webnovel

Kambing Hitam

'Sudah, Tama Sabar, enggak boleh bicara begitu." tuturku meneguhkan hatinya.

'Dari mana ibu-ibu tahu kalau Ayah saya meninggal?" tanyaku sopan, meskipun hati ini rasanya panas.

'Dari berita Mas, katanya Mas Manto ditemukan di jurang kemaren. Langsung saja kita menuju alamatnya disini. Dan kami baru tahu bahwa Mas Manto tinggal disini."

"Jadi ibu-ibu datang kesini hanya untuk takziah 'kan?"

"Bukan Mas."

"Lantas?"

"Kalau saya ingin menagih hutang. Ayahmu itu mempunyai hutang sebesar seratus juta ke saya. Sebentar." Wanita itu mengeluarkan sesuatu dari dalam Tasnya," Ini surat hutang piutangnya."

Aku meraih surat itu dan kubaca lamat-lamat. Ternyata benar disitu tertera identitas Ayah sebagai penerima Hutang. Ibu yang semula tidak mengabaikan mereka, membulatkan mata. Begitupun Tama yang tampak Geregetan.

"Saya juga, Pak Manto juga membawa kabur sertifikat tanah saya." Imbuh istri siri Ayah yang kedua. Sementara istri siri yang ketiga hanya meratapi nasibnya yang mengandung tanpa sosok seorang Ayah.

"Karena Mas Manto sudah meninggal, kami meminta kamu sebagai ahli warisnya untuk mengembalikan semua yang menjadi hak kami, Kami memang sudah dibohongi soal statusnya, tapi kita tidak mau sampai di bohongi dengan hal-hal menyangkut dengan uang, kami beri jangka waktu satu minggu, kalau kamu tidak bisa melunasi hutang Ayamu, terpaksa kami perkaran ini ke pengadilan." Tegas wanita yang paling Tua itu.

"Kami permisi dulu." Mereka pun berlalu meninggalkan pemakaman . Tak lupa mengandeng istri siri yang ketiga yang tampak berat untuk meninggalkan tempat itu.

"Sialan" rutuk Tama tidak karuan. Kakinya menendang patok kuburan, kesal. Baru kali ini aku melihat Tama semarah ini, "Udah meninggal, masih nyusahin saja."

"Tama! kamu enggak boleh begitu! Walau bagaimanapun juga, beliau tetap Ayah kita. Hormati dia."

"Tapi, darimana kita mendapatkan uang sebanyak itu Mas?"

Aku juga kebingungan, untuk apa Ayah berhutang uang sebanyak itu? Apa benar untuk usaha atau hal yang lain? Seandainya aku tidak kemalingan pada saat itu. Tentu, aku bisa melunasi hutangnya, dan tidak sepusing seperti sekarang ini.

Aku kembali ke rumah Pak Rangga. Rumah kosong itu di penuhi orang ada apa gerangan? Terdengar suara Retno yang meraung-raung menyebut nama suaminya yang hilang dari rumah itu. sementara orang- orang yang menjaganya semalam hanya terdiam. Mereka mengaku semalam seperti terhipnotis dan tertidur, sampai tidak menyadari kemana perginya Sholeh.

Aku terhenyak, cepat-cepat aku masuk ke dalam rumah Pak Rangga, alangkah terkejutnya aku , Sholeh sudah tidak ada di tempat tidur. Dengan gelisah aku mengitari segala tempat di rumah Pak Rangga, hasilnya nihil.

Kemudian aku merasakan sesuatu yang menggantung di leherku, kok kalung itu ada di leherku. Perasaan tadi. ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?

*

"Wuekkk... uhuk,,uhuk" muntahan darah kental keluar dari mulut Paranormal itu. Paranormal kesekian yang didatangkan untuk merebut sukma Soleh kembali. Tapi seperti yang sudah-sudah mereka tak mampu melawan lelembut yang membawa raga dan jiwa Soleh.

Semua orang disitu tercengang melihat kejadian itu, tidak berani mengeluarkan sepatah katapun. Mereka yang mengawal prosesi ritual itu dengan wajah yang tegang dan cemas. Keluarga Retno, keluarga Soleh, Pak Modin, beberapa warga, dan aku. Mereka mengizinkanku untuk mengawal ritual itu, tidak lain dan tidak bukan karena aku adalah teman karantina Soleh.

