Saat itu, pintu rumah tampak tertutup rapat. Aku bergerak pelan dan mendorong pintu itu perlahan dengan sedikit melakukan gestur mengintip. Keadaanku berantakan, aku tak ingin ada siapapun yang menemukanku dalam kondisi seperti ini. Rambutku yang semula terkuncir rapi, kini tergerai berantakan. Bajuku tampak seperti seseorang yang habis diberikan kejutan ulang tahun, penuh saus. Saat ini aku benar-benar kacau. Sepatuku basah, tak ada pilihan lain selain hanya menentengnya. Ada satu hal yang perlu aku syukuri dari segala kekacauan ini, kaca mataku masih aman. Aku sempat menaruh kaca mataku di kantong sebelum semua kesialan ini terjadi.
Aku berjalan perlahan bak pencuri untuk bisa mencapai kamarku di lantai dua dengan selamat. Jika ada derap langkah kaki, dengan cepat aku langsung bersembunyi. Baik sebenarnya itu langkah kaki asisten rumah tangga sekalipun. Baru kali ini, aku merasa bersyukur karena rumahku terdapat struktur pilar di mana-mana, di mana sebelumnya aku cuma protes di dalam hati, kenapa harus pilar, terlalu berlebihan, pilar-pilar itu sering membuatku terantuk pada malam hari saat aku sedang setengah sadar. Pun baru kali ini aku mengutuk karena ada banyak asisten rumah tangga dalam rumah ini. Ya, memang ini bencana bagi mereka yang oportunis sepertiku ini.
Setelah berhasil membuat diriku merasa yakin jika keadaan sudah aman, aku langsung bergegas menuju kamarku yang paling ujung. Agak sakit juga memaksa ujung kakiku untuk menopang tubuh bagian atasku. Tapi aku terpaksa harus melakukan itu agar tak ada bunyi suara sedikit pun yang aku timbulkan. Aku dapat memperkirakan kalau hingga besok aku akan mendekam di kamar seharian.
Ruang kamar yang lain pintunya masih tertutup rapat, aman. Aku benar-benar gembira. Aku memang benar-benar seperti maling yang hendak melarikan diri tanpa tercegat oleh siapapun. Bodo amat, ini adalah kemenangan seorang maling. Sebab aku akan bingung jika ada seorang yang melihatku dengan kondisi yang kacau seperti ini. Pembualan apa yang akan aku katakan nanti.
Aku sudah tak punya alasan untuk panik. Aku sudah di ambang pintu kamarku sendiri. Tetap dengan perlahan, aku membuka kenop pintu kamarku, dan kembali aku tutup rapat-rapat. Saking menggebunya detak jantungku tadi, aku tersungkur ke lantai dengan kepala bersandar pada pintu. Semua bagian tubuhku terasa lengket akibat saus bedebah ini.
Lantas aku segera menuju ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku untuk menyingkirkan secepatnya kotoran ini. Tapi sebelum aku sampai bisa berjalan ke sana—dengan kondisi yang masih setengah berdiri—pintu kamar mandiku tiba-tiba berdecit. Seseorang tampak dari sana. Seketika aku terkejut. Berdiri mematung seperti terkena sihir es dari Ice Wizard—karakter legendary dari Clash Royale. Mataku tak bisa aku alihkan dari orang yang baru saja muncul itu. Begitu pun dia yang menatapku dengan terkejut. Mungkin dia terkeju karena aku masuk ke kamar tanpa ada suara sedikit pun atau bisa jadi dia terkejut karena melihat penampilanku yang seperti habis cosplay perayaan Halloween. Aku merasa usahaku untuk sampai ke kamar dengan perjuangan setengah mati seakan tidak ada gunanya jika pada akhirnya ketahuan seperti ini. Dengan orang ini lagi!
Orang itu berjalan mendekat ke arahku dengan tatapan yang sulit untuk aku bisa tebak. "Arum?" tanyanya. Dia menarik daguku dan seolah sedang mencari kesalahan yang ada pada wajahku. Kemudian sorot matanya turun ke arah bajuku, kemudian tertuju pada sepatuku yang masih di tanganku. "Kau kenapa?"
