webnovel

Relung Renung

ahmadafandi · Fantasy
Not enough ratings
16 Chs

unrequited abhipraya

bagaimana kelanjutan bandmu ?" ibu yang sedang melukis tiba tiba melontarkan pertanyaan dari balik easel dan kanvasnya kepadaku yang sedang duduk di sofa dan membaca buku dengan headphone di telingaku.

"haa?" teriakku tak begitu mendengar pertanyaanya,

ibu memberikan kode gerakan padaku untuk melepas headphoneku, ku lepas sejenak headphoneku yang mendengarkan suara musik punk dengan volume yang sangat keras,

"bagaimana kelanjutan bandmu?" ulanginya

"oh, iya kita sedang istrhat bu, capek"

"bukannya itu hobimu?"

"iya sih, tapi melelahkan juga ternyata jadi musisi"

sore hari itu hujan baru saja reda, dengan aroma hujan yang tersisa begitu khas dirumahku yang terletak di dataran tinggi.

"lalu bagaimana hubunganmu dengan Intan?" ibu melontarkan pertanyaan yang membuatku langsung menutup buku yang sedang ku baca.

"ibu tahu tentang intan?" tanyaku bingung,

"ibu selalu baca suratmu yang kau letakkan di atas meja belajarmu dulu, tak pernah kau rapihkan" jawab ibu blak-blakan.

"aduh, iya bu cinta monyet" jawabku sambil menggaruk kepala karena malu.

"itu mengingatkanku dengan ayahmu dulu" lanjut ibu, sambil beranjak dari kursi melukisnya dan berpindah duduk disebelahku, aku hanya terdiam menunggu ia melanjutkan ceritanya

"kadang kita merasa keputusan yang kita ambil adalah keputusan yang paling benar, menjadikan semua yang menentang adalah musuh yang harus dikalahkan, nyatanya tidak" ibu menyandarkan kepalanya di bahuku lalu melanjutkan ceritanya.

~~~~~~

Januari 1992 ~

di sebuah pameran lukisan yang diadakan di salah satu galeri seni kota itu, terlihat sangat ramai dengan antusias yang tinggi dari orang orang yang datang untuk menikmati lukisan lukisan yang dipajang di tembok dan setiap sudut ruangan, wajar saja karena ini merupakan acara tahunan yang menampilkan karya karya terbaik seniman lukisan anak negeri dan sudah ditunggu tunggu oleh pecinta seni rupa maupun wisatawan yang datang.

dari satu ruangan pameran terlihat seorang pria berbadan tegap dengan rambut belah tengah yang sedang memandangi lukisan yang bertajuk "UNREQUITED ABHIPRAYA" dan berdiri di depan lukisan itu begitu lama, sepertinya dia sangat terkesima melihat lukisan yang menggambarkan seorang lelaki dengan mahkota daun di kepalanya dengan membawa setangkai bunga dan hendak memberikan bunga itu kepada seorang wanita dengan mahkota emas di kepalanya namun terlihat pria itu berada jauh di bawah singgasana wanita itu.

dari sudut lukisan itu tertulis nama "Tenri Viany" , nama itu terus terucap dari mulut laki laki itu lalu ia menghampiri seorang panitia pelaksana pameran lukisan itu.

"maaf sebelumnya, bolehkah sy bertemu dengan seniman lukis bernama "Tenri Viany" ? tanya pria itu dengan sopan

"maaf pak, untuk saat ini belum bisa, tapi jika bapak ingin menghadiri acara ramah tamah nanti jam lima sore bisa menulis nama di buku tamu di meja sebelah sana." jawab panitia itu sambil menunjuk meja dekat pintu keluar.

pria itu bergegas menuliskan namanya di buku tamu dan segera pulang, untuk menulis sepucuk surat dan berencana kembali lagi pukul lima sore.

pria itu datang kembali ke galeri seni pukul 16:30, ia datang dengan seikat bunga dan terdapat sepucuk surat juga disana. sengaja ia datang setengah jam sebelum acara ramah tamah dimulai agar dapat tempat duduk paling depan, dan bisa langsung melihat dari dekat seniman lukis yang sedari tadi membuatnya penasaran.

acara berlangsung begitu hangat, beberapa seniman terlihat memberikan penjelasan terhadap lukisannya. tiba giliran seorang seniman muda berbakat "Tenri Viany" menjelaskan sedikit tentang lukisannya sekaligus memberikan ucapan terima kasih kepada para wisatawan yang datang.

setelah usai acara tersebut pria itu langsung menghampiri Tenri memberikannya bunga dan surat serta menjabat tangan seniman lukis itu.

"Aryo Danadyaksa" laki laki itu menyebutkan namanya dengan penuh percaya diri.

"saya penggemar lukisan anda" sembari tersenyum melihat seniman lukis itu.

Tenri pun membalas senyuman pria itu, belum sempat Tenri mengucap terima kasih, pria itu sudah membalikan badannya untuk pergi meninggalkan ruangan itu. membuat Tenri sedikit penasaran dengan sosok lelaki berbadan tegap itu.

Halo Tenri Viany

aku adalah penggemar dari lukisanmu.

"dari mata turun ke hati" mungkin itu ungkapan yang cocok untuk perasaanku saat ini, ketika melihat lukisanmu "UNREQUITED ABHIPRAYA"

goresan goresan kuasmu yang sederhana ringkas namun tegas diatas kanvas mampu menyiratkan makna terdalam dari lukisan itu

ingin rasanya mengenalmu lebih jauh

jika kau tak keberatan ku tunggu balasan dari surat ini ke alamat dibalik kertas ini, kapanpun kau mau.

tertanda : Aryo Danadyaksa

