webnovel

Sebuah Lara untuk Zara

Sebuah lara yang tak ada habisnya, mungkin memang sudah jadi takdir untuk selalu menemani Zara. Tak ada yang benar-benar menerimanya, baik keluarga atau dalam lingkup pertemanan. Terlahir dengan kulit kusam, dan jerawatan, sepertinya dianggap terlalu memalukan oleh kedua orang tuanya. Mama artis, Papa pun juga begitu. Intinya, keduanya terkenal. Tak urung identitas Zara sudah ditutup rapat sejak ia kecil. Zara kira ... kisah percintaannya lebih baik. Nyatanya semua tak sesuai harapan. Zayn Arielo tak bisa ia gapai karena alasan ... dirinya si gadis buruk rupa. Ya, ia kira sampai kapan pun, gadis buruk rupa sepertinya tak cocok bersanding dengan sang pangeran tampan seperti Zayn. Sepertinya, sampai kapan pun, bahagia tak akan pernah ada dalam sejarah hidupnya.

Intanworld · Teen
Not enough ratings
207 Chs

Pelukan Seorang Ibu

"Mau kemana lo?"

Zara menoleh, dan mendapati sosok kakak laki-lakinya. Gadis itu mengulas senyum tipis.

"Aku mau ke rumah Kak Kai."

Tanpa meminta penjelasan pun, Agra tahu apa yang Zara maksud. Lelaki itu memalingkan muka sebentar, sebelum akhirnya melayangkan tatapan penuh ketajaman.

"Kak Kai nggak nerima lo nginjakin kaki di sana. Jadi jangan pernah ke sana lagi," ujar Agra dengan angkuhnya.

Zara terdiam sebentar, sebelum akhirnya dengan berani gadis itu membalas tatapan tajam sang Kakak, "Kak Kai sayang aku, mana mungkin dia nolak aku di sana?" ujarnya balas bertanya.

Agra menggeram, tampang sok polos adiknya benar-benar membuatnya muak. Ia kesal jika ingat dulu Zara sering merebut perhatian Kakaknya. Sebelum ada gadis itu, Kai setiap saat selalu meluangkan waktu untuknya dan Citra.

"Kalau gue bilang jangan kesana ya jangan kesana, sialan!"

Agra menarik kasar tangan Zara, napas lelaki itu memburu, "Lo tuh pembunuh, nggak usah kesana!"

Zara mengepalkan kedua tangannya kuat, ia merasa tak membunuh siapa pun. Langkah kaki Agra menuju rumah mereka terbilang cepat dan tergesa, membuat Zara kadang kali tersandung sana-sini. Entah kakinya yang beralaskan sendal luka atau tidak, yang pasti rasa perih tentu terasa. Goresan kaki dengan aspal ia rasakan beberapa kali.

"Kak, sakitt," ringis Zara tatkala cengkraman Agra semakin menguat.

"Lo keterlaluan!"

Suara bass itu mengalun di telinga keduanya. Sepasang adik dan kakak itu segera menoleh, dan mendapati sosok Zayn dengan motor kesayangannya.

"Jangan ikut campur lo!" Agra melayangkan tatapan penuh tajam ke arah Zayn.

Zayn terkekeh pelan, "Gue mau ajak Zara keluar, boleh ya?" ujarnya setelahnya.

Agra melirik ke atas sebentar, ke arah kamar Citra berada. Sebelum akhirnya lelaki itu mendorong kasar tubuh Zara ke arah Zayn. Sampai-sampai tubuhnya terantuk badan motor Zayn bagian belakang. Gadis itu tentu meringis pelan, namun tetap menegakkan tubuhnya kembali.

"Bawa aja semau lo, perkosa juga nggak apa-apa."

Agra melangkah pergi, sementara Zara terpaku di tempatnya. Tak ada belas kasihan sedikitpun di hati Agra untuknya. Perkosa? Apa semudah itu seorang Kakak mengatakan hal itu untuk sang adik?

"Udah, jangan dipikirin lagi, Ra."

Zara tersentak, keluar dari lamunannya. Apalagi saat ucapan Zayn diiringi usapan lembut di puncak kepalanya. Walau Zayn pernah melakukan hal itu sebelumnya, tapi tetap saja reaksi tubuhnya tetap sama. Deg-deg an tak terkira.

"Ayo naik."

Zara tergagap, salah tingkah sendiri di tempatnya. Gadis itu segera naik ke motor Zayn, dengan ragu, ia memegang pundak Zayn sebagai pegangannya.

Motor melaju, membelah kerumunan kendaraan yang sama-sama berderu. Dua insan itu duduk di atas motor yang sama dengan perasaan yang berbeda. Hanya ada keheningan di beberapa waktu. Sebelum akhirnya deru suara Zayn yang berhenti mampu menyadarkan Zara dari lamunannya.

Gadis itu mengedarkan pandangannya, dahinya mengernyit, "Kita di mana, Kak?" tanyanya pelan.

Zayn mengulas senyum tipis, lelaki itu meminta Zara untuk turun lebih dulu. Sebelum akhirnya lelaki itu mengikuti pergerakan Zara.

"Ayo masuk aja." Tangan Zayn bergerak menggenggam tangan Zara.

