webnovel

Rumah Leluhur

Aku harus pindah ke rumah kakek-nenekku di desa untuk merawat kedua sepupuku yang ditinggal mati oleh kedua orangtuanya. Namun di sana aku menghadapi masalah besar. Rumah itu hendak digusur untuk perluasan Bandara. Kami bersikeras mempertahankan tanah dan rumah warisan leluhur tersebut. Dan itu tidaklah mudah. Kami selalu mendapatkan tekanan agar segera pergi dari sana. Di saat pertentangan sengit terjadi antara kami dan pemerintah, tiba-tiba saja rumah itu hidup!

cahyonarayana · Fantasy
Not enough ratings
9 Chs

Jadi Pengasuh

Masakan Cintya ternyata sangat enak. Kami makan malam dengan sup ikan dan kepiting rebus buatannya. Entah belanja di mana dia. Dan darimana juga belajar masak? Pasar cukup jauh dari sini. Dan tak mungkin mereka melaut!

"Enak, Mas?" tanya Cintya, "Maaf, aku Cuma bisa masak begini!"

"Enak sekali, darimana kamu belajar masak? Belanja di mana?"

"Dari ibu! Belanja di kios-kios pasar sana. Dekat sekolah!"

"Kamu pulang sekolah belanja?"

"Mau bagaimana lagi, sekarang tak ada ibu!"

Dan aku pun terdiam tertegun. Betapa tegar dan mandirinya mereka berdua. Tegakah orang-orang macam ini diusir?

"Oh ya, keluarga besar memberiku banyak uang." Ujarku, "Untuk biaya hidup kalian sementara ini! Akan kuberikan besok untuk belanja, Cin!"

"Terimakasih banyak, Mas! Mereka juga ngasih kita banyak uang kok. Lagian tabunganku juga lumayan."

"Simpan saja tabunganmu, besok kuberi uangnya!"

"Baik Mas. Maaf merepotkan. Mau gimana lagi, rekening ayah ibu kan sedang diurus Bu Dhe!"

"Iya, tenang aja!"

Rekening orangtua mereka memang sedang diurus ibuku untuk dipindahtangankan. Entah kepada siapa. Keluarga besar masih bingung menentukan wali mereka.

"Dia masak spesial, Mas!" ujar Rio sambil memakan kepiting, "Tidak biasanya begini!"

"Oh ya?" tanyaku.

"Mbak Cintya kan suka Mas Rian! Hihi!"

"Rio!" gertak Cintya pelan.

"Haha, bener kan?!"

"Rio, diam deh! Ada-ada aja kamu!"

"Haha, Mbak Cintya malu!" lelaki kecil itu terus bercericau, "Bener kok Mas! Dulu waktu SD, Mbak Cintya sering bilang ingin jadi pacar Mas Rian! Hahaha!"

"Rio!"

Aku hanya tertawa kecil menanggapi mereka. Dan Cintya tampak malu-malu. Ia begitu cantik dengan kemandiriannya.

"Oh ya, Mas mau ngomong nih."

"Apa Mas?" tanya mereka berdua.

"Begini, aku tahu kalian sangat ingin tinggal dan mempertahankan rumah ini. Tapi apa kalian sudah mempertimbangkan masak-masak?"

Mereka terdiam. Mungkin tahu arah pembicaraanku ke mana. Aku harus menjalankan misi yang dititipkan paman-paman. Membujuk mereka pergi. Berhasil atau tidak, itu urusan belakangan.

"Kita kan tinggal sendirian di kawasan ini. Semua orang sudah pergi. Kita mau hidup dengan siapa? Lagipula tanah ini mau digunakan untuk kepentingan orang banyak."

"Jadi Mas juga ingin kami pergi dan menjual tanah ini?" jawab Cintya tak senang.

"Aku hanya menyarankan yang terbaik. Rumah ini bisa kita bongkar dan bangun di tempat lain. Ayah Mas kan bisa urusan bongkar dan bangun rumah. Mudah kok! Kita bangun aja di dekat kota. Biar kalian nanti dekat dengan saudara-saudara yang lain."

