“Barang barunya udah dateng?”
“Udah, Mbak. Tapi kita cuma dapet lima pieces.”
“Nggak apa-apa, udah bagus untuk Asia Tenggara yang memang nggak dikasih stok banyak.” Aileen tampak berpikir sejenak sambil menarik napas dalam-dalam. “Siapin satu buat saya.”
Manager operasional toko tas milik Aileen langsung mendongak dan menatap atasannya dengan tidak percaya. Sebenarnya ia sudah cukup bingung dengan kedatangan Aileen siang itu yang tiba-tiba ke toko, karena bukan jadwalnya Aileen untuk melakukan monitoring dan evaluasi. Sekarang, ia lebih bingung lagi karena Aileen meminta tas branded limited edition yang baru masuk ke toko. Bukan berarti Aileen tidak mengenakan tas branded, tapi sepanjang yang ia tahu, atasannya itu tidak selalu mengincar limited edition seperti wanita berduit pada umumnya, meskipun Aileen punya akses untuk mendapatkannya.
“Satu lagi, yang koleksi klasik, warna maroon. Siapin juga buat saya.”
“Tumben Mbak Aileen langsung ambil dua tas buat koleksi.”
“Bukan buat saya.”
“Buat Bu Rhea sama Mbak Yara ya?” tebak Lisna. Untuk siapa lagi kan kalau Aileen meminta dua tas sekaligus.
“Bukan. Siapin aja.” Aileen memejamkan mata sesaat, berapa ratus juta harus ia gelontorkan untuk persiapan bertemu keluarga Gama, terutama untuk bertemu Beta—kakak kedua Gama—yang ia sudah tidak ingat bagaimana rupanya?
“Ok, Mbak. Mau langsung dibawa?”
“Iya. Saya langsung balik ke kantor abis ini.”
Aileen keluar dari toko tasnya dengan menenteng dua paper bag berisi tas branded yang akan ia berikan untuk ibu dan kakak Gama.
Tujuan Aileen selanjutnya adalah kantor mamanya yang juga merupakan pusat dari coffee shop bernama Amigos dengan puluhan cabang di Jakarta. Tadi pagi ia sudah mengorek informasi dari Gama. Ayah Gama adalah penggemar kopi kelas berat. Jadi Aileen akan berkonsultasi dengan mamanya dan quality controller di sana demi membawakan buah tangan untuk ayah Gama.
‘Pas dulu niat serius sama Bara, mana pernah serepot ini. Dikenalin ke keluarganya juga nggak,’ gumam Aileen sembari melajukan mobilnya.
Mamanya tengah mengobrol dengan seorang laki-laki saat Aileen tiba di sana. Aileen kenal lelaki itu, Fathur—orang kepercayaan mamanya. Seseorang yang memang tertarik untuk menjadi barista hingga mengikuti berbagai macam pelatihan dan memiliki sertifikat barista profesional. Laki-laki itulah yang menjadi quality controller di bisnis coffee shop mamanya.
“Ma, udah makan siang?”
“Udah. Kamu udah?”
“Udah tadi, sebelum ke toko.” Aileen lalu beralih kepada Fathur. “Hai, Thur. Ini … kamu nggak dipanggil ke sini sama Mama karena keperluanku kan?”
“Nggak kok, emang lagi ada yang diomongin juga.” Fathur tidak melewatkan waktu untuk menatap Aileen dengan kekaguman yang sama, sejak dulu hingga sekarang.
“Ooooh. Tapi Mama udah bilang keperluanku?”
“Itu, udah disiapin sama Fathur.” Rhea menunjuk tote bag di atas meja kerjanya.
Aileen mengecek isi dari tote bag di atas meja. “Ini apa aja? Senggaknya aku tau kalo ditanya.”
“Biji kopi Jamaican blue mountain sama biji kopi dari Flores. Cold brew-nya lagi dibikin, nggak bisa cepet. Kamu tau kan bikin cold brew setetes demi setetes. Nanti sore aku kirim ke kantormu atau ke rumah,” jawab Fathur yang tiba-tiba berdiri di samping Aileen.
“Thanks banget ya, Thur. Kalo gitu yang ini aku bawa dulu. Aku mesti balik ke kantor.”
“Ada meeting?” tanya mamanya.
Aileen menggeleng. “Tapi ada beberapa perjanjian yang mesti aku review. Balik dulu ya, Ma.” Aileen memeluk dan mencium pipi mamanya, lalu tersenyum pada Fathur. Ia memang hampir selalu menghindar dari Fathur di setiap kesempatan. Mengetahui bahwa seseorang menyukainya sementara ia tidak bisa membalas, membuat Aileen lebih memilih menghindar.
Andai kata Fathur yang menawarinya menikah, Aileen pasti tidak akan pikir panjang. Ia tahu sebaik apa sosok Fathur … dibanding Gama. Aileen menggelengkan kepala, mencoba menepis pikirannya yang macam-macam. “Ya cuma orang gila kayak Gama yang nawarin pernikahan kayak nawarin gorengan. Fathur nggak bakal begitu.”