~~~~~~~~

dua bulan setelah pameran seni lukis itu, aku yang akhirnya memutuskan membalas surat dari Aryo dan akhirnya kita rutin saling kirim mengirim surat, aryo yang tinggal di kota tetangga akan datang hari ini ingin berjumpa denganku, kedai kopi langgananku di simpang jalan menjadi tempat pertemuan kita nanti.

hari itu sedang dibasahi rintik hujan, aku yang berjalan menuju kedai kopi itu dengan membawa payung, sudah melihat Aryo duduk di dalam kedai kopi itu memakai kemeja dengan rambut belah tengahnya, terlihat sangat menarik dari luar sini, kuhampiri dia dan kita memesan minuman, sambil bercerita banyak hal, tentang aktifitasnya di kota sebelah sebagai seorang musisi dan aku dengan kesibukkan melukisku.

bercerita di tempat duduk samping jendela kaca dikala hujan seolah membawa suasana saat itu menjadi lebih intim. dari caranya berbicara terlihat sosok lelaki yang tegas, percaya diri dan penuh keyakinan. sayangnya dia harus kembali ke kotanya esok hari, dia tidak memberikanku apa apa namun ia berjanji akan datang lagi untuk menemuiku, dan kita sepakat untuk terus saling mengirimi surat.

sebulan berlalu, aku terus menanti kedatangan aryo sambil terus saling membalas surat. tak kusangka kita jadi sedekat ini, entah mengapa aku menaruh harap padanya, orang yang tiba tiba mucul di kehidupanku, setiap balasan suratnya selalu menenangkan hatiku. hingga aku menerima surat darinya yang mengatakan bahwa ia ingin melamarku.

bergetar hatiku membaca surat itu, tentunya itu kabar yang sangat membahagiakan, ada rasa haru sekaligus gugup. berita itu pun kuberitahukan kepada orang tua ku bahwa ada seorang lelaki dari kota tetangga ingin melamarku. Ayahku yang idealis nan perfectionist serta keluargaku yang menjunjung tinggi nilai adat dan kebudayaan akhirnya berembuk untuk mengambil keputusan.

seminggu kemudian, ayah mengatakan kepadaku soal hasil dari musyawarah keluarga bahwa memutuskan tidak menerima pinangan Aryo, karena latar belakang aryo yang kurang jelas, dan pekerjaannya yang hanya seorang musisi. keputusan itu membuatku sangat sedih bercampur kesal kepada keluargaku.

kukirimi Aryo pesan mengenai penolakan keluargaku terhadap niat baik Aryo, dan aku mengutarakan perasaanku saat itu, tentang keinginanku bersama aryo, dan rasa kecewa terhadap keputusan yang diambil oleh keluargaku, seminggu tak jua dapat balasan dari aryo, aku hampir putus asa.

sampai akhirnya,

teruntuk :

Tenri viany

mungkin ini surat terakhir dariku

agar ka tahu betapa besar harapku padamu

aku harap kau juga begitu

keputusan orang tuamu sangat membuatku hancur.

