webnovel

Pertengkaran

Lombok

Karina POV

Aku terkejut saat mendapati Juan berada di ruang tamu saat aku membuka pintu. Aku tidak tahu dia datang karena tidak menghubungiku untuk minta dijemput supir.

"Aku minta kunci kamu dan mereka kasih." Juan menjelaskan sambil berdiri. "Kita harus bicara tanpa didengar orang lain." Dia bergerak menutup pintu yang masih terbuka di belakangku. "Ka Gwen pagi tadi melahirkan, dan bayinya tidak selamat."

"Aku tahu. Dara sudah menghubungiku." Aku menjauh menciptkan jarak. Tinggi tubuhnya terasa mengintimidasi kalau jarak kami terlalu dekat.

"Mungkin saja kamu tidak percaya. Tapi selama pertunangan Anika dan Satya, keluarga inti menanyakan kehadiranmu."

Aku menatapnya tajam. "Kamu mau bicara atau mengajakku bertengkar?" Aku tidak suka dengan nadanya yang menyindir.

"Apa aku pernah mengajakmu bertengkar, Rin? Bukannya pendapatku sama sekali tidak cukup berharga untuk kamu dengar?"

"Jangan coba-coba playing victim seperti itu di hadapanku!" Aku menjaga supaya suaraku tidak meninggi. "Aku korbannya, bukan kamu. Tidak usah pura-pura terlihat tidak bersalah seperti itu! Aku tidak akan tertipu lagi."

"Aku tidak akan pura-pura terlihat tidak bersalah, Rin. Aku tahu aku salah. Apa yang aku lakukan dulu pasti kelihatan buruk kalau dilihat dari sudut pandangmu, tapi..."

"Kita tidak akan bicara soal itu lagi!" Aku mengangkat tangan untuk menghentikannya. "Percuma. Tidak ada gunanya lagi. Kalau mau bicara, mari kita bicarakan tentang kakakku atau pertunangan Anika dan Satya. Kuakui aku salah karena sudah memutuskan hubungan dengan mereka karena kamu. Jadi aku akan menebus kesalahanku sekarang. Aku akan menerima keluargamu kalau mereka datang ke sini. Aku juga akan ke Jakarta untuk menghibur Mbak Nia. Kita..." Aku menunjuk Juan dan diriku sendiri. "akan berbaikan di depan mereka."

"Berpura-pura?" Juan meneleng menatapku. "Kamu butuh waktu berapa lama untuk marah? Kamu dulu mau kita berpisah, dan aku kabulkan, Rin. Meskipun itu rasanya konyol. Seharusnya kamu sudah kehabisan alasan untuk memusuhi aku sampai melibatkan keluarga seperti ini. Dulu aku selalu berpikir kalau aku yang kekanakan dalam hubungan kita, tapi ternyata aku tidak sendiri." Tangan Juan bersedekap di depan dada. "Tapi setidaknya aku jadi tahu kalau kamu tidak sesempurna seperti yang selama ini aku pikir. Kamu punya kekurangan juga. Kamu orang paling pendendam yang pernah aku kenal."

"Kamu tidak berhak menilaiku!" Beraninya dia!

"Karena hanya kamu yang boleh menilai orang lain?" Juan menarik napas panjang. "Dengar, aku sudah bilang kalau aku mau bicara, bukan mengajkmu ribut. Aku tidak akan menang kalau berdebat dengan kamu. Aku belajar dari pengalaman."

Aku bergerak menuju pintu dan membukanya. "Aku sedang tidak mood bicara. Sebaiknya kamu keluar. Aku harus packing ke Jakarta."

"Seperti yang sudah-sudah, kan, Rin? Hanya kamu yang boleh bicara. Pembohong seperti aku tidak berhak mengeluarkan pendapat karena apapun yang keluar dari mulutku sudah pasti tidak bisa dipercaya. Demi Tuhan, Rin, aku hanya melakukan satu kesalahan! Dan kamu menghukum semua anggota keluarga kita. Kamu mengerikan!" Juan melangkah cepat keluar rumah. Dia tampak kesal.

