Orang bilang, hidup itu seperti kopi kadang manis kadang pahit.
Aku bilang, hidup itu seperti gula. Saking manisnya, jadi pahit!—𝕸𝖎𝖑𝖔
----------------------------🌹---------------------------
"Eh, bentar. Meja 03 salah pesanan ini, harusnya Latte art gambar muka yang ini."
Inggrid menyodorkan kembali gelas kopi yang baru saja aku letakkan di atas meja bar. Menunjuk pada sebuah foto yang aku rasa tidak kulihat sedari tadi, entah sejak kapan foto pria dengan rambut cepak itu berada disana?
Ugh, kepalaku mulai pusing karena pesanan yang membludak. Ditambah Inggrid yang mulai ngedumel sedari tadi karena pesanan yang kubuat salah.
"Yah, kamu gak bilang sih!" Kutatap Inggrid sedikit kesal, gadis itu malah nyengir tanpa dosa.
Sumpah, Inggrid yang lupa memberitahukan itu padaku. Aku pikir pesanan meja 03 hanyalah Latte art biasa, jadinya aku buatlah tangkai bunga. Aku mengalihkan pandangan pada kertas-kertas nota yang menggantung pada tepian meja bar, oh pesanan yang menunggu setelah ini banyak sekali. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan mereka hanya untuk satu cangkir kopi yang salah?
"Gimana mau bilang, Ken. Kaffe lagi ramai begini, mana itu pengunjung cerewet lagi. Mbak-mbaknya judes." Inggrid dengan sengaja memelankan suaranya diakhir, bisa-bisa dia dimarahi bos kami karena membicarakan pengunjung Kaffe ini.
Aku menggelengkan kepala, geli sebenarnya melihat Inggrid yang kewalahan. Pengunjung Kaffe malam ini memang cukup ramai, terlebih salah satu dari teman kami tidak masuk hari ini. Jadinya, Inggrid yang harusnya memegangi bagian kasir ikut melayani pengunjung yang membludak. Imbasnya aku juga ikut merangkap, membuat kopi dan bertugas menggantikan posisi Inggrid.
Pekerjaan kami sebenarnya cukup menguras tenaga, kalau si bos tidak terlalu pelit untuk mengambil lebih banyak pekerja. Tentunya, kami tidak akan kewalahan hanya dengan 3 orang karyawan.
"Minta maaf aja deh, Nggrid. Bilang aja kita gak bisa buat yang modelan begini. Lagian, gimana juga buat ini muka di kopi." keluhku yang sebenarnya sudah lelah, faktanya aku bisa membuat wajah itu.
Tetapi, pesanan meja lain sudah menunggu apalagi beberapa pengunjung sepertinya mulai berniat untuk pergi membayar.
"Kalau kamu berani, kamu aja yang bilang sana. Dari tadi itu mbak-mbaknya pada komplen karena makanan kita lama dan gak sesuai, capek aku tahu gak?" Aku kembali menggelengkan kepala, mau tak mau aku keluar dari dalam bar sembari membawa segelas kopi Latte tadi.
Bergantian dengan Inggrid yang kini masuk, menggantikan posisiku sebentar saat aku berjalan menghampiri meja 03.
Memang benar kata Inggrid, meja 03 itu diisi oleh para perempuan yang sepertinya memang cerewet. Terdengar suara mereka yang sedang bergosip dan tertawa, empat orang perempuan dan dua laki-laki. Terlalu ramai, sebenarnya aku malu untuk melakukan hal seperti ini. Sialan, Inggrid!
"Maaf mbak, Mas. Hot Latte—nya." ucapku dengan ramah, hendak meletakkan cangkir kopi itu diatas meja berharap mereka tidak menyadari.
Namun, sialnya salah satu dari mereka justru membuka suara.
"Loh, 'kan tadi pesanannya gak seperti ini?" Suara perempuan dari arah kiriku terdengar kesal, membuatku menelan ludah lantas dengan cepat menoleh ke arahnya.
Aku terdiam sejenak menatap matanya yang tajam tengah memandangiku, sial.
"Maaf mbak, kebetulan untuk art yang seperti itu kami tidak bisa membuatnya." kataku berdalih, perempuan itu cantik.