Namun, baru sebentar, Zara buru-buru melepaskan. Zayn paham, ia tak memaksakan, lelaki itu berjalan lebih dulu, diikuti Zara di belakangnya.

"Ki-kita di rumah siapa, Kak?" tanya Zara takut.

Ia takut Zayn macam-macam padanya. Apalagi jika mengingat perlakuan lelaki itu dulu.

"Di rumah gue, udah, gue nggak akan macem-macem kok." Zayn meraih tangan Zara untuk kembali digenggam.

Karena rasa gugup, kali ini Zara tak mencoba melepaskannya. Tangan Zayn yang bebas terangkat, mengetuk pintu lebar di depannya beberapa kali.

Sebelum akhirnya pintu dibuka dari dalam, menampakkan sesosok lelaki jangkung yang lebih tinggi dari Zayn. Zara terpaku, matanya berkaca.

"Kak Ka-i?" gumam Zara yang masih mampu di dengar dua orang di sekitarnya.

"Kai? siapa Kai?" tanya sosok jangkung di depan Zara.

"Ka-mu, kamu Kak Kai." Zara beberapa kali berucap begitu.

Sosok itu menunjuk dirinya sendiri dengan pandangan bertanya, "Gue? Gue Rayn, kakaknya Zayn."

Zara menunduk sebentar dengan setetes air mata yang mulai membasahi pipinya, lantas gadis itu kembali mendongak untuk memastikan sosok di depannya bukan hanya sekedar salah liat. Tidak, Rayn benar-benar mirip dengan Kai.

"Jangan bohong, kamu Kai, mirip banget," ujar Zara sekali lagi.

Namun, gelengan dari Rayn membuat harapannya patah untuk kesekian kalinya. Rayn ... bukan Kai.

***

"Tujuan Kakak bawa aku ke sini untuk apa?" tanya Zara tatkala Ibunda Zayn sedang membuatkan minuman.

Zayn menoleh, "Kenalin lo sama Bunda, salah?" tanyanya.

Zara menghela napas saja, tak berniat untuk membalasnya. Saat mendengar langkah kaki, ia mendongak dan mendapati sosok Rayn di sana. Matanya berkaca untuk kesekian kalinya, Rayn benar-benar mirip Kai.

"Apa ... Kak Rayn pernah kecelakaan?" tanya Zara untuk memastikan.

"Kak Rayn per--"

"Nggak!" Rayn buru-buru memotong ucapan Zayn.

Langkah kaki Rayn terhenti, lelaki itu segera bergabung dan mendudukkan diri di salah satu kursi.

"Gue nggak pernah kecelakaan, gue sehat wal afiat di sini dari kecil sampai sekarang."

Bahu Zara merosot turun, namun gadis itu berusaha untuk mengulas senyum.

"Oh, Kakakku kecelakaan soalnya, dan dia mirip banget sama Kak Rayn." Zara tetap mempertahankan senyumnya, berbanding terbalik dengan matanya yang berkaca-kaca.

Rayn memalingkan muka, tampak tak peduli dengan itu. Lelaki itu segera bangkit dan pergi dari sana tanpa meninggalkan sepatah kata.

"Lo nggak papa?" tanya Zayn tatkala melihat bahu Zara bergetar.

Zara menggeleng pelan, ia mengusap air matanya.

"Nih, Zara, Bunda buatin kamu seblak. Pasti kamu suka kan?"

Zara menoleh, matanya berbinar melihat tiga mangkuk seblak yang Bunda Zayn bawa. Harumnya menguar membuat Zara begitu tak sabar untuk mencicipinya.

"Suka, Tante," ujar Zara dengan senyuman.

Bunda Zayn terkekeh, wanita paruh baya itu memberikan dua mangkuk seblak untuk Zara dan Zayn. Dan sisanya untuk wanita itu sendiri.

"Zara."

Yang dipanggil menoleh, "Kenapa, Tante?" tanyanya.

Bunda Zayn mengulas senyum tipis, "Maafin perlakuan Zayn ya. Dia pasti nyakitin kamu."

Mata Zara membola, ia melirik Zayn yang juga mengulas senyum tipis.

"A-aku udah maafin Kak Zayn, Tante."

Bunda Zara tersenyum lebar, tanpa aba-aba, wanita itu menarik Zara ke dalam dekapannya. Hangat. Sudah lama Zara tak merasa pelukan seorang ibu. Ternyata seperti ini rasanya.

Tanpa sadar, mata Zara berkaca. Ia tak pernah dapat pelukan hangat seperti ini dari Mamanya. Ia tak pernah dapat usapan lembut di puncak kepalanya seperti ini. Dan saat pelukan dilepaskan, Zara merasa kehilangan.

"Eh, ya ampun, Bunda lupa belum jemput adikmu Zayn. Bisa ngambek itu si Raya. Zara, tunggu di sini dulu ya. Kalian berduaan jangan macem-macem." Setelahnya, Bunda langsung melesat begitu saja.

"Makan seblaknya dulu, Ra," titah Zayn.

Zara menoleh ke sumber suara, gadis itu mendapati Zayn dengan senyum tulusnya. Kali ini, Zara membalasnya.

"Makasih udah bawa aku ke sini, Kak.