Aku menghapus pipiku yang basah. Sial, aku menangis lagi karena laki-laki kurang ajar itu! Iya, dia memang hanya melakukan satu kesalahan, tapi itu fatal karena dia menebas habis semua ego dan harga diriku sebagai perempuan. Sulit memaafkan jenis kesalahan seperti itu.

Aku memegang erat sandaran sofa. Tenagaku seperti baru saja terkuras habis. Aku lantas duduk sambil terus mengusap air mata. Hari yang yang menyakitkan itu teringat lagi. Sangat jelas. Lebih jelas daripada yang sudah-sudah.

***

Jakarta 

Author POV

Hara menarik napas perlahan. Ia mencoba mengenang setiap sudut dapur restorannya. Pelanggan terakhir untuk sore hari itu telah pergi. Restoran telah tutup. Hara akan memberitahu Sarah bahwa ia tidak bisa bekerja malam nanti.

Ia akan memberitahukan soal operasi kakinya pada keluarganya.

Kakinya mulai terasa sakit lagi. Hara mengusapnya perlahan. Sebentar lagi, katanya pada kakinya, bertahanlah sebentar lagi.

Hara keluar dari dapur. Ia melihat restorannya yang sepi. Di sana hanya tersisa beberapa pelayan dan Sarah. Hara akan memberitahu Sarah setelah ia memberitahu orangtuanya. Sarah sudah seperti keluarganya. Ketika Hara akan memasuki dapur, pintu restorannya terbuka. Hara berbalik dan melihat Sultan terengah-engah menatapnya.

Hati Hara terasa sangat sakit. Aku tidak bisa menghadapinya sekarang, katanya dalam hati.

Sultan langsung mendatangi Hara dan berdiri satu langkah di depannya. "Kita perlu bicara."

Para pelayan lain dan Sarah langsung menyingkir, meninggalkan keduanya. Mereka pasti menyadari apa pun yang hendak dibicarakan oleh Hara dan Sultan, pasti bersifat pribadi.

"Aku tidak bisa mengahadapimu sekarang, Sultan," kata Hara sedih. "Tolong, pergilah."

Sultan menggeleng. "Aku tidak akan pergi. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku sudah menyukaimu sejak lama. Dua puluh enam tahun di negeri berbeda. Tapi perasaanku tidak pernah berubah. Wajahmu selalu membayangiku dimana pun aku berada."

Hara terharu mendengar pengakuan Sultan. Tapi rasa sakit di kakinya menyadarkannya. Ia tidak bisa berada di samping Sultan. "Aku sudah melupakanmu, Sultan. Kau hanya bagian dari masa laluku." Hara berusaha mengatakannya sekejam mungkin.

Sultan menggeleng tidak percaya. Dia mengambil selembar kertas dari sakunya dan menunjukannya pada Hara. "Kau tidak pernah melupakanku. Aku menemukan kertas ini di rumahku saat acara pertunangan Anika dan Satya kau menjatuhkan tasmu. Kau selalu membawa kertas yang kuberikan padamu. Sama seperti aku selalu membawa sketsa pemberianmu."

Dengan tangan satunya lagi Sultan memperlihatkan buku sketsa pemberian Hara. Sultan menunjukkan halaman demi halaman gambar rancangannya pada Hara. Dimulai dari cincin bintang yang pertama kali membuat Hara terkesan. "Aku selalu menggambar rancangan terbaikku di buku sketsamu." 

Hara menggenggam kedua tangannya sendiri sampai memerah. Ia berusaha menahan perasaanya. "Berhenti, Sultan," ucapnya meminta Sultan berhenti memperlihatkan gambar rancangannya.

Sultan berhenti dan menaruh buku sketsanya di meja makan terdekat.

"Kenapa kau masih saja menyangkal perasaanmu?"

Hara menggeleng. Walapun hatinya sakit mengatakan hal selanjutnya pada Sultan, ia harus mengatakannya. " Aku tidak menyukaimu, Sultan." Aku mencintaimu, katanya dalam hati.

"Kau berbohong," sanggah Sultan.

