webnovel

Dua

Besoknya, aku kembali ke rutinitas seperti biasa. Sekolah dan mengumpat. Apa yang aku umpatkan? Tentu saja kesialan-kesialan yang sudah jelas. Pagi itu aku duduk di bangku paling depan. Dan mungkin sudah menjadi tabiat para siswa di Indonesia 'masa kini' kali, ya. Bahwa ada pengucilan tanpa sebab terhadap bangku paling depan. Banyak siswa memberikan label sendiri bahwa barang siapa yang duduk di bangku paling depan, tak akan tenang hatinya saat pelajaran. Tapi itu tidak berlaku bagiku. Aku bukan siswi yang punya mental tipis seperti itu. Lagi pula, aku merasa lebih baik jika duduk di bangku depan. Aku jadi terbebas dari para siswi berandal dan aku bisa lebih fokus untuk belajar.

Kau mungkin bertanya-tanya, apakah aku duduk sendirian? Jawabannya sudah jelas. Aku selalu duduk sendirian. Di sisi lain, jumlah siswa di kelasku memang ganjil, ya sudah, ini nasibku. Dan aku adalah satu-satunya siswi di kelas yang mengumpulkan tugas personal di saat semestinya itu adalah tugas berkelompok. Tapi, aku bisa apa? Tak ada yang ingin duduk bersamaku. Kecuali saat pelajaran matematika, ada Gea di sana. Di satu-satunya orang yang bisa kuanggap sebagai temanku.

Bel masuk sebentar lagi berbunyi. Kondisi kelas masih sangat ramai. Para siswi sedang sibuk bergosip, sedang para siswa sibuk dengan telepon genggamnya masing-masing, biasanya sih, main game. Aku hanya duduk diam sambil membaca buku yang sudah aku letakkan di atas meja. Pemandangan yang kontras jika dibandingkan siswa-siswi yang lain.

"Tak ada orang?" Sebuah suara yang muncul dari mulut laki-laki yang tampak asing buatku. Aku sedikit terkesiap dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Aku cuma bisa mengangguk, dan dia langsung menempati bangku itu.

Dia duduk dan terlihat seperti mengamati kondisi kelas. Apa yang sedang dia pikirkan, aku tak mengerti. Dia tampak asing bagiku.

Pintu kelas berdecit, seseorang membukanya dari luar. Terlihat Pak Satjipto tengah kewalahan membawa buku-buku tebal dan sebuah globe yang tak begitu besar. "Ada yang bisa bantu saya?" katanya.

Aku hendak beranjak dari tempat, tapi sayangnya usahaku didahului oleh laki-laki yang duduk di sebelahku tadi. Dia dengan cekatan mengambil alih globe yang ada di tangan Pak Satjipto dan memindahkannya di meja guru. Perlu aku kasih tahu padamu. Kejadian seperti ini jarang terjadi. Bahkan mungkin tak pernah. Hanya aku yang biasanya membantu Pak Satjipto ketika dia sedang kewalahan seperti tadi. Beliau adalah guru yang kerap menjadi bahan tertawaan para siswa. Padahal menurut pandangan pribadiku, beliau adalah guru yang paling totalitas. Cermati saja dari apa yang dia bawa. Terlepas dari metode pengajarannya seperti apa, tapi dari segi kepribadian, beliau sangat tangkas. Beliau bisa saja memanggilku ke ruang guru untuk membantunya membawa peralatan mengajarnya itu, daripada harus repot-repot membawanya sendiri ke kelas. Tapi beliau memilih tak melakukan itu. Mungkin ini sepele, atau suatu tabiat yang aku besar-besarkan. Tapi satu hal yang harus kita refleksikan, bahwa banyak guru yang tak mau repot seperti Pak Satjipto ini.

"Terima kasih…" Dilihat dari alis Pak Satjipto yang mengerut, tampaknya bukan aku sendiri yang terasa asing dengan laki-laki itu.

"Darsam Wicaksana, Pak," ucap laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya. Dia terlihat takzim menyingkapi sosok guru yang ada di depannya.

Ini pemandangan bersejarah. Bersejarah karena Pak Satjipto yang selama ini kerap menjadi bahan tertawaan para siswa, kali ini aku takjub sebab ada sosok baru yang mampu menghormati guru seperti itu. Aku sepertinya harus merekam kejadian ini dan memberitahukan pada Gea nanti saat istirahat.

"Terima kasih, Daras," kata Pak Satjipto dengan suara gugupnya yang khas.