Bisakah kau lihat perbedaan dari struktur kalimatnya? Dia bertanya dengan kalimat 'Kau kenapa' bukan 'Kenapa kau'. Tentu ini sepele untuk aku tegaskan, tapi kesan dalam penggunaan kalimat, biasanya mencerminkan secara tajam seperti apa orang itu.
Aku benar-benar seperti orang kikuk. Aku tak bisa menjawab. Seolah Tuhan baru saja menyihir bibirku dengan perekat yang daya tempelnya luar biasa. Aku terpaksa memutar otak untuk mencari alibi yang masuk akal. Dan aku mengantisipasi agar tak ada emosi sedikit pun. Orang yang tengah ada di depanku ini sangat sensitif bila menyangkut orang yang dia sayangi. Sementara aku bisa dibilang sebagai salah satu manusia yang beruntung karena memilikinya. Tapi untuk saat ini, aku katakan tidak.
"Eh, jatuh ini tadi," kataku. Alasanku tak bisa dianggap salah, tapi yang salah adalah cengengesanku setelah mengucapkannya.
"Hingga berlumuran saus? Ada festival untuk memperingati hari bakso sedunia kah?"
Sial! Nada dinginnya itu terkesan tidak percaya. Ya, siapa juga yang bakal percaya dengan aktingku yang kelewat buruk ini.
Belum sempat aku menjawab, dia sudah bilang, "Arum, aku tahu kalau ini ulah teman sekolahmu lagi, kan? Bilang siapa saja anak itu. Kenapa kau diam saja diintimidasi seperti ini?" katanya.
Ayolah, tak ada yang jauh lebih buruk dari tatapanmu itu. Menurutku, ini tak begitu buruk. Aku bahkan pernah menimpa kejadian yang lebih buruk dari ini.
"Tidak. Ini kesalahanku sendiri. Udah, ya. Aku mau mandi dulu. Sudah lengket banget ini." Mungkin terlihat sekali kalau aku berusaha keras buat mengelak. Jadi aku memutuskan untuk melewatinya dan melengos ke kamar mandi.
"Arum…"
Aku menghentikan langkahku sejenak. Tapi aku merasa tak perlu untuk memalingkan wajah. Aku tahu, dia hendak menasehatiku.
"Aku cuma mau bilang, kau sekali-sekali harus bersikap keras pada mereka. Jangan mau untuk selalu ditindas. Tiap pulang dari sekolah, kau selalu kacau. Yang bajumu berlumuran lumpur lah, saus lah, yang buku-bukumu penuh coretan nggak jelas, kadang juga sampai robek, kadang pulang jalan kaki gara-gara nggak punya uang, dan masih banyak hal lain yang tak sepatutnya kau terima. Lagi pula,kenapa kau tak ngaku saja sama mereka kalau kau itu anak ibu sama bapak?"
"Mereka juga tahu kali kalau aku anak ibu sama bapak. Masa iya aku anak makhluk lain."
"Bukan seperti itu yang aku maksud, Arum. Maksudku itu, jelasin aja kalau kau itu anak pemain…"
Sebelum dia melanjutkan kalimatnya, aku menyergah, "Nggak perlu! Aku nggak perlu bilang pada mereka kalau aku anak Deri Prima dan Ariana Prima. Kenapa? Kenapa kau sama sekali nggak ngerti maksudku? Aku nggak punya secuil pun bakat yang diturunkan dari mereka. Toh seandainya aku bilang pun pada mereka, bisa aku pastikan mereka nggak akan percaya. Dan itu justru akan membuat aku lebih sakit lagi. Bahkan lebih menderita lagi. Apa bedanya dengan anggapanku kalau aku adalah anak makhluk lain?" Entahlah, aku sedikit keras mengatakannya.
"Aku percaya," katanya dengan penuh mantap.
"Yang jadi masalah…" Aku merasa agak ragu meneruskan kalimatku. "Aku sendiri yang nggak percaya!"
Kemudian dengan langkah yang sebal, aku meneruskan niatku untuk mandi. Tak sedikit aku pungkiri, bahwa aku merasa bersalah sudah berbicara dengan nada keras tadi kepada kakakku.