"Aku tidak berbohong." Hara menatap lurus ke bola mata Sultan. Ia mengambil kertas kecil yang sudah menemaninya selama dua puluh enam tahun dari tangan Sultan dan merobeknya menjadi serpihan kecil. "Hubungan kita sudah berakhir."

Sultan menatap Hara dengan kesedihan mendalam di matanya. "Kenapa kau melakukannya?"

"Aku kan sudah bilang, aku tidak menyukaimu lagi," kata Hara dingin.

"Aku tidak mempercayainya." Sultan menatap Hara sungguh-sungguh.

"Aku tidak peduli apakah kau mempercayainya atau tidak." Hara berpura-pura tidak peduli perasaan Sultan. Lebih baik sakit sekarang daripada nanti. "Aku tidak menyukaimu. Aku ingin kau pergi dan tidak menggangguku lagi."

"Bukankah kemarin kau setuju bila kita berteman? Kenapa sekarang sikapmu berubah drastis?" Sultan masih tidak mau menyerah.

Hara tertawa sinis. "Teman? Sultan, kita tidak akan pernah bisa berteman. Akuilah, kau juga tidak mengharapkanku sekadar menjadi temanmu, kan?"

Sultan terdiam.

"Kau bilang kau menyukaiku, bukan?" tanya Hara sambil menarik napas perlahan.

"Amat sangat," jawab Sultan langsung.

Hara mencoba menenangkan hatinya dan berkata, "Kalau kau begitu menyukaiku, kau seharusnya menghormati keinginanku."

"Itu satu-satunya keinginanmu yang tidak bisa kupenuhi," ucap Sultan jujur.

"Lihatlah aku. Tatap mataku." Hara memaksa dirinya menghilangkan semua perasaanya terhadap Sultan. "Aku memang pernah menyukaimu dulu. Amat sangat, seperti katamu. Tapi sekarang, saat ini, aku tidak menyukaimu. Apakah menurutmu aku berbohong?"

Sultan menatap Hara lama. Tatapan Hara tidak berubah, tetap dingin terhadapnya. Sultan menggeleng. "Tidak. Kau tidak bisa melakukan hal ini padaku." Sultan tahu Hara bukanlah seorang pembohong ulung. Tatapannya padanya saat ini benar-benar membuatnya patah hati.

"Pergilah, Sultan," kata Hara perlahan. "Kau bisa menyukai wanita lain yang lebih baik dariku. Lupakanlah aku. Karena aku sudah melupakanmu."

Sultan tidak tahu harus mengatakan apa.

Hara membalikan badan. Ia tidak ingin Sultan melihat air matanya.

Tiba-tiba Sultan melingkarkan kedua tangannya di pinggang Hara. Memeluknya erat dengan sepenuh hati.

Hara terkejut dan berusaha melepaskan pelukan itu. "Sultan..."

"Hanya satu menit," bisik Sultan lembut. Pelukannya di tubuh Hara semakin erat. Bibirnya menyentuh pelan telinga kanan Hara. "Berikan aku satu menit untuk memelukmu seperti ini, lalu aku akan melepaskanmu."

Hara memejamkan mata. Dibiarkannya Sultan memeluknya dari belakang. Ia bisa merasakan hangat napas Sultan di telinganya. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan. Untunglah Sultan tidak bisa melihat wajahnya saat ini. Kalau tidak, Sultan pasti tahu bahwa ia sudah membohonginya.

Perlahan-lahan pelukan Sultan mengendur. "Selamat tinggal, Hara," katanya.

Hara mendengar langkah Sultan menjauh darinya. Suara pintu restoran terbuka lalu tertutup. Hara berbalik. Ia melihat punggung Sultan. Tidak, bisiknya dalam hati, aku tidak bisa membiarkannya pergi.

Kakinya mulai melangkah, tangannya berusaha meraih punggung Sultan dari balik pIntu. Rasa sakit itu datang lagi, tapi kali ini Hara tidak bisa menahannya lagi. Punggung Sultan semakin lama semakin pudar. Seluruh tubuh Hara mulai terasa lemas. Ia jatuh ke lantai. Dan kegelapan menyelimutinya.