webnovel

Bab 34

Bukankah yang ada Nyai Calon Arang dan bukan Putri Calon Arang? Pikiran Citra berkecamuk dengan rasa penasaran. Apakah perempuan itu keturunan nenek sakti ahli sihir itu?

Sin Liong menambah kecepatannya. Kepalanya menoleh sebentar ke belakang menyampaikan kekhawatirannya.

"Kita sudah memasuki Nagrek. Kalau benar kata Papah, tempat ini adalah lokasi paling tepat untuk penyergapan. Harap waspada! Kenakan selalu sabuk pengaman."

Seperti menyahuti ucapan Sin Liong, terdengar desing peluru yang nyaris menghantam kaca depan mobil, peluru tajam itu menembus atap dan tertancap di jok mobil antara Citra dan Kedasih. Kedua wanita itu menjerit. Sebuah isyarat bagi Sin Liong untuk menambah kecepatan dan melakukan zig zag. Beberapa peluru penembak runduk yang disusulkan beberapa kali, meleset dan menghajar aspal. Menimbulkan bunga api yang terlihat berpijar dalam kegelapan karena pagi masih beberapa saat lagi menjelang.

Ini berbahaya! Mereka tidak tahu sniper itu posisinya di mana. Sin Liong menekan habis pedal gas di tengah desing peluru-peluru berkaliber besar dari senapan runduk. Itu dia! Bersamaan dengan masuknya mobil itu ke terowongan Nagrek, terdengar suara keras kaca belakang yang pecah berantakan. Kembali 2 wanita di jok tengah itu menjerit. Kedasih karena ketakutan, dan Citra akibat kemarahan.

Sin Liong menghentikan mobilnya di ujung pintu keluar terowongan. Pemuda itu memberi isyarat agar semua turun dari mobil. Terowongan itu sangat terang. Terlalu berbahaya jika mereka tetap di dalam mobil.

Keempatnya berlari kencang keluar terowongan lalu merunduk-runduk menerjang kegelapan. Raja menggamit lengan Sin Liong dan menunjuk ke atas tebing. Sin Liong mengangguk. Pemuda itu mendahului memanjat tebing dan diikuti oleh Kedasih, Citra dan Raja di bagian belakang.

Setelah melewati talut, mereka berpegangan pada rumput dan belukar untuk memanjat tebing sampai akhirnya tiba di atas dengan terengah-engah. Kedasih menjatuhkan tubuhnya telentang. Dorongan adrenalin tadi membuatnya berhasil menaiki tebing dengan cepat tanpa kenal takut. Tapi setelah sampai di atas bukit, barulah Kedasih merasakan lelah yang teramat sangat. Matanya bertemu dengan Citra yang jongkok di samping Raja dan Sin Liong. Gadis dari masa lalu itu sama sekali tidak terlihat kelelahan. Sementara Raja dan Sin Liong nampak juga sedang menata nafasnya.

Subuh baru akan menjelang beberapa saat lagi. Jalanan Nagrek sangat sepi. Hanya kadang-kadang saja mobil melintas. Keempat orang di atas bukit itu bisa melihat dengan jelas sorot lampu 2 mobil di kejauhan yang berjalan dengan kecepatan tinggi.

2 mobil itu berhenti di terowongan tepat di belakang Innova yang sebagian kacanya telah bolong. 8 orang berlompatan turun. Sebagian besar menggenggam pistol sedang sisanya menghunus keris dan pedang.

"Ada 2 orang di antara mereka yang manjing. Aku melihat mereka berdua bukan orang sembarangan. Tingkat kemampuan mereka jauh lebih tinggi dibanding para hulubalang yang berbuat onar di keraton Yogya. Sepertinya 2 orang itu level panglima." Citra berbisik kepada teman-temannya.

"Hati-hati. Selain mereka yang di bawah, kita tidak tahu di mana posisi para penembak runduk yang telah menghajar mobil kita tadi." Sin Liong balas berbisik waspada.

Citra memang punya kemampuan linuwih yang tidak sembarangan orang punya, tapi kemampuannya itu tentu saja terbatas. Dalam keadaan terdesak dan jarak pendek, mungkin dia memang pernah membengkokkan pistol. Tapi saat ini, selain jaraknya tidak memungkinkan, juga karena orang-orang yang menyatroni mereka kali ini adalah orang-orang pilihan. Bukan sekedar preman-preman terminal atau pasar. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah menyamarkan mereka berempat dari pantauan jarak jauh Mada dan Putri Calon Arang.

Citra bersimpuh di tanah dengan sikap menyembah. Kekuatan batinnya memanjatkan doa-doa kepada Sanghyang Widhi Wasesa yang menjadi sesembahannya untuk membantu melindungi dari kegelapan yang sedang memburu keberadaan mereka. Memohon dengan sangat agar kegelapan justru membantu mereka menyamarkan diri. Menyatukan tubuh mereka bersama kabut. Melebur dalam hening di puncak kesunyian bukit Nagrek subuh ini. Putri manjing ini degan khusuk terus berdoa. Kedasih hanya bisa ikut bersimpuh dengan perasaan takjub. Sementara Raja dan Sin Liong terus memasang kewaspadaan dan kesiagaan tertinggi. Mereka sedang dalam intaian bahaya tingkat tinggi.