"Gimana Mbah, dimana suami saya sekarang?" tanya Retno dengan hati-hati setelah paranormal itu selesai melakukan ritual . Paranormal yang menggunakan pakaian serba hitam itu sudah sedari tadi duduk bersila diruang tamu, kurang lebih tiga jam. Sebelum ada suara dentuman yang sangat keras diatas rumah yang misterius, sampai akhirnya paranormal itu memutahkan darah.

Semua yang ada disitu penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi mereka takut untuk bertanya lebih jauh tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"Raga dan sukma Soleh sekarang dibawa ke kerajaan bangsa lelembut di gunung K. Sepertinya mahluk yang membawanya berwujud wewe gombel yang menghuni rumah ini. Sangat tidak mudah untuk bisa mengambilnya karena mereka iblis yang sangat kuat. Belum lagi jika berhadapan dengan penguasa gunung K beserta bala pasukannya" jelasnya setelah mengusap darah dengan sapu tangan. Mimik mukanya tampak keletihan .

"Apakah ada kemungkinan Soleh kembali Pak?" tanya Bapak Soleh, di sampingnya ada istrinya yang sedari tadi menangisi putranya yang hilang . Setelah mendapat kabar dari Soleh, keluarga Soleh yang berasal dari ponorogo datang kemari.

Paranormal itu mendenguskan nafas,"Maafkan saya Pak, saya tidak mampu jika harus berhadapan dengan mereka, Soleh sudah dijadikan tumbal, usianya tinggal menghitung hari saja ."

"Tumbal?" seru semua orang serempak sembari saling berpandangan.

"Siapa yang menumbalkan Soleh, Pak?" teriak Ibunya Soleh. Saumpama dua batu besar yang menghimpit tubuh, itulah yang dirasakan semua keluarga yang ada disitu. Ibunda Soleh histeris begitupun sang istri yang meratapi nasib malang yang menimpa salah satu anggota keluarganya itu.

"Menurut penerawangan saya, Salah satu diantara warga disini, tapi saya tidak tahu pasti." Jawabnya sembari mengelus janggut putihnya yang panjang.

"Pak Wiryo? 'kan dia yang memiliki rumah ini?" Seloroh salah satu warga.

"Hush, ngawur kamu, enggak mungkin Pak Wiryo yang melakukan itu, dia orang baik. Lagian dia itu tinggal di jayapura?"

"iya bener itu."

"Terus siapa yang melakukannya?"

Mereka terdiam, menyatukan pikiran dalam sebuah pertanyaan besar. Di desa itu, tidak ada yang dicurigai karena kebanyakan penduduk juga berprofesi sebagai petani. Ada satu dua orang yang memiliki rumah megah tapi mereka tinggal di tempat rantau. Dan pekerjaan mereka sangat jelas di tempat rantaunya.

Aku yang berada di antara kerumunan warga menerka-nerka siapa dalang dibalik ini semua. Jika Benar, Soleh yang di jadikan tumbal, sungguh sangat biadap sekali orang itu. Tapi, Kenapa harus Soleh? Apakah pelakunya sama dengan yang menumbalkan Pak Rangga?

"Rafa, Apakah benar penghuni rumah ini adalah... wewe gombel?" tanya Pak Modin tiba-tiba, tubuhnya gemetar saat menyebut nama lelembut itu. Semua mata sontak memandangiku.

"Benar Pak . Sosok itu selalu muncul dari kamar yang paling belakang, kamar yang menjadi tempat tidurku. Sering dia menerorku bahkan hampir saja merenggut nyawaku." Jelasku. Tampak mereka mendengarkanku dengan mata yang tidak berkedip.

"Dari awal saya sudah bilang kalau rumah ini angker. Tapi kalian memaksa untuk tetap tinggal disini. Dan sekarang lihat Soleh, dia yang menjadi korbannya." Imbuhku lagi membuat mereka terdiam, seakan pernyataanku tadi adalah skak mat karena mereka selalu meragukan kehadiran mahluk halus di rumah ini.

