ππ΄πΌπ΄πΌπ±π΄πβ
π±πππππππ πππππππ πππππππ’π πππππ ππππ’π πππππππ ππππππ πππππππ πππππππ, πππππππππ π’πππ ππππππππ πππππππππ ππππππ ππππππ π’πππ ππππππ ππππππ πππππππππππ πππππ ππππ’ππππππππβππ²π΅πΈ
---
"Malam kemarin, kupikir semuanya bakal baik-baik aja. Aku gak tahu ternyata Rico sama seperti mereka, fucek Boy!" Ica tidak berhenti mengoceh sedari tadi, gadis itu duduk membelakangiku dan aku tahu wajahnya pasti sekarang sudah tertekuk masam.
Aku hanya akan mendengarkan. Sudah sangat hapal dengan kebiasaannya yang mendumel tidak jelas seperti sekarang.
Terkadang aku heran, Ica terlalu gampang memberikan banyak perhatian untuk para lelaki. Ketika dia merasa diabaikan, kembali aku akan mendengarkan segala keluh kesahnya seperti sekarangβduduk dengan secangkir kopi dan cemilan di dalam kamar kos kami.
Hari kosong yang harusnya tidak kugunakan untuk mendengarkan seseorang mengoceh tidak jelas, terlebih ah~ untuk apa Ica menceritakan itu kepadaku yang notabenenya tidak pernah berpacaran dan berhubungan dengan para lelaki.
"Kamu yang bodoh, kenapa masih diterusin sih? udah tahu dia tipe cowok yang suka tebar pesona sana-sini." kataku, kebiasaanku ketika mendengarkan curhatan orang lain.
Bukannya ikut bersedih atau kesal aku justru akan mengomentari kebodohannya.
Ica tahu laki-laki seperti mereka itu tidak ada yang benar tetapi masih saja, Ica yang bandel tidak akan pernah mau mendengarkan ocehanku. Seperti angin lalu, setiap komentarku pasti akan dibalas.
"Ya kapan lagi, Ken. Gak punya cowok itu gak enak tahu. Emangnya kamu, betah banget nge-jomlo!" sinisnya, aku melotot tidak terima.
Kadang perkataan Ica itu ada benarnya, tapi kadang menyakiti hati juga.
"Punya cowok kalo modelannya begitu ya sama aja, mending jomlo daripada ngeladenin cowok yang gak jelas dan suka main-main." Aku yakin,Β wajah Ica sudah pasti kesal saat ini.
Posisi dia sedang membelakangiku, duduk di depan meja rias. Jelas sedang merias diri, baru saja dia bercerita tentang dirinya yang kesal dan patah hati karena satu cowok yang kami bahas tadi. Sekarang si Ica sudah dapat kenalan baru, katanya cowok itu mau mengajaknya pergi malam ini. Luar biasa bukan?
Ah, aku sudah tahu. Terlalu basi untuk mendengarkan ocehannya karena sebentar lagi Ica pasti akan menceritakan teman-teman kencan lainnya setelah sekian banyak dia mengeluh tentang sifat-sifat cowok yang tidak sesuai dengan apa yang dia mau.
"Yang ini beda, anak pejabat katanya."
Ica dengan segala sifat materialistisnya mulai berbicara, tentang si anak pejabat, tentang si anak pengusaha dan terakhir satu cowok yang ternyata hanya anak orang biasa namun memiliki gaya seperti anak orang kaya. Well, yang satu itu memang keterlaluan. Aku masih ingat bagaimana uang Ica yang dikuras habis-habisan untuk si cowok itu.
Aku hanya tertawa, sembari makan keripik kentang tak lupa menyeruput kopi decaff-ku yang rasanya nikmat sekali.
Kebiasaan cewek jaman sekarang, mencari pacar sesuai jabatan orang tua dan harta kekayaan. Aku tidak mengerti, tetapi banyak teman-temanku yang memiliki pemikiran seperti itu. Hal yang paling lumrah sih, cewek mana yang mau hidup miskin. Gunanya cari pacar 'kan supaya hidup menjadi lebih baik. Alasan mereka begitu, kebanyakan.
Tetapi, aku pengecualian.
"Bagus deh, seenggaknya ada yang nanggung itu kosmetik-kosmetik mahal yang kamu pake setiap hari. Terus mereka bisa nemenin kamu makan setiap hari." ejekku, Ica hanya memberikan cengiran kecil.
Dia tidak marah jika aku mengejeknya seperti itu, toh! nyatanya memang begitu adanya.