Kulitnya putih bersih dengan rambut yang Ia gelung ke atas. Hanya memakai setelan kaos tipis tanpa lengan berbalutkan cardigan berwarna peach—perempuan itu mendengus, menatapku semakin tajam.
"Gimana sih? Harusnya kalian gak menawarkan kami servis seperti itu jika baristanya aja gak bisa buat sesuai pesanan pengunjung. Saya gak mau tahu, saya mau Latte ini diganti dengan yang baru, harus sesuai dengan permintaan saya!" bentaknya, sedikit membuatku menciut.
Wajahnya saja yang cantik, sifatnya duh menyeramkan sekali. Sifat keras kepala pengunjung yang seperti ini jujur aku sangat tidak menyukainya.
Terlalu banyak maunya...
"Tapi—"
"Saya kenal bos kamu, siapa baristanya?" tanyanya dengan sombong, salah satu teman lelakinya menghentikan perempuan itu untuk berdiri dari kursi. Lelaki itu tersenyum kepadaku, sementara aku hanya bisa diam sembari menelan ludah.
Tamatlah riwayatku, jika dia mengenal si pemilik Kaffe. Aku tidak ingin dipecat tentu saja.
"Udah, gak apa-apa April. Ini masih bisa diminum kok." ucap Lelaki itu, mungkin tahu bahwa perempuan di sebelahnya memang cerewet.
Aku cukup terkejut, tidak menyadari keadaan sekitar dengan cepat. Wajah yang harusnya aku gambar diatas busa-busa kopi itu adalah wajah lelaki yang menenangkan perempuan ini.
Ah~kenapa teman lelakinya justru lebih pengertian?
"Tapi, kamu ulang tahun hari ini dan aku maunya ada wajah kamu disana!"
Menggelikan saat mendengar perempuan itu berbicara dengan manja, rasanya baru saja aku mendengar dia berteriak. Hampir mengancamku, tetapi dengan mudahnya dia melunak hanya karena usapan tangan dari lelaki di sebelahnya itu.
Oh, apa mungkin lelaki itu pacarnya?
"Maafkan saya, saya akan memperbaikinya." kataku, menyelesaikan masalah diantara kami sebelum pengunjung cerewet ini kembali menyalak. Berniat mengambil cangkir kopi itu di atas meja namun, belum sempat aku mengangkatnya. Perempuan tadi kembali bersuara...
"Udah biarin aja disana, lihat aja aku bakal komplen karena barista Kaffe ini kerjanya gak becus!"
Hancur sudah harapanku, gajian tinggal beberapa hari lagi. Ucapkan selamat tinggal untuk sepatu baru yang ingin kubeli.
Aku merutuk lantas berlalu membawa nampan, sialan dia baru kali ini aku mendapati pengunjung yang luar biasa menyebalkan, perempuan itu menatapku sinis dan aku hampir ingin membalas tatapan sinisnya jika aku bisa.
"Jadi gimana?" Inggrid menyerobot masuk ke dalam kawasan bar, aku meliriknya malas.
"Nyebelin itu cewek, pengen gue kasih kopi sianida rasanya. Cerewet banget ya ampun, kopi doang padahal." sungutku, kudengar Inggrid tertawa membuatku semakin jengkel saat aku melirik nota pesanan yang berbaris rapi di meja bar.
"Gak lucu, bajing."
"Kan aku uda bilang, itu pengunjung cerewetnya minta ampun. Yaudah sih, buat lagi sesuai pesanan dia. Kayaknya, dia kenal sama si bos." Inggrid berbisik,
Ya, aku tahu. Dari cara perempuan itu berbicara saja tadi sepertinya dia memang mengenal bos kami, tapi tidak seharusnya dia berkata seperti itukan? maksudnya, aku sudah meminta maaf dan aku tidak setuju dengan cara perempuan itu menyalahkan pekerjaanku. Aku tahu aku salah, hanya karena tidak membuat minuman sesuai pesanan—hanya saja, hey!
Bukankah menggelikan memberi kado pada seorang lelaki disaat hari ulang tahunnya dengan cara seperti itu? apalagi ketika dia berbicara dengan tingkah manja yang luar biasa, eugh!
Menggelikan, sunggguh!
"Masa bodoh ya, aku buatin yang baru kamu yang anter. Kalo emang dia mau ngadu sama si bos, yaudah." jawabku, lantas kembali berkutat pada mesin kopi.
REMEMBER