namun perasaanku padamu takkan bisa tehapus

jika kau memiliki rasa yang sama, ku tunggu kau

besok pukul dua siang, di stasiun kereta.

kita akan pergi dan tinggal di kotaku.

jika kau tidak berkenan, biarkan surat ini menjadi kenangan untukmu selamanya,

dan biarkan ku kubur harapku padamu.

tertanda : Aryo Danadyaksa

~~~~~~~

malam itu aku dirundung kebimbangan, harus memilih keluarga ataukah cinta sejatiku. sambil memikirkan kesempatan yang tak mungkin datang dua kali. lagipula aku sudah sangat yakin kepada Aryo, aku yakin dia bisa menjagaku dan akan bahagia hidup bersamanya. malam itu juga aku mengambil keputusan untuk mengemas barangku hendak ikut bersama Aryo, dan kutuliskan juga surat buat ayahku perihal keputusanku ini.

keesokan harinya, kutemui Aryo di stasiun kereta, dia sudah menungguku dengan memegang dua tiket di tangannya, kita pun pergi meninggalkan kotaku menuju kota tempat tinggalnya berharap bisa menemukan kebahagiaanku bersama laki laki ini.

"bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa aku akan datang ke stasiun dan ikut denganmu?" tanyaku sembari melihat pemandangan luar jendela kereta

"aku juga tak kahu jawabnnya, tapi yang aku tau keyakinan ini sama dengan keyakinanmu memutuskan untuk ikut denganku" jawabnya hampir tertidur

tatkala kereta melewati ladang sawah, melewati terowongan yang gelap, bahkan kabut, hingga pemandangan yang indah seolah memberi satu isyarat bahwa hidup memang harus terus melangkah maju meskipun harus melewati berbagai rintangan menuju satu tujuan hidup didepan sana,

segelap dan sepanjang apapun terowongan atau kabut itu pasti akan dilewati dan berlalu, kecuali kita memilih untuk berhenti.

~~~~~~

Januari 1993 ~

Aku dan Aryo yang sudah setahun tinggal dirumah megah milik orang tua Aryo yang sangat kaya raya, ayah Aryo seorang pemilik lahan kelapa sawit, sekaligus gudang pabrik pengolahan minyak, mempunyai ratusan karyawan dan pekerja, belum lagi sang Ibu yang punya salah satu restoran terbesar di kota itu.

pertengahan tahun, tiba tiba mendengar bahwa orang tua Aryo mengalami kebangkrutan, satu persatu aset terjual, begitu juga tabungan mereka habis berganti menjadi hutang.

beberapa bulan kemudian aku yang tengah hamil, tak sengaja mendengar perdebatan antara Aryo dan Ibunya bahwa mereka sebenarnya tidak menginginkan keberadaanku dirumah ini, karena mereka menganggap ternyata kehadiranku selalu membawa petaka bagi keluarga mereka. tentunya hal itu menjadi satu hantaman keras di hatiku dan selalu kupendam.

~~~~~

juni 1997

beberapa tahun berselang, aku yang hidup ditengah keluarga Aryo dengan perasaan kecewa yang selalu ku pendam, ditambah lagi mendengar kabar bahwa ayah dan ibu Aryo sedang menyiapkan

pernikahan Aryo dengan wanita pilihan keluarga mereka, seorang wanita bangsawan dan berasal dari keluarga yang berada, Aryo yang begitu patuh terhadap ayahnya hanya bisa mengikuti rencana keluarganya dan tak bisa berbuat apa apa. akhirnya kuputuskan untuk pergi dan membawa anakku yang saat itu masih berusia 4 tahun pergi dari keluarga itu meninggalkan kota dengan membawa kekecewaan dan kenangan pilu.

~~~~~~

Teruntuk :

Ayah

bukan ku tak mematuhimu atau tak menghormatimu sebagai orang tuaku

tapi kurasa keputusan yang ku pilih ini adalah yang terbaik

perasaanku yang begitu mendalam kepada lelaki yang kalian tolak niat baiknya

sungguh mengiris hatiku.

aku putuskan untuk pergi dengannya dan mencari kebahagiaanku sendiri

dan siap menerima konsekuensi apapun dari keputusanku ini.

aku harap Ayah juga Ibu bisa mengerti perasaanku.

anakmu : Tenri Viany