webnovel

Mencari Jodoh

Katanya jangan buru-buru nyari pasangan, karena menemukan orang yang tepat sangat sulit. Tetapi untuk sekarang aku mau mencobanya, jika aku menemukan orang yang salah, maka aku akan belajar lagi dan menemukan orang baru, yang lebih tepat. Jika aku menunda lama dan mencoba untuk menerima segala kekurangan karena belajar dari pengalaman, apakah bisa menjamin dia orang yang tepat pada akhirnya? Sepertinya aku harus sadar lebih dulu sebelum mencoba, mencintailah sewajarnya saja, siapa pun pasanganku kelak, jangan sampai ekspetasiku melukaiku lagi, lagi, dan lagi.

***

"Kamu pulang naik apa?"

Helen bertanya padaku sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam ransel karena bel pulang sudah berbunyi, sehingga kami sudah boleh bersiap untuk pulang. Guru pelajaran terakhir pun sudah mulai meninggalkan kelas, sementara ketua kelas kita sudah berada di depan untuk memimpin doa pulang.

Usai doa pulang diakhiri, aku baru akan menjawab pertanyaan Helen. "Naik ojek, nggak bawa motor kan aku tadi," ucapku sambil menatap Helen sekilas.

"Okay, aku tungguin sampai kamu dapat ojeknya, ya?"

"Nggak usah, kamu balik aja sama cowokmu tuh udah ditunggu."

"Biar sama aku aja, Hel." Clarissa sudah muncul di dekatku sambil menenteng tasnya, dia tersenyum lebar. "Aku nungguin ayang yang lagi ada wawancara sama kepala sekolah, jadi sekalian nungguin Moza," lanjutnya lagi sebelum mendapatkan anggukkan setuju dari Helen.

"Ya udah kalau gitu aku balik dulu, ya!"

"Iya, hati-hati, kabarin di group kalau udah nyampe rumah." Aku berteriak membalas Helen dan dia melambaikan tangan sebelum bahunya dirangkul oleh Dimas.

"Padahal aku bukan anak kecil loh yang harus kalian temenin." Aku menyindir sambil berjalan lebih dulu untuk keluar kelas, sementara Clarissa menyusul langkahku.

Kudengar dia tertawa pelan, dan kini kami sudah berjalan sejajar melewati lorong koridor. "Kamu emang bukan anak kecil, tapi kamu sendiri yang bilang kalau sendirian itu nggak enak. Lebih enakan kalau ada temannya, kan?"

"Itu cuma berlaku kalau aku lagi sedih, Cla."

"Berarti sekarang nggak lagi sedih dong?" Clarissa menatapku dari samping.

"Enggak. Hidup kok sedih terus." Aku mengatakannya dengan muka datar, lalu merogoh ponselku karena terdapat notifikasi sebelum aku memesan ojek online.

"Udah pesen gojek, Zaa?" tanya Clarissa seraya mengintip ke arah ponselku.

Aku sedikit menutupi karena ada aplikasi dating yang memenuhi notifikasiku. "Bentar, lagi proses." Aku menanggapi dengan senyuman. "Adit lagi ada wawancara apaan, Cla?"

"Biasa, sekolah pakai ngaku-ngakuin kalau prestasi Adit berasal dari sini. Kan sebelum masuk SMA ini Adit emang udah ada nama jadi seorang youtuber."

"Trus? Aditnya mau ya?" tanyaku lagi sebelum kami mengambil duduk di dekat pos security tempat menunggu jemputan.

"Mau aja dia, katanya nggak apa-apa biarin aja yang penting bukan ngejelekin dia aja pasti dia mau selagi itu positif kan sama aja ini kayak bentuk ngepromosiin dia walaupun ujungnya juga dia ikut ngepromosiin sekolahnya," tutur Clarissa membuatku mengangguk paham.

Yang aku tahu, Clarissa memiliki kekasih yang super sibuk dengan konten YouTube miliknya dan sudah memiliki cukup banyak penggemar. Tapi aku senang melihat mereka berdua bersama, karena Adit juga berusaha mencintai Clarissa dan memprioritaskan Clarissa di sela kesibukannya. Aku juga tahu hubungan mereka tidak selalu berjalan mulus, tidak selalu baik-baik saja tanpa hubungan satru, tapi keduanya masih bisa mengatasinya dengan tetap kembali bersama-sama.

"Gojekku udah dateng. Kamu balik gih, aku pulang duluan ya, Cla. Thanks udah nemenin," ucapku seraya menepuk bahu Clarissa sebelum berjalan keluar gerbang dan menghampiri gojekku.

Ketika aku sudah mengenakan helm, dan hendak naik keboncengan gojeknya, aku kembali menatap Clarissa yang tersenyum di ujung sana sambil melambaikan tangannya. Betapa beruntungnya aku memiliki sahabat-sahabat seperti mereka.