"Seharusnya kamu yang menjadi tumbal mereka, karena wetonmu adalah selasa kliwon, yang sesuai dengan keinginan mereka. Tapi kamu terlindungi oleh kalung itu, " Sahut Paranormal itu sembari melirikku tajam. Aku terhenyak, lalu aku mengeluarkan taklik kalung itu dari balik baju. Dia mengetahui secara detail tentang diriku. Wetonku memang selasa kliwon, tapi apa yang salah dengan weton itu? Kembali mereka menatapku dengan pandangan menyelidik.

"Itu 'kan kalung milik Soleh? kok bisa sama kamu? " tutur Bapaknya Soleh sembari menunjuk ke kalung yang bergelantung di leherku. Kemudian Bapaknya Soleh menuturkan jika kalung itu pemberian mendiang kakek buyutnya, orang pintar yang dianugrahi karomah dan kemampuan khusus, lalu menurunkan kemampuannya pada cucunya itu,"Kembalikan kalung itu." Aku pun melepaskan kalung itu dan menyerahkannya kepada Bapaknya Soleh.

"Rafa, tega-teganya kamu mengambil barang yang bukan milikmu!Lihat! gara-gara ulahmu kini Mas Soleh yang celaka. Dasar egois kamu!" sergah Retno sembari menunjuk-nunjuk wajahku.

Semua orang disitu menatapku geram. Lagi-lagi aku yang tersudut oleh sesuatu yang bukan menjadi kesalahanku. Kenapa paranormal itu tidak menjelaskan kejadian sebenarnya supaya mereka percaya? Dia hanya menjelaskan sepotong, menyudutkanku seolah menjadikanku kambing hitam karena kegagalannya.

"Bukan, bukan aku yang mengambil kalung itu, tapi Soleh yang meletakannya dileherku."

"Bohong! Penjelasanmu tidak masuk akal. Bagaimana bisa dia memberikan kalung itu begitu saja?"

"Oh, sekarang aku tahu kenapa Soleh bisa pingsan di tanggul, itu karena kamu merebut kalung itu dan memukulnya 'kan sehingga dia pingsan? Sehingga demit yang seharusnya mengambil nyawamu malah berbalik ke Soleh " seloroh salah satu warga. Entah pikiran ajaib darimana sehingga bisa mengaitkan peristiwa itu denganku.

Aku tidak berkutik, mau melakukan pembelaan juga percuma. Warga sudah terlanjur benci denganku, hanya karena aku sangat dekat dengan Pak Rangga, sehingga ada cela sedikit saya, mereka langsung menghakimiku.

Tiba-tiba, Sebuah mobil Fortuner berhenti tepat di depan rumah itu. Siapa yang malam-malam kesini? batinku. Terlihat dua orang berbadan atletis berpakaian layaknya bodyguard keluar dari mobil itu dan membuka pintu belakang mobil , Lalu, keluarlah seseorang dengan kharismanya yang menawan.

Pria itu berumur empat puluh tahunan, Seumuran Ayahku. tapi kalau dilihat dari wajahnya dia seperti pemuda seumuranku. Tidak ada kerut di wajahnya yang melukiskan umurnya itu. Awet muda sekali. Pesonanya pun menimbulkan rasa segan apabila didekatnya.

Pak Modin yang bergegas menghampirinya dan menyapanya , "Selamat malam Pak Wiryo."

Pak Modin menunduk dengan tangan tangan terlipat di depan. Biasanya setiap kali mau pulang dari Jayapura pasti menghubunginya dulu. Karena Pak modin lah orang yang didaulat untuk menjaga dan membersihkan rumah itu.

"Bagaimana kondisi rumah saya Pak " Pak Wiryo tidak menanggapi pertanyaan Pak Modin.

"Kondisinya baik sekali Pak, tapi maaf kalau kami menggunakan rumah bapak sebagai tempat karantina sementara."

"Tidak apa-apa. Minto sudah memberitahukan ke saya," sahutnya singkat."Tapi aku mendengar berita kalau Minto meninggal. makanya saya langsung pesan tiket pesawat untuk pulang." Sambungnya dengan nada bicara datar. Sorot matanya dingin dan menusuk membuat Pak Modin tidak berani menatapnya lama-lama.

Pak Wiryo dan mendiang Ayahku adalah kawan karib yang sangat dekat. Sayang, mereka harus terpisah oleh jarak karena mengejar karir masing-masing. Ayahku sebagai kontraktor, sementara Pak Wiryo, menurut penuturan warga desa adalah pengusaha restoran yang cukup berhasil di bumi cendrawasih itu, dan memiliki banyak cabang.