Citra selesai berdoa. Gadis itu memberi isyarat dengan desisan rendah kepada kawan-kawannya agar mengikutinya. Mereka menyusur punggung bukit, lalu turun sedikit ke pinggangnya, menyeberangi atap terowongan dan tak butuh waktu lama sudah berada di bukit di seberang tempat mereka semula.

Semua dilakukan dalam diam. Mengikuti kemanapun Citra berjalan. Mengikuti cahaya samar yang muncul dari bagian tubuh atau baju Citra. Cahaya yang menerangi perjalanan berliku dan berbahaya yang mereka lakukan saat menuruni bukit, menyeberangi atap terowongan yang berongga-rongga, dan menaiki bukit kembali setelahnya.

Nun jauh di Bubat, Mada yang terus menyaksikan dari Pengilon Sekti semenjak mobil yang ditumpangi Citra dan kawan-kawan itu berangkat dari Yogya dan lalu akhirnya berhenti di terowongan. Melihat siluet mereka berempat menaiki bukit dengan tergesa-gesa kemudian berdiam diri di sana.

Mada melihat Putri Calon Arang di sampingnya basah kuyup oleh keringat. Mengerahkan kemampuan sihirnya agar bisa terus mengikuti sosok-sosok buruan mereka ternyata juga membuat perempuan cantik berambut putih itu kelelahan dan kehabisan tenaga.

Mada memastikan sekali lagi di Pengilon Sekti keberadaan putri manjing itu bersama kawan-kawannya masih berada di atas bukit. Lelaki reinkarnasi ini meraih telepon genggamnya.

"Mereka ada di puncak bukit sebelah kanan kalian. Kepung mereka! Jangan sampai lolos! Suruh kedua sniper itu mengikuti kalian dari jauh. Sebentar lagi terang tanah. Mereka akan terlihat jelas. Tidak ada jalan melarikan diri kecuali menuruni ngarai dalam di belakang mereka."

Terdengar sahutan mengiyakan di ujung telepon. Seorang pria berumur 40 tahunan kepercayaan Mada yang bernama Mandraka yang merupakan pemimpin rombongan pemburu itu memberikan tanda kepada para anggotanya untuk berpencar sambil menunjuk bukit di hadapan mereka sebagai tujuan akhir pengepungan. Mandraka memencet wireless comm yang menempel di telinganya.

"Kalian berdua ambil posisi. Aku akan menandai titik di mana kalian harus selalu mengarahkan teleskop senapan kalian ke sana. Jangan sampai sedikitpun lolos dari pengamatan kalian." Mandraka mengambil GPS di kantong celananya. Menandai tempatnya berdiri sekarang lalu mencatat koordinatnya.

Pria itu kemudian membuat perkiraan seberapa jauh jarak dan elevasi ke atas puncak bukit, memasukkan angka-angka itu ke dalam perhitungan di layar smartphonenya. Dapat! Titik koordinat puncak bukit itu berhasil dirumuskannya. Mandraka mengirim titik koordinat itu kepada dua orang sniper yang langsung berpindah posisi agar mudah memantau dan membidik sasaran di puncak bukit. Saat ini mode infra merah pada senapan mereka tidak berfungsi sempurna karena hari sudah mulai beranjak pagi.

Citra dan kawan-kawannya yang sudah berada di bukit seberangnya, meminta semuanya merapatkan diri ke tanah dan bebatuan. Gadis itu sangat berharap doa dan mantranya terkabulkan. Keremangan pagi membuat mereka bisa melihat dari jauh siluet orang-orang bersenjata merayap menaiki bukit di seberang tempat mereka sekarang.

Raja menyerahkan telepon genggam kepada Citra yang memintanya untuk menghubungi Babah Liong. Raja terheran-heran sambungan telepon tidak lagi diterima oleh suara perempuan seperti biasanya. Namun langsung disambut suara serak Babah Liong.

"Babah, tolong kirim beberapa orang untuk mengacaukan situasi. Mereka sudah terkecoh, tapi kami perlu segera pergi dari tempat berbahaya ini."

Terdengar sahutan tegas dan pendek Babah Liong.

"Aku sudah mengirimkan 2 mobil sedari kalian turun dari mobil tadi. 1 mobil akan mengacaukan pengepungan mereka dan 1 lagi untuk menjemput kalian. 1 mobil jemputan itu akan ditinggalkan di parkiran warung-warung kopi di tanjakan terakhir Nagrek. Pergilah ke sana lewat jalan setapak di lembah belakang kalian."

Citra mengiyakan dengan perasaan lega. Babah Liong ternyata sudah bertindak cepat.

* * * ****