Zara tidak luluh pada Zayn, benteng pertahanannya yang hampir tiada masih ada. Ia hanya berterimakasih pada Zayn karena telah membawanya pada pelukan seorang ibu. Membuatnya merasakan hangatnya seorang ibu untuk yang pertama kali.
Katakan ini berlebihan, tapi menurutnya ... ini adalah sebuah kebaikan. Walau bukan ibu kandungnya, setidaknya ia tahu bagaimana rasanya kehangatan seorang ibu.
"Raya, ayo rapihin mainannya, yuk," ujar Zara pada gadis kecil di depannya yang tak lain adalah adik kandung Zayn.
Sudah malam, dan ia masih di sini karena Raya yang tak memperbolehkannya pulang untuk menemaninya main. Yang jadi kesedihannya adalah nasib Raya yang mirip dengannya. Gadis itu bercerita sendiri padanya. Jadi korban perundungan dan tak punya teman karena masalah fisik. Bedanya, Raya cantik, hanya saja kaki kiri gadis itu tak berfungsi katanya. Ya, cacat dari lahir.
"Jangan pulang, Kak Zara. Di sini aja sama Raya." Mata gadis itu berkaca.
Zara menghela napas berat, belum juga mengeluarkan suara, Zayn lebih dulu datang dan menarik Raya ke dalam gendongannya.
"Kak Zara kan punya rumah, Dek. Dia harus pulang, nggak bisa di sini terus sama Raya."
Raya berdecak, ia membenamkan wajahnya di leher Zayn. Menangis di sana.
"Kok nangis? Nanti janji deh, Abang bawa Kak Zara ke sini lagi." Zayn mengakhiri kalimatnya dengan melayangkan kecupan di kepala sang adik.
Satu lagi perbedaannya, Raya memiliki dua kakak yang sayang padanya. Memiliki keluarga yang hangat. Tidak seperti Zara yang bahkan tak tahu harus berkeluh kesah kemana. Mengingat itu, ia jadi ingat kakak Zayn yang mirip sekali dengan Kai.
"Zara, lo pamit ke Bunda aja, biar gue yang tenangin Raya. Bunda di teras depan sama Papa kayanya," ujar Zayn sembari mengusap punggung Raya.
Zara mengangguk pelan, gadis itu segera melangkah ke depan. Ia terdiam sebentar tatkala melihat sosok Rayn juga ada di sana bersama kedua orang tuanya. Bercengkrama hangat, Zara bahkan tak pernah merasakan itu.
"Eh, ada Zara, sini!"
Suara Bunda Zayn menyadarkannya, Zara buru-buru mendekat. Namun, tatapannya tak bisa lepas dari wajah Rayn. Wajah kakaknya.
"Kamu naksir sama Rayn, Zara?"
Zara tersadar, ia menoleh ke arah Papa Zayn dengan pipi merona. Malu sekali rasanya.
"Loh bagus, kamu mending suka Rayn aja, daripada sama Zayn. Dia kan udah pernah nyakitin kamu, kan? pindah haluan aja ke Rayn!" Bunda malah mendukung dengan antusias, entah bercanda atau bagaimana.
Zara menggeleng malu, ia menunduk dalam. Papa dan Bunda tertawa kecil, sementara Rayn diam mengamati Zara.
"Yuk, Pa, tinggalin mereka berdua dulu. Biar kenalan lah ya." Tidak, kalimat itu bukan bercanda, karena keduanya benar-benar melangkah masuk ke dalam.
Zara menghela napas berat, ia menatap Rayn yang juga menatapnya dingin. Dan saat lelaki itu hendak pergi masuk ke dalam juga, Zara buru-buru menahan tangannya.
"Apa?" tanya Rayn dengan nada datar.
Zara menggeleng pelan, "Kak Rayn beneran nggak kecelakaan? Atau amnesia gitu?" tanyanya untuk yang kesekian kalinya.
Rayn berdecak sebal, lantas menghempaskan tangan Zara sedikit kasar, "Budeg lo? Gue bilang nggak kecelakaan ya nggak kecelakaan."
"Lagian gue juga nggak pernah punya kembaran, gue nggak tahu siapa Kai, gue nggak kenal siapa lo."
Setelah itu, Rayn pergi begitu saja. Meninggalkan Zara yang terpaku dengan mata berkaca. Sekali lagi ia harus meyakinkan diri kalau Rayn bukanlah Kai. Cukup, itu saja. Karena nyatanya, Kai sudah tiada. Zara saja yang berkhayal lebih kalau Kai masih hidup.