Ayahku terinspirasi untuk memiliki usaha sepertinya, sehingga Ayah sering menghubunginya untuk belajar bagaimana membuka usaha yang baik. Ayah juga sudah menyicil dengan membeli ruko dan menginginkanku untuk mengelola tempat usahanya itu. karena ayah tahu jika aku memiliki bakat dibidang kuliner dan latar belakang Managemen perhotelan. mengingat pekerjaanku di kapal pesiar juga di bagian dapur. Ayah sering memaksaku untuk resign demi menjalankan usaha. Tapi, jiwaku yang masih ingin melalang buana, menampik hal itu. sehingga sering terjadi percekcokan antara diriku dengan beliau. Keinginan orang tua yang belum kesampaian dan memaksa anak untuk mewujudkannya. Dan usaha restoran itu tidak pernah terwujud sampai beliau menghembuskan nafas terakhir. Terselip kesedihan acapkali mengenangnya.

Pak Wiryo melangkah menuju ke rumah. sementara Pak Modin berjalan mengiringinya, Agaknya dia segan karena rumah Wiryo digunakan untuk ritual tanpa izin Sang Pemilik.

"Pak Wiryo kok enggak ngasih tahu terlebih dahulu kalau mau pulang? Kan nanti saya bisa persiapkan rumah dan menjemput... "

Lelaki bertubuh tegap itu berhenti. Dia menoleh ke arah Pak modin dengan pandangan yang tidak mengenakan.

"Kamu tidak lihat, saya sudah di jemput oleh dua bodyguard. Mereka adalah suruhan rekan bisnisku, aku yang memintanya. jadi kamu tidak perlu repot-repot menyuruh orang untuk menjemput saya. Lagian Ini rumah saya, jadi terserah saya mau datang kapan saja, tugas kamu hanya menjaga kebersihan rumah saya dan sawah milik saya." Pak Modin menciut. Sebagai pemuka di desa yang disegani seluruh warga, tapi sepertinya sangat tunduk dengan Wiryo.

Bukan karena apa-apa, selain sukses menjadi pengusaha. Pak Wiryo hampir memiliki separuh dari luas wilayah persawahan di desa itu. Selama di kelola oleh mendinag Pak Rangga, sebagian besar warga mengais rezeki di sawah miliknya. Setelah meninggalnya Pak Rangga, Pak Wiryo mempercayakannya kepada Pak Modin yang menurutnya lebih amanah. Warga pun senang selama Pak Modin yang mengelolanya.

Keluarga Soleh yang semula duduk melingkar pun berdiri demi menyambut tamu agung itu.

"Ada apa ini? Kenapa ada dukun disini? Kenapa ramai-ramai ke sini?" tanyanya keheranan.

"Maaf Pak kami melakukan ritual untuk menarik sukma orang yang hilang, dia yang karantina disini bersama Rafa. beliau berkata jika yang membawanya adalah wewe gombel penghuni rumah ini.

"Oh jadi kalian menuduhku memelihara lelembut disini gitu! " tuturnya dingin, mengintimidasi.

"Bukan begitu Pak. Cuma...."

"Saya tidak habis fikir dengan kalian, Kalian yang meminta karantina di rumah saya. Sekarang kalian menuduh saya sembarangan. Dan satu lagi Hari gini masih percaya dengan begituan. Lagian, bisa saja anak itu lari dari rumah ini karena takut sendirian terus pergi ke suatu tempat." Imbuhnya dengan aksen bicara datar, namun terasa menusuk . semua warga disana menunduk seolah tunduk dengan wibawanya.

"Bubar Kalian."

Warga berangsur-angsur membubarkan diri dari tempat itu. Gila enggak ada yang berani menyanggah perkataannya, seolah setiap perkataannya terdapat hal magis yang menakutkan. Aura magis yang justru membuatku semakin membencinya.

Semua orang pun keluar dari rumahnya, aku berapa diurutan paling belakanng. Sepintas dia melihat kalung yang dibawa oleh bapaknya Soleh, dan beralih menatapku sinis. Sebuah misteri besar tersimpan di balik sorot matanya itu.