Laki-laki yang bernama Darsam yang kini berdiri di depannya pun terlihat tak ingin mengoreksi pengucapan nama yang salah oleh Pak Satjipto. Dia hanya mengangguk dan tersenyum takzim. Tapi mungkin bagi siswa yang lain, kesalahan itu adalah sesuatu yang perlu dipersoalkan secara masif.

"Darsam, Bapak. Bukan Daras!" terdengar celetuk dari arah belakang. Aku tak perlu menoleh untuk mengetahui sumber suara melengking itu. Pasti Arga orangnya. Dia adalah seseorang yang terkenal tengil di kelas. Mungkin karena dia merasa punya otoritas di sekolah sebab dia menjadi kapten tim futsal untuk itu dia berlagak seperti itu. Atau bisa karena alasan lain, mungkin naluri.

Kalimat cemooh itu berubah menjadi gelak tawa yang mengerikan. Aku melihat Pak Satjipto lagi. Terlihat sekilas dia gugup. Mencoba meraih spidol dan hendak menulis di papan tulis. Namun spidol yang dia apit dengan jemarinya terjatuh ke lantai. Gelak tawa kembali menyergap.

"Bagaimana guru-guru SMP kalian sebelumnya berani meluluskan kalian dengan kondisi seperti ini?" Sebuah sarkas yang sangat dingin itu mampu membuat seisi ruangan menjadi senyap. Aku tak menyangka, ternyata sosok Darsama itu yang melakukanya.

Setelah jeda keheningan yang canggung itu, kelas kembali dimulai. Terdengar gumaman dari arah belakang. Aku sempat melirik sekilas, sebagian besar seperti sedang membicarakan Darsam.

"Kenapa lirik-lirik?" teguran cepat dari Darsam ketika berhasil memergokiku.

Entahlah, padahal aku sangat berhati-hati melakukannya. Tapi mengapa dia sampai bisa tahu kalau aku sedang melirik ke arahnya? Benar-benar sakti anak ini, pikirku.

"Aku…"

"Sudah tahu. Arum, kan?"

Hah? Tahu dari mana dia soal namaku? Perasaan baru saja aku hendak memperkenalkan namaku.

"Sudah kenal namaku juga, kan? Pastinya. Bahkan mereka pun tahu tanpa aku harus repot-repot memperkenalkan diri pada mereka," katanya, tetap dengan nada datarnya yang khas. "Sudah. Fokus saja ke pelajaran. Modal melihatku saja, itu tak bisa membuatmu masuk ke UI," lanjutnya. Entah kenapa, ringan sekali dia mengucapkan itu. Tapi aku terasa tertampar. Masalahnya, kenapa dia bisa tahu target kampus tujuanku setelah ini?

Akhirnya, aku memutuskan untuk membuang muka dan memilih untuk memperhatikan Pak Satjipto yang tengah menujukkan beberapa titik lokasi terjadinya awal mula manusia zaman dahulu mulai mendomestikasi gandum, jagung, dan sebagainya. Awal dari Revolusi Pertanian. Di sisi lain, kesan pertamaku pada Darsam, mengganggu konsentrasi belajar. Ya, Darsam, dia sosok yang menarik dan sedikit menyeramkan.

***

Terdengar suara melengking khas perempuan yang sedang bergosip. Yang satu, bisa dianggap siswi terkenal di sekolah. Aku tak tahu kelebihannya apa, yang jelas saat ini dia tengah berbicara hingga berbuih-buih. Memamerkan pada teman-temannya yang lain bahwa Arga baru saja menyatakan perasaan padanya, Atau dalam bahasa anak kekinian, Arga telah 'menembaknya'.

Meski aku bukan tipe penggosip, mau tidak mau telingaku juga mendengar suara yang nyaring itu. Dan aku berpikir, apa sih, hebatnya seorang Arga itu? Tidak lebih cuma seorang kaptem tim futsal dengan adab di bawah standar. Hobi mencemooh orang, tak menghormati orang yang lebih tua, dan suka memainkan perasaan perempuan. Selebihnya aku tidak tahu. Aku hanya menyebutkan yang identik padanya. Tidak berdasarkan persepsiku. Mengenai aku tahu dari mana perihal dia suka memainkan perasaan perempuan, itu sudah menjadi rahasia umum. Tidak sedikit perempuan dari kelas lain yang menghampirinya untuk sekadar menamparnya dan meminta putus.

Dan Arga itu termasuk salah satu laki-laki yang masuk dalam daftar orang yang wajib aku jauhi. Aku benar-benar tak habis pikir, apa sih, yang membuat perempuan itu terlihat begitu kegirangan hanya karena Arga? Apa dia tidak mengikuti update soal Arga? Atau memang dia hanya mengikuti fetish-nya saja?