Tepat jam 9.30 pagi, Aleena sudah sampai di perusahaan Alva Properti. Masih ada waktu 30 menit lagi untuk tes wawancara. Sebelumnya Aleena memang sudah makan terlebih dahulu agar tidak lemas saat sesi wawancara. Ya, ini juga agar wawancara berjalan dengan lancar. Apalagi disaat Aleena mendengar ucapan Evano jika tes wawancara dilakukan oleh Aslan langsung.
Aleena menunggu di lobby yang sepertinya sudah disediakan oleh pihak perusahaan Alva Properti untuk para calon karyawan yang akan wawancara hari ini. Entah, berapa banyak kandidat yang terpilih. Yang pasti, Aleena mulai merasakan deg degan yang sangat luar biasa.
'Padahal, saya tidak ingin masuk ke dalam perusahaan ini, harusnya dengan menjawab asal-asalan sudah cukup membuat saya tidak diterima disini. Tapi, entah kenapa rasa deg degan ini sangat terasa,' batin Aleena yang tidak tenang sedari tadi.
"Apa masih lama?" tanya Aleena yang berbicara seorang diri.
Aleena melihat ke kiri dan ke kanan, melihat beberapa orang yang berseragam sama dengannya. Aleena langsung berdiri dan menuju ke salah satu satpam yang kemungkinan tengah berjaga.
"Saya mau ke toilet, toiletnya dimana?" tanya Aleena.
"Oh, disana, Nona," ucap satpam tersebut sambil menunjuk ke arah toilet yang berada di ujung sana.
"Baiklah, terima kasih," jawab Aleena sambil memberikan senyuman kepada satpam tersebut.
Aleena langsung berjalan menuju ke arah toilet yang dimaksud oleh satpam tadi. Dengan segera masuk ke dalam toilet. Disaat Aleena masuk ke dalam toilet untuk membuang air kecil, Aleena mendengar jika ada yang masuk. Perbincangan dua orang wanita itu pun berhasil terdengar oleh Aleena yang masih berada di dalam.
"Kau sudah siap?" tanya salah satu wanita.
"Siap atau tidak, pasti harus siap."
"Kau benar. Kita harus siap menghadapi Tuan Aslan untuk mewawancarai kita, Tapi, untuk menjadi sekretaris kantor tidaklah mudah, banyak sekali hal yang harus dipersiapkan. Terutama kepintaran dan kecantikan. Coba kau pikir, mana ada sekretaris kantor yang jelek dan tidak pintar."
"Kau benar, kecantikan dan kepintaran adalah 2 hal yang mungkin saja menjadi poin utama dalam penilaian."
"Iya, tapi sepertinya kau akan menjadi orang yang terpilih. Kau lulusan dari kampus ternama dan lagipula kau cantik. Saya yakin kamu bisa mengalahkan saingan yang lain. Dan yang paling utama adalah disaat menjawab pertanyaan wawancara, kau bisa menghadapinya dengan tenang dan rileks."
"Baiklah, saya akan mencoba tenang agar saat wawancara bisa menjawab semua pertanyaan Tuan Aslan dengan baik."
"Ya, semangat."
Kedua wanita yang asyik berbincang kini beranjak meninggalkan toilet setelah mencuci tangannya di wastafel. Aleena yang sedari tadi mengumpat di balik toilet kecil, kini perlahan keluar dan menuju wastafel, tempat kedua wanita tadi berdiri.
Aleena terdiam, menatap dirinya dari pantulan cermin yang ada dihadapannya. Helaan nafas kini tercipta, seolah Aleena tengah mengontrol pikirannya dengan baik. Ya, ada sedikit ketidakpercayaan diri yang tercipta dari ucapan yang Aleena dengar beberapa menit yang lalu. Kecantikan dan kepintaran adalah poin utama yang akan dinilai saat ini.
Sedangkan Aleena? Tidak memiliki semuanya. Mungkin untuk kategori kecantikan, masih bisa diandalkan. Lalu untuk kepintaran, bagaimana?
Lagi, Aleena menghela nafasnya perlahan seolah merenungi modal nekat yang dia miliki ini. Ya, kadang modal nekatnya ini kadang membuat Aleena menjadi tidak tahu malu sama sekali.