"Kami tak mau, Mas!" jawab Cintya.

"Yah, betul!" sahut Rio masih memakan kepiting, "Rumah ini harga mati! Hehe!"

"Kalau kita bersikeras, lama-lama pemerintah bisa mengambil tindakan."

"Biar aja!" balas Cintya, "Ayah dan ibu sudah mengatakan akan mempertahankan rumah dan tanah ini. Bukan masalah bongkar rumah dan dipindahkan, Mas! Tapi juga soal menjaga tanah leluhur ini!"

"Yah, kami akan terus bertahan di sini, Mas!" imbuh Rio, "Terserah jika Mas mau mendukung atau tidak. Kami bisa hidup berdua!"

Aku hanya menghela nafas dan tak melanjutkan pembicaraan. Anak-anak muda memang kadang susah diajak bicara. Sama sepertiku juga barangkali. Disuruh cari kerja dan jodoh, tapi tetap tak bergeming.

Sehabis makan, kuawasi mereka belajar. Aku sendiri sibuk memainkan ponsel. Menulis beragam status emosional di media sosial tentang kembali ke rumah kakek. Foto-foto rumah ini pun kutebar di sana.

[Haruskah rumah warisan leluhur macam ini digusur?]

Kataku dalam postingan-postingan itu.

Dan berbagai komentar pun muncul. Sebagian menolak dan sebagian setuju.

[Demi kepentingan pemerintah!]

Kata mereka klasik.

Rio tertidur sekitar jam sembilan malam lebih. Ia menempati kamar di sebelah kamar Cintya dan kamarku dulu.

Seusai mengecek semua pintu, aku menuju ke kamarku. Kupapasi Cintya yang sedang beranjak ke kamarnya.

"Terimakasih sekali lagi," katanya di depan kamar, "Mas sudah mau menemani kami! Hanya Mas Rian yang peduli pada kami!"

"Tidak masalah! Karena aku menganggur, jadi bisa menemani kalian! Saudara-saudara yang lain sibuk!"

Ia kembali memelukku, "Aku minta pada Mas jangan menyuruh kami pergi dan menjual tanah ini lagi!"

Aku terdiam dan tak bisa menjawab. Cintya melepaskan pelukan dan memandangiku. "Janji ya, Mas?!"

"Iya!" jawabku tersenyum dan mengusap rambutnya, "Kamu jangan mikir macam-macam lagi. Fokus saja pada sekolah kalian."

*

Saat terbangun di pagi hari, kudapati Cintya sedang menyapu halaman. Rio membersihkan kandang-kandang burung dan memberinya pakan. Astaga, mereka bangun lebih pagi dariku!

"Good morning, Mas Rian!" sambut Rio penuh semangat.

"Kalian bangun jam berapa?" balasku.

Orang Indonesia tak terbiasa mengucapkan selamat pagi di kehidupan sehari-hari. Hanya di grup chat saja untuk basa-basi mengisi waktu.

"Shubuh tadi!" jawab Rio penuh keceriaan, "Mas masih ngantuk ya? Tidur aja lagi! Orang kota kan biasanya bangun siang!"

Ah, anak itu!

"Diberi pakan apa nih?" tanyaku membantunya memberi pakan burung-burung.

"Mas mau kopi?!" tanya Cintya di kejauhan sambil menyapu halaman, "Sebentar, abis ini kubuatkan!"

"Biar nanti aku buat sendiri!" jawabku.

Menyapu halaman seluas itu tentu sudah cukup melelahkan baginya. Halaman ini jauh lebih luas dari rumahnya. Belum lagi halaman bagian samping dan belakang.

Dan kurasa Cintya sudah terbiasa menyapunya tiap pagi. Seperti halnya ibuku dulu waktu masih kecil.

Tiba-tiba tiga ekor anjing berdatangan. Anjing liar. Rio menyambut mereka, "Hai, sini, sini!"

Mereka berhenti sejenak memandangiku curiga. Salah satu menggeram.