***
“Kak Aileen itu belakangan ini banyak denger lagu dangdut apa gimana sih, Kak?” Yara sedang duduk dengan Ervin di depan televisi sambil menggunjingkan kisah asmara kakak mereka.
“Apaan?” Ervin mengernyit bingung dengan pertanyaan Yara.
“Itu loh, Kak. Yang pacarku lima langkah itu—” Yara membungkam mulutnya saat merasakan pukulan di lengannya.
“Jalan ke gerbang depan juga lebih dari lima langkah ya! Sampe ngos-ngosan malah!” seru Aileen kesal.
Kedua adiknya tergelak melihat si sulung yang bersungut kesal.
“Kok bisa sih, Kak? Aku nggak pernah ngelihat Gama ngapelin Kakak tuh, di rumah nggak, di kantor nggak, jadi di mana kencannya?” Ervin punya kisah asmara yang mungkin menyamai rekor papa mereka dan ia masih agak tidak percaya kalau kakaknya memiliki hubungan dengan tetangga mereka sendiri.
“Mau tau aja!” Aileen masih sengit membalas adiknya.
“Eh nanti berarti Kak Aileen nggak cuma dateng ke acara perusahaan aja. Bisa dateng ke premiere movie, ke gala dinner sama artis-artis dong. Waaah!” Yara ikut meledek kakaknya.
“Mau ikut ntar kalo ada acara begitu? Tugasmu gampang kok, Dek. Jadi asisten Kakak, benerin make up, bawain dompet, mau?” Aileen memilih turun dari lantai dua dan menemui mamanya daripada menanggapi adik-adiknya yang kini masih terbahak sambil menggodanya.
“Maaa. Mana yang mau aku bawa?” tanya Aileen kepada mamanya yang membantu menyiapkan buah tangan.
“Makanan udah dibawa Bibi tadi, kamu bawa yang dari kamu aja, nggak berat kan?”
“Ooh, ok. Kalo cuma yang itu nggak berat kok. Aku berangkat dulu ya, Ma.” Aileen melirik papanya yang hanya menatap seperti enggan untuk melepaskan. “Pa, aku jalan dulu ya,” pamit Aileen yang secara harfiah memang akan jalan kaki.
“Hm. Teriak atau pulang aja kalo kamu nggak betah atau ditolak mereka.”
Aileen terkekeh geli. “Siap, Bos. Nanti langsung panggil security depan kalo perlu, biar diadu sama security-nya Gama.”
“Ini, Gama nggak jemput kamu atau gimana? Jangan mentang-mentang sebelah rumah terus—” Ucapan Naren terhenti karena sosok laki-laki yang baru disebutnya tiba-tiba saja muncul di ambang pintu ruang makan.
“Malem, Om, Tante. Izin ajak Aileen makan malam di rumah ya, mumpung semua pada ngumpul.” Gama memposisikan diri di samping Aileen dan mengusap punggung Aileen pelan.
“Bilang kalau keluargamu nggak suka sama anak Om. Om bisa cariin jodoh yang lain buat Aileen.” Naren berkata sinis sambil mulai menyuap makanannya.
“Mana ada orang yang nggak suka sama Aileen, Om.”
“Berangkat dulu ya, Pa, Ma.”
Aileen dan Gama beranjak dari ruangan itu setelah mendapatkan anggukan dari kedua orang tua Aileen.
“Harusnya nggak usah repot-repot, Leen,” ucap Gama setelah mengambil alih barang bawaan Aileen. Ia tahu isi tote bag yang dijinjingnya berharga fantastis untuk sekadar dibawa menemui keluarga pasangan.
“Nggak repot. Aku punya toko tas.” Bukan bermaksud sombong, tapi itu kenyataannya. “Itu limited edition, kalo sampe kakakmu nggak suka …, wah aku nggak tau mesti ngasih apa lagi.”
“Tapi kan nggak masalah Kak Beta nggak suka sama kamu. Yang penting Ibu, dan Ibu suka sama kamu.”
“Aku nggak mau ya ke depannya ada masalah sama ipar. Males banget. Senggaknya, kalau dia nggak suka aku, minimal dia nggak ikut campur urusan kita.”
“Hmm. Setuju.”
“Tapi dari awal kenapa kamu kayaknya khawatir banget kalo Kak Beta nggak bakal suka sama aku sih?”
“Ehem!” Gama berusaha membersihkan tenggorokannya.
Dan tentu saja Aileen menyadari tingkah Gama yang mendadak seperti orang gugup. “Kenapa, Gam? Apa aku pernah salah sama Kak Beta? Aku nggak pernah ketemu setelah kita lulus SD seingetku.”
“Nggak, bukan gitu. Cuma … hmm gimana ya aku bilangnya.”
“Apa sih?” Aileen berhenti melangkah saat mereka berada di jalan setapak yang diapit taman luas di depan rumah Gama.
“Mantanku yang terakhir … sahabat dia. Dan dia masih pengen aku balikan sama sahabatnya itu.”
Aileen merotasikan kedua bola matanya dengan malas. “Aku nggak yakin bisa cocok sama kakakmu kalo gitu.”