webnovel

Bendara Perang

Anika POV

Aku merapikan blazer, mantap menghadiri meeting perusahaan. Aku memang tidak akan masuk ke ruangan, sekadar menunggu di luar, dan mendapatkan laporan segera setelah meeting usai.

Saat Om Sultan menanyakan apakah aku sudah siap, aku mengangguk, lalu berjalan menuruni tangga. Aku menuju mobil Om Sultan. Jantungku berdegup semangat saat mobil itu melaju dan beberapa menit kemudian memasuki gedung besar tempat meeting dilaksanakan.

Tentu saja itu penting. Mereka akan berhadapan dengan keluarga Hilmar.

Aku menajamkan penglihatan saat melihat Om Nicky dan Tante Ria berjalan ke dalam perusahaan. Aku memutuskan untuk menunggu di mobil saja.

"Good luck, Om!"

Om Sultan mengangguk, meraih jas, lalu meninggalkan mobil. 

Aku menghela napas, berdoa sekali lagi agar mereka menang dan bisa mengucapkan "selamat tinggal" kepada keluarga Hilmar.

Aku menyipit saat melihat Elisa yang mengenakan blazer cokelat tua turun dari mobil. Aku tersenyum, apalagi bersamaan dengan masuknya pesan singkat dari Om Sultan.

We win!

***

Elisa tak bisa menahan rasa terkejut saat melihatku bersandar di mobil. Nana mengenakan blazer hitam dengan rok selutut. 

Aku tersenyum sinis pada Elisa, membuat gadis itu terpaku di tempat. Sepertinya Elisa masih syok dengan perlakuanku tempo hari.

"Welcome. Kamu jadi penerus di perusahaan Hilmar atau cuma jadi 

babunya Victoria supaya suatu saat dia bisa buang?" ucapku sinis.

"Ngapain kamu di sini?"

Aku berjalan mendekat. "Menurutmu?" ucapnya dingin.

Tubuh Elisa menegang saat aku menyentuh bahunya.

"Perusahaan sekelas Hilmar bisa kalah tender?" ucapku meremehkan.

"ANIKA!"

Anika melangkah mundur, melihat Tante Ria dan Oom Nicky yang setengah berlari menuju mereka. Aku tersenyum meremehkan saat mereka bertiga ada di depannya.

"Halo, keluarga Hilmar. Saya dan Anika sudah lama ingin bersapa dengan kalian." 

Aku tersenyum lebar ke arah Om Sultan yang baru bergabung.

"Sultan?"

Om Sultan mengangguk. "Lebih tepatnya Sultan Wardana, sahabat baik Faisal Maheswari. Saya paman Anika yang dulu tinggal di Inggris."

"Wardana Group?" ujar Victoria menebak.

Sultan mengangguk. "Kalian salah jika menganggap meninggalnya Farhan Hilmar menjadi akhir kejayaan perusahaan Wardana dan Maheswari."

Aku berdiri tegap, bersidekap. "Perusahaan Maheswari yang berganti nama jadi Hilmar belum berakhir, Om. Mereka lupa bahwa yang memimpin perusahaan Hilmar kali ini hanyalah staf HRD yang tak pantas jadi bos."…dan Farhan Hilmar, pemimpin sebelumnya, adalah manajer yang mengorupsi uang perusahaan, tapi masih dilindungi Ayah. Dan kemudian berkhianat. Dia jatuh cinta pada istri Ayah. Makanya dia membunuh Ayah dengan cara tersamar. Lalu dia pun gagal menjadi suami yang baik." Aku menatap geram pada tiga orang yang mulai kehilangan kendali berpikir.

"Jaga mulutmu, Anika!" bentak Elisa keras.

Aku tersenyum miring. "Kamu marah karena yang aku bilang benar, kan?"

"PAPAKU TIDAK BEGITU!" bentak Elisa lebih keras.

Aku spontan tertawa. "Papamu memang seperti begitu, Elisa. 

Kenapa? Kenapa kamu masih membela pembunuh, Elisa? Bukannya 

kamu menuduhku sebagai penyebab kematian papamu?"

Tante Ria memeluk Elisa, menenangkannya. "Apa yang kamu 

ucapkan, anak pembawa sial?" bentak Tante Ria.

Aku kembali tertawa. "Maheswari anda Wardana is growing up. Kalian berada di ujung kehancuran," ucapku tajam, juga puas bisa mengibarkan 

bendera perang. Dia rindu menyambut kemenangannya. 

To Be Continued