"Tenang, dia Mas Rian!" jelas Rio pada mereka, "Keluarga!"

"Bentar ya, Mas!" ucap Rio meninggalkanku untuk masuk ke dalam.

Dan ketiga anjing itu masih memandangiku curiga. Dua di antaranya berusaha mendekat dan mengendusku.

Aku mengangkat kaki untuk berjaga-jaga. "Sst, sst!" usirku pada mereka. Aku tak suka anjing.

"Haha, tenang Mas!" seru Cintya, "Mereka sudah jinak kok, meski liar!"

Rio kemudian keluar membawa potongan ikan dan tempe. Makanan sisa semalam. Ia memberikannya pada anjing-anjing itu setelah dicampur dengan nasi.

"Mereka anjing liar, Mas!" jelas Rio, "Sering berkeliaran di pantai. Orang desa sering memberi mereka pakan. Sekarang semua orang pergi. Jadi mereka sering kemari!"

Ah, betapa kasihan nasib anjing-anjing ini. Jika Cintya dan Rio benar-benar pergi, pada siapa mereka akan minta makan. Apa iya mereka harus memancing sendiri di laut?

"Mana yang lain, kok cuma bertiga?!" tanya Rio mengusap-usap mereka.

"Emang mereka ada berapa?" tanyaku.

"Kadang bertujuh, kadang berdelapan."

*

Aku membantu pekerjaan mereka dengan menyapu bagian dalam rumah. Cintya sempat mencegahku saat membuatkanku kopi, "Jangan Mas, biar nanti aku yang sapu! Ntar Mas Rian capek!"

"Aku sudah biasa menyapu di rumah!"

"Tapi rumah ini luas lho!" kopi telah selesai ia seduh dan disajikannya di meja, "Nih, Mas Rian minum kopi aja. Kubuatkan juga pisang goreng! Sarapan sebentar lagi siap!"

Astaga, mereka benar-benar jauh lebih mandiri dariku.

"Kalian siap-siap saja sekolah!" jawabku, "Biar kuurus rumah!"

"Mas Rian ini ngomong apa?!" balas Cintya meledek, "Mas kan pelindung kami! Jadi harus dilayani!"

Rio melanjutkan tugasnya memberi pakan ayam dan kucing. Cintya memasak. Dan aku bersikeras menyapu serta membersihkan perabotan. Capek! Rumahku di kota tak sebesar ini!

"Dibilang juga apa!" kembali ledek Cintya saat sarapan, "Capek, kan? Biar kami yang urus rumah! Mas santai-santai aja!"

"Ah, enggak capek kok!" jawabku mengelak.

Mereka sudah mandi dan menyantap sarapan dengan lahap. Kemudian bersiap ke sekolah.

"Mas antar kalian ke sekolah!" kataku menawarkan diri.

"Nggak usah Mas, kami naik sepeda!" jawab Cintya mengeluarkan sepedanya, "Lagian Mas Rian kan belum mandi!"

Rio juga mengeluarkan sepedanya dengan penuh semangat. Mirip sepertiku dulu. (Entah kini semangatku ke mana?! Hari-hariku rasanya suram.)

"Mas tolong jaga rumah aja, ya!" seru Cintya siap mengayuh sepedanya. Dengan seragam SMP-nya, ia begitu cantik. "Nggak usah capek-capek kerja!"

"Iya," sahut Rio, "Jangan sampai rumahnya hilang ya, Mas! Haha!"

Candaan yang mengena. Rumah ini memang terancam hilang beserta tanah dan kenangannya.

Mereka berdua pun segera berangkat. Kupandangi mereka menyusuri jalan kampung yang telah sepi. Banyak rumah yang sudah dibongkar. Bahan-bahan yang masih bisa dimanfaatkan mereka ambil untuk dijual atau dipergunakan untuk membangun rumah yang baru. Hanya beberapa rumah saja yang masih tersisa berdiri.

Sebagian pohon-pohon malah sudah ditebangi. Dijual kayunya. Yah, desa ini memang akan diratakan dengan tanah.

****