Ica bukan anak orang miskin, juga bukan cewek yang kerjanya hanya mengharapkan bantuan dari pacar. Ica sudah bekerja, di salah satu bank ternama di kota besar ini. Ica itu cantik, seperti namanya Elisa Pradhisti. Cewek kelahiran Bandung, campuran chinese yang umurnya baru genap 24 tahun bulan kemarin.
Satu bulan lebih muda dariku, sedangkan aku? namaku Niken Ramayani. Just call me Niken atau Ken. Cewek asal Kalimantan, campuran Chinese melayu yahβwajahku tidak terlalu buruk untuk dikatakan cantik. Tidak setuju? terserah kalian, aku tidak mengharapkan penolakan faktanya aku memang cantik walau terkesan ogah-ogahan.
Kami berkenalan dan menjadi teman karena berada di satu universitas, satu kampus dan satu jurusan yang sama. Manajemen bisnis, ah harusnya aku tidak memilih jurusan itu dulunya. Toh, aku tidak menjadi apapun yang sesuai dengan jurusanku.
Pekerjaanku?
Aku seorang Barista, keren bukan. Yah, rejekinya mentok disitu. Harus di syukuri, merangkap jadi photografer gadungan yang terkadang di sewa beberapa cabe-cabean. Tidak masalah, asalkan uang mereka banyak aku akan mengambil foto mereka hingga mereka puas.
Hidup di Ibukota itu sulit, cari uang buat makan itu perlu perjuangan. Menghargai apa yang kita dapatkan sekarang adalah salah satu cara untuk bersyukur, masih untung bisa makan. Masih untung ada kerja, benarkan?
Singkatnya, kami berdua memilih untuk tinggal bersama. Bukan tinggal bersama membentuk sebuah keluarga. Jangan terlalu berpikir yang macam-macam, aku dan Ica sudah seperti saudara. Aku tahu dengan jelas bagaimana kegilaannya termasuk Ica yang tahu bagaimana gilanya aku jika melihat perempuan cantik.
Yah, aku sedikit berbeda. Mengetahui bahwa orientasi seksualku ternyata tidak sama dengan perempuan kebanyakan, nyatanya tidak seburuk seperti apa yang orang lain bicarakan. Walau begitu aku tidak pernah pacaran, dekat mungkin iya. Tapi menjalin sebuah hubungan yang benar-benar didambakan para manusia aku belum pernah.
Bukan karena aku tidak mau, atau mungkin orientasi seksualku sudah masuk ke dalam tahap yang lebih parah. Aku susah menyukai seseorang dalam bentuk yang lebih intim dari sekadar berteman, baik pria atau wanita. Tapi, aku juga tidak memiliki kriteria khusus untuk mereka yang mau berkencan denganku, aku tidak lagi memandang fisik untuk itu. Aku mungkin bisa menyukai pria juga wanita dalam satu waktu.
Lebih kepada perasaan, bukan fisik wajah ataupun gender yang membedakan. Aku menunggu seseorang yang mampu membuatku jatuh cinta dengan mudah, tergila-gila dengan mudah, aku juga ingin merasakan patah hati sesekali. Lucu, aku memang menginginkan itu dimana banyak orang yang takut disakiti hanya karena sebuah perasaan.
Ya, singkatnya kalian bisa menyebutku Panseksual.
Ica tahu bagaimana aku, dia tahu bahwa aku berbeda. Waktu itu Ica sempat mengatakan sesuatu yang membuatku berhasil menyayangi temanku itu seperti saudara kandungku sendiri. Ica dengan dewasanya berbicara seperti ini.
"Aku gabisa ngelarang atau ngebenci kamu hanya karena kamu menyukai sesuatu yang gak aku sukai. Masing-masing manusia itu memiliki kesukaan mereka masing-masing dan bukan berarti saat aku tahu kamu menyukai sesuatu yang berbeda dari aku, aku harus jauhin kamu. Kamu terlalu baik buat dijauhin, Niken."
Ah, rasanya tidak sia-sia aku memiliki teman seperti Ica ini. Walaupun matre dan terkadang mengesalkan. Ica memiliki pemikiran yang luar biasa terbuka, terkadang dia selalu bertingkah alay. Namun, dibalik semua sifatnya yang menyebalkan itu Ica adalah orang pertama yang akan selalu mendukung pilihanku.
Teman sepanjang hidupku, Elisa Pradhisti.
Friend for lifeβPark Chaeyoung.