orangtuanya.
"Iya, tidak apa-apa, kami juga baru sampai."
Tak berapa lama hidangan yang di pesan oleh Dirga sebelumnya, mereka makan bersama, seperti layaknya sebuah keluarga besar.
Kiyai Ridwan dan pak Imran nampak serius berbicara dengan Dirga dan Furqan, sementara Bu Hafidzah masih serius makan. Aisyah sesekali melirik hapenya, melihat setiap pesan yang masuk. Tanpa dia sadari sedari tadi, ekor mata Dirga sesekali melirik tingkah istrinya.
"Dir, habis makan kami pulang duluan yah, kan kalian ada kamar di sini, aku bawa mobil kamu, besok aku jemput yah!"
"Uhuk, uhuk." Dirga terbatuk mendengar penuturan Furqan, seingatnya dia sama sekali tak pernah memesan kamar di hotel itu, reservasi untuk makan malam saja, baru dia lakukan di detik-detik akan menikah.
"Iya, Nak. Kakek dan Abi mu ada pengajian besok subuh, jadi kami tidak ikut nginap di sini, nanti lain kali, terimakasih atas kebaikan hatinya mau menyewakan kami kamar juga." Kiyai Ridwan juga tak lupa berterimakasih, membuat Dirga hanya bisa mengangguk.
Setelah makan, mereka pamit pulang, terlihat Bu Hafidzah memberi wejangan kepada Aisyah, setelah itu di lanjutkan oleh pak Imran dan Kiyai Ridwan. Sedangkan Dirga dan Furqan hanya melihat dari jauh.
"Eh, gila yah kamu, bisa-bisanya kamu nyewa hotel pake namaku!" ucap Dirga, lelaki itu baru saja akan marah, tapi pak Imran mendekati Dirga.
"Titip Aisyah, ajari dia jadi istri yang berbakti, ingat istri tergantung bagaimana suami memperlakukan nya," ucap pak Imran.
"Iya, Bi." Pak Imran menepuk pundak menantunya, sebenarnya Dirga sedikit canggung memanggil pak Imran dengan sebutan Abi, karena mereka hanya selisih beberapa tahun. Tapi, dia tidak tau panggilan apa yang terdengar sopan selain kata itu.
Mereka akhirnya berpisah, tinggallah Aisyah dan Dirga di loby. Setelah mereka sudah tak kelihatan, lelaki itu kini berjalan untuk naik ke kamar mereka.
"Besok kita pulang pagi-pagi sekali, lalu akan pergi cari rumah." Dirga terus berjalan, sampai di lift, dia berbalik karena dia tak mendengar suara langkah kaki ataupun sahutan dari istrinya.
Dirga menepuk jidatnya, ternyata dia dari tadi bicara sendiri, dia segera ke loby menyusul Aisyah, ternyata gadis itu sudah tak ada di sana. Dirga mengedarkan pandangan, nampak istrinya sedang berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan hotel.
"Gadis gila!" umpatnya, lalu segera berlari menyusul Aisyah.
Dirga mempercepat larinya ketika terlihat sebuah Taxi berhenti tak jauh dari Aisyah.
"Lepaskan!" Aisyah menepis tangan Dirga karena kaget. Lelaki itu tiba-tiba saja memegang pergelangan tangan istrinya dari belakang.
"Astaghfirullah, Om ngagetin deh!" teriak Aisyah, ketika tau kalau lelaki yang memegang tangannya adalah Dirga suaminya.
"Kamu mau kemana?" tanya Dirga, napasnya terdengar memburu.
Aisyah menunduk, dia tak tau harus berkata apa, dia memang dari tadi berniat kabur dan bermalam di rumah Mala, sahabatnya.
"Anu, itu aku, emm ... ."
Dirga maju, sehingga Aisyah berhenti berbicara, bahu Dirga kini menyentuh Aisyah, lelaki itu menundukkan kepalanya ke jendela Taxi.
"Pak, pesanan Taxi nya di cancel yah, ini untuk kompensasinya." Dirga menyodorkan selembar uang seratus ribu dan diterima dengan senyum sumringah oleh sopir Taxi tersebut.
Dirga segera bangkit, lalu menarik tangan Aisyah untuk mengikutinya.
"Om, aku minta maaf, aku, emm, aku cum ... ."
"Tidak usah mencari alasan, kamu sudah salah, kamu harus di hukum!" Dirga berkata sambil menarik tangan Aisyah untuk mengikutinya ke hotel kembali.
"Di— hukum?" tanya Aisyah, wajahnya yang tadi gugup, kini menjadi pucat, tangannya tiba-tiba saja dingin, Dirga dapat merasakan perubahan tubuh istrinya itu.
"Iya, di hukum, malam ini kamu harus melayaniku!"