"Aleena, kau sudah berjuang sampai sini, kenapa mendadak insecure? Kamu punya kelebihan yang orang lain mungkin saja tidak bisa melihatnya. So, jangan terlalu merendahkan diri sendiri. Setiap orang punya kelebihan masing-masing, kan?" ujar Aleena yang memuji dirinya sendiri.
Aleena langsung tersenyum seolah menggambarkan jika dirinya baik-baik saja dengan rasa insecure yang masih menggerogoti dirinya.
"Tidak Aleena. Kau adalah jagoan. Jika memang ini yang terbaik, Allah akan mempermudahkan semuanya. Kau tidak boleh insecure dengan orang lain. Banyak sekali kelebihanmu, ya, kamu banyak kelebihan yang tidak bisa dilihat oleh orang lain," ucap Aleena lagi.
Aleena menghela nafasnya perlahan. Lalu kembali tersenyum manis dan ikhlas agar dirinya terlihat biasa saja tanpa ada rasa beban. Kini, ia berjalan keluar dari toilet dan kembali menunggu di lobby tempat semua calon karyawan menunggu. Semua berpakaian rapi, duduk dengan sangat tegap. Ya, semuanya wanita. Sudah bisa dipastikan jika yang ada disini adalah orang-orang yang mengambil posisi yang sama dengan posisi yang Aleena pilih. Mungkin.
'Tenang, Aleena. Jangan tunjukkan kegugupan. Lawanmu pasti bahagia jika melihat kamu gugup seperti ini,' batin Aleena lagi.
Beberapa nama kini sudah dipanggil oleh salah satu karyawan Alva Properti yang sedang mengurus penerimaan calon karyawan. Aleena menatap beberapa orang yang pergi meninggalkan ruang lobby dengan diantar oleh perempuan yang memanggil nama-nama calon karyawan. Dari cara berjalan, Aleena sudah bisa menebak jika orang saingannya adalah orang berkelas. Tidak seperti dirinya.
Nama yang dipanggil kini seolah lenyap di gedung Alva Properti. Ya, mereka tidak terlihat keluar dari kantor Alva. Entah mereka keluar lewat pintu yang berbeda, atau bagaimana. Yang jelas, Aleena sudah mulai gemetaran dengan semuanya.
Dari kejauhan, seorang perempuan kini mendekati Aleena dan beberapa calon karyawan yang lainnya. Aleena tidak melihatnya. Dia hanya asyik termenung dengan sendiri.
"Aleena Maiserin Diratama." Kini giliran nama Aleena yang di panggil. Aleena yang tengah merenung seketika terdasar saat namanya dipanggil begitu saja.
Semua orang yang tengah duduk di kursi, seketika menoleh ke arah Aleena yang berdiri saat namanya dipanggil. Tatapan sinis seolah musuh, kini mereka tujukan kepada Aleena. Namun, tidak sedikitpun Aleena membalas tatapan sinis itu. Aleena justri tersenyum ramah seolah sedang menyapa mereka dalam diam.
"Dia Aleena? Tampangnya tidak menyakinkan sebagai perempuan berkelas dan memiliki kepintaran," bisik salah satu perempuan diantara beberapa perempuan yang tengah menatap Aleena dengan sinis.
"Ya. Lebih tepatnya seperti anak kampungan yang tidak pantas berada disini. Ya kan?" jawab perempuan yang menjadi lawan bicaranya.
"Kau benar."
"Hei, kalian yang sopan. Jangan merendahkan orang lain seperti itu," ucap seorang perempuan yang lain lagi.
Aleena menghela nafasnya perlahan seolah mengontrol emosinya dengan baik. Ucapan itu memang sangat kecil, namun Aleena bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Ia mencoba tidak memperdulikan ucapan untuk menjatuhkan mentalnya. Sedikit saja Aleena emosi, mungkin bisa langsung di black list oleh Alva Properti. Tuan Evano pasti akan marah jika mengetahui Aleena melakukan kesalahan.
'Tenang, tersenyum, dan berperilaku seolah kau berkelas!' batin Aleena untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Anda Aleena?" tanya perempuan yang memanggil nama Aleena.
"Ya. Saya. Apa ini giliran saya?" tanya Aleena.
"Baiklah, anda selanjutnya. Mari saya antar ke ruangan Tuan Aslan," ujar perempuan itu dengan ramah.