Dalam perjalanan pulang, aku mulai berani membuka aplikasi Omi. Ada fitur yang hanya bisa dibuka untuk berbayar saja. Tetapi aku masih bisa memulai chatting dengan orang yang menyukaiku lebih dulu. Berdasarkan jarak jauh dan dekat aplikasi ini sudah bisa memulai obrolan. Entah dalam bentuk chat atau telepon. Karena aku tidak suka bertelepon, maka aku lebih merespons chat yang masuk saja.

"Ah, obrolannya terlalu membosankan semua." Aku berceletuk dengan diriku sendiri sebelum menyimpan ponsel ke dalam saku seragam.

"Iya Mbak? Obrolan yang mana?"

Tidak kusangka Kang ojek ini dapat mendengarnya dan ia menanggapiku yang sebenarnya tidak bermaksud mengajaknya berbicara.

"Maaf Mas, saya enggak ngomong apa-apa. Tadi cuma ngomong sendiri ini sama ponsel ada yang kirim chat nyebelin hehehe, maaf ya Mas." Aku beralasan saja, karena memang itulah faktanya.

"Oh, kirain Mbak kesal sama saya karena saya enggak ajak bicara."

Dih. Aku diam saja dan membiarkan ia mengatakan sesukanya. Berharap cepat sampai di rumah, kadang-kadang kalau tidak membawa motor atau tidak dijemput sama ayahku, ini yang tidak aku suka. Berada di atas motor dengan orang asing, walaupun aku mudah berinteraksi, tetap saja aku lebih nyaman ngobrol sama orang yang sudah kukenal dengan baik.

"Makasih ya Mas, kembaliannya ambil saja."

"Wah, makasih banyak Mbak."

Dia pergi dengan senyum ramahnya. Aku hanya mengangguk dan membalas dengan senyuman tipisku. Begitu aku masuk ke dalam rumah, dua adikku menyambut untuk mencari-cari perhatianku.

"Di mana Ayah?" Aku bertanya pada mereka.

"Di atas lagi jemur pakaian," sahut adikku yang terakhir.

"Kok nggak dibantuin? Lagi-lagi mau mandiri nyuci sendiri udah keduluan, kan," gerutuku yang sangat heran dengan kebaikan Ayah karena setelah kami tidak tinggal bersama Ibu, Ayah juga merangkap pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh seorang Ibu.

Aku pun berjalan ke arah kamar dan meninggalkan kedua adikku di ruang tengah, mereka melanjutkan permainan game dengan suka-suka. Saat membuka pintu kamar, aku kembali memeriksa pelajaran yang tadi kupelajari di sekolah sebelum mulai membuka laptop dan bekerja. Selain sekolah, memikirkan pelajaran, aku juga harus menghasilkan uang dengan mengandalkan gaji sebagai seorang model mandiri. Aku mengurus managemenku sendiri. Mengecek apakah ada email masuk dan tawaran job yang bisa kuambil. Karena sejak tinggal di Surabaya, aku langsung menyebarkan portofolio milikku yang lumayan sukses ketika masih tinggal di Jember.

"Hari ini kosong, tabunganku bisa nipis ini mah kalau enggak ada job lagi," gerutuku dengan nada lesu, kemudian ada notifikasi lagi.

Ardhan?

Itulah namanya yang tertera di akun Omi. Dia mengirimkan pesan padaku. Isinya cukup menarik untuk kubalas.

Ardhan : Hai, apakah harimu menyenangkan?

Aku pun mengetikkan balasan untuknya dengan sebuah senyuman.

Moza : Hai juga Kak, hariku menyenangkan karena mendapatkan pesan darimu. Salam kenal, Kak!

Ardhan : Terima kasih, dan maaf apakah kita bisa saling mengenal?

"Wah, dia bales lagi. Tapi bentar, ini nggak ada fitur bacanya, ya?  Aku lihat dia lebih tua dariku dan berumur dua puluh tiga tahun. Dia juga sudah lulus kuliah anak hukum ini? Berarti dia kerjanya jadi pengacara bukan, ya? Fotonya pakai jas lagi di depan kantor pengadilan Sidoarjo ini sepertinya," celotehku sambil terus menerka-nerka ketika membaca berbagai informasi yang ia bagikan di akun Ominya, padahal aku tidak tahu juga kebenarannya. Namun, aku penasaran dan terus ingin membalasnya.

Moza : Bisa, silakan hubungi aku ke WhatsApp, karena aku akan jarang membuka aplikasi ini.

Kemudian, aku menuliskan nomer WhatsApp dan kukirimkan untuknya. Akhirnya, apakah ini akan berjalan dengan baik?