Zara hanya terlalu dijatuhkan oleh ekspetasi yang ia buat sendiri.
***
"Terima kasih, Zayn." Sudah tiga kali Zara mengucapkan kata itu dengan senyum manisnya.
Zayn terpaku, lantas memalingkan wajahnya dari Zara, "Sama-sama," ujarnya.
Setelah itu, Zayn pamit undur diri. Membawa raganya bersama motor kesayangannya. Meninggalkan Zara di depan rumahnya dengan wajah berseri.
Gadis itu berbalik masuk ke rumahnya setelah tak melihat Zayn lagi. Melangkahkan kaki menuju pintu masuk rumahnya. Dahinya mengernyit tatkala pintu ternyata sudah di kunci. Padahal, baru pukul tujuh malam. Papa dan Mamanya pasti belum pulang, kan?
Menarik napas sebentar, Zara mengetuk pintu beberapa kali.
"Assalamualaikum," ujarnya beberapa kali juga.
Tiga menit berlalu, ia masih saja melakukan itu. Mengetuk pintu sembari mengucap salam dan memanggil nama seisi rumah. Dan pada akhirnya, Zara kelelahan sendiri. Ia mendudukkan diri di samping pintu, menyandarkan punggungnya di sana.
Cklek.
Suara kunci yang diputar diikuti derit pintu membuat Zara menoleh. Gadis itu segera berdiri, dan mendapati sosok sang Papa yang menatapnya dengan sorot jijik seperti biasa.
"Darimana? ngelonte? emang ada yang mau?"
Zara terpaku, tak habis pikir akan kalimat yang barusan keluar dari mulut sang Papa. Tak bisa dipungkiri, hatinya sedikit nyeri.
"Aku dari rumah temen, Pa." Gadis itu mengakhiri kalimatnya dengan membasahi bibir luarnya.
Papa mengedikkan bahu acuh, "Saya nggak peduli mau kamu kaya gimana, mah. Yang penting jangan sampai ngeganggu keluarga aja. Kamu kerja kaya gitu juga nggak papa, meringankan beban saya."
"Tapi, malam ini kamu tidur di luar ya."
Zara ternganga, matanya berkaca. Keinginannya simpel, hanya kasih sayang orang tua. Itu saja. Tapi memang tak akan ada yang menyayangi si buruk rupa ini setulus Kai. Seolah dunia memang malu memilikinya. Atau ... semuanya adalah kesialan bagi Zara karena ada di sekitar orang-orang dengan fisik sempurna.
Bahu Zara merosot turun saat pintu kembali tertutup. Gadis itu segera kembali duduk di tempat tadi. Ia menenlungkupkan wajahnya di lipatan kaki. Terisak di sana, menumpahkan segalanya. Ia ... menangis sendirian di tengah malam sampai lelah datang.
***
Sebuah kesialan yang kesekian kalinya, Zara terlambat. Mengesalkan memang. Sudah semalam tidur di luar, esoknya malah tak ada yang membangunkan. Kalau tau begitu, Zara lebih baik tidur menyender pintu saja.
"Mama kok nggak bangunin Zara?" Sembari memakai dasi dengan tergesa, Zara masih sempat-sempatnya bertanya.
"Memangnya kamu siapa?"
Zara tersenyum saja, tak mencoba menanggapi lebih lanjut lagi. Lebih memilih untuk meraih tangan sang Mama untuk ia cium. Benar sekali, memangnya dirinya siapa? Ia bukan Agra, Kai, atau Citra yang jadi kesayangan Mama. Ia Zara, yang hanya dianggap sebuah bencana dalam keluarga.
Gadis itu berlari, untungnya sopir Papanya sudah pulang mengantar katanya. Jadi gadis itu meminta diantar diam-diam. Karena kalau sang Papa tahu, tamat sudah riwayatnya.
"Mang, makasih banget ya udah anterin Zara." Ia berujar demikian setelah mobil sang Papa berhenti di depan sekolah.
"Sama-sama, Neng."
Zara mengangguk, ia buru-buru keluar. Bahunya merosot turun, ia menatap nanar gerbang di depannya. Ditutup. Tentu saja, sudah pukul 8.
"Aduh, gimana dong?" Zara mengusap embun di matanya.
"